Sementara itu Luky berpendapat, dengan perluasan definsi saksi itu ICW ingin menumbuhkan seperti apa yang ada di Inggris, yakni yang di dalam UU Perlindungan Saksinya mengatur hak bawahan untuk melawan atasannya yang melakukan penyalahgunaan wewenang.
"Oleh karena itu ICW memasukkan pelapor ke dalam definisi saksi," ujar Luky. Pelapor ini, tutur Luky, juga harus dilindungi, misalnya saja ada insentif untuk orang-orang yang melpor penyalahgunaan wewenang atasannya itu.
Mengenai dapat diancamnya pelapor karena masuk definisi saksi dalam KUHP, Luky berpendapat justru RUU ini diperuntukkan agar mereka termotivasi untuk memberikan kesaksian.
Perkara non-pidana
Melihat dari judul RUU, terlihat kental bahwa perlindungan saksi hanya diperuntukkan bagi saksi-saksi yang memberikan keterangan dalam suatu perkara pidana. Sementara terhadap perkara-perkara non-pidana terkesan tidak dihiraukan.
Mengomentari hal tersebut Topo Santoso menyatakan, perlindungan saksi di luar negeri memang biasanya diperuntukkan untuk melindungi korban-korban dari organized crime. "Kejahatan-kejahatan itu biasanya ancamannya nyawa, oleh karena itu ada perlindungan betul-betul, sampai ada penggantian identitas saksi," ujarnya.
Namun demikian Topo juga mengakui, memang dalam kasus perdata pun sebetulnya diperlukan perlindungan bagi saksi. "Dalam hal kasus perdata yang berimplikasi besar tentunya rentan juga keamanan orang yang harus menjadi saksi, sehingga tidak melulu untuk perkara pidana," papar Topo.