Untuk sistem teritori yang kedua, terutama untuk penghasilan tertentu dari luar negeri yaitu dari warga negara asing yang merupakan subjek pajak dalam negeri, yang selama ini mereka mendapatkan posisi sebagai dual residence, menurut Menkeu, yang dipajaki adalah PPh yang berasal dari penghasilannya yang berasal dari Indonesia saja. Pemerintah tidak meminta penghasilan yang mereka yang berasal dari luar teritori Indonesia.
Menkeu juga menyebutkan, di dalam memilih omnibus ini juga akan diatur mengenai subjek pajak Orang Pribadi, terutama yang selama ini cut off harinya adalah 183 hari, apakah bertempat tinggal di Indonesia maupun di luar Indonesia.
Untuk Warga Negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini mereka dianggap masih sebagai subjek pajak dalam negeri, karena orang Indonesia walaupun tinggal di luar negeri lebih dari 183 hari, lebih dari enam bulan, mereka masih dianggap sebagai subjek pajak dalam negeri. Oleh karena itu, lanjut Menkeu, dikenakan PPh untuk pajak dalam negeri.
Sekarang, dalam RUU ini menurut Menkeu, subjek pajaknya bisa dikecualikan apabila mereka memenuhi persyaratan tertentu, sehingga mereka bisa dianggap subjek pajak luar negeri. PPh yang diperoleh atas penghasilan yang berasal dari Indonesia dikenakan mekanisme pemotongan Pasal 26. Namun untuk pendapatan mereka yang berasal dari luar Indonesia itu adalah subjek pajak di luar negeri, karena sudah lebih dari 183 hari.
Untuk Warga Negara Asing (WNA) yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari, selama ini, begitu tinggal di Indonesia lebih dari 6 bulan dia otomatis menjadi subjek pajak dalam negeri. “Kita juga akan melakukan sama, namun pajak yang dibayar oleh Warga Negara Asing yang ada di dalam negeri adalah hanya atas penghasilan yang diperoleh di Indonesia saja,” kata Menkeu.
Bagian lain dari RUU ini juga mengatur mengenai hak untuk mengkreditkan pajak masukan, terutama bagi Pengusaha Kena Pajak (PKP) yang memperoleh barang ataupun jasa, namun dari pihak yang bukan merupakan Pengusaha Kena Pajak. Selama ini, mereka tidak bisa melakukan pengkreditan. Menkeu mengusulkan agar mereka tetap bisa mengkreditkan pajak masukan tersebut maksimal 80%.
Mengenai sanksi di dalam RUU ini, Menkeu mengusulkan bahwa sanksi administrasi bagi pelanggaran penerimaan pajak yang selama ini dihitung berdasarkan flat rate yaitu 2% per bulan.