Sambangi ICSID, Menkummham Bahas Gugatan Churchill
Berita

Sambangi ICSID, Menkummham Bahas Gugatan Churchill

Sekjen ICSID tak mau bicara substansi perkara.

RED
Bacaan 2 Menit
Menkumham Amir Syamsuddin. Foto : SGP
Menkumham Amir Syamsuddin. Foto : SGP
Kunjungan ke Washington DC, Amerika Serikat pada Jumat (30/5), rupanya dimanfaatkan secara maksimal oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Amir Syamsudin. Setelah menyambangi kantor Jaksa Agung AS, Amir beserta jajaran ‘mampir’ ke kantor International Centre for Settlement of Investment (ICSID).

Berdasarkan siaran pers Kemenkumham, Amir bertemu dengan Sekretaris Jenderal ICSID Meg Kinnear untuk membicarakan perkara gugatan arbitrase Churchill Mining PLc dan Planet Mining Pty Ltd kepada Pemerintah Indonesia. Namun, dalam pertemuan itu, akhirnya yang dibicarakan adalah hanya aturan dan prosedur di ICSID, serta interpretasi dan penerapannya pada perkara yang ditangani oleh Tribunal ICSID.

“Fokus pada isu rules and procedures dikarenakan memang Sekretaris Jenderal ICSID mempunyai keterbatasan untuk membicarakan substansi perkara yang sedang berlangsung di Tribunal ICSID guna menjaga netralitas,” demikian bunyi siaran pers yang diterima hukumonline, Senin (2/6).

Disamping itu, Menteri Hukum dan HAM RI menyampaikan beberapa isu yang menjadi perhatian Indonesia, antara lain, usulan ke depan untuk melakukan penyempurnaan terhadap rules and procedures yang ada. Hal ini meliputi perlunya dibentuknya kriteria dan pengetatan persyaratan langkah-langkah dalam berperkara di Tribunal ICSID meliputi antara lain persyaratan pengajuan bukti oleh pemohon (claimants) sebagai dasar mengajukan gugatan dan peryaratan pengajuan provisional measures. 

Jika usulan tersebut dapat direalisasikan, lanjut Amir, maka ICSID tidak akan dengan mudah dimanfaatkan oleh investor-investor tidak beritikad baik (advonturir) untuk mengajukan gugatan terhadap negara tuan rumah (host state) atas dasar bukti yang lemah. Selanjutnya usulan penyempurnaan terkait persyaratan pengajuan provisional measures akan dapat mencegah penggugat yang tidak beritikad baik tersebut meminta kepada Tribunal untuk menghentikan negara tuan rumah untuk melakukan proses hukum atas dugaan tindak pidana terhadap investor atau pihak-pihak yang terkait atau diklaim memiliki hubungan kerja dengan investor.

“Perlu ditekankan bahwa kewenangan menegakkan hukum dan keadilan merupakan hak suatu negara berdaulat dan tidak dapat dintervensi oleh pihak manapun,” tegas Amir.

Dengan demikian, penyempurnaan ini akan menjadi salah satu upaya mencegah gugatan-gugatan dari investor-investor advonturir seperti Churchill Mining dan Planet Mining untuk memperoleh keuntungan dari gugatan yang tidak berdasar, apalagi jika melibatkan dugaan pelanggaran hukum.

Selain itu, Menteri Hukum dan HAM RI menyampaikan perkembangan terakhir Pemerintah RI dalam melakukan revisi perjanjian Bilateral RI di bidang investasi (Bilateral Investment Treaty/BIT) dan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam usulan pembaruan perjanjian investasi dengan negara mitra bilateral.

Revisi terhadap BIT RI dilatarbelakangi oleh perlunya penyesuaian substansi perjanjian  dimaksud dengan mengacu kepada kepentingan nasional Indonesia saat ini. Sebagaimana diketahui perjanjian-perjanjian tersebut dibentuk pada saat Indonesia masih sangat membutuhkan investor asing sehingga substansi perjanjian BIT Indonesia tersebut sangat terbuka dan cenderung lebih mengutamakan kepentingan investor. Namun saat ini investor asing sudah mempunyai tingkat kepercayaan yang jauh lebih tinggi terhadap iklim investasi di Indonesia sehingga Indonesia memiliki daya tawar yang lebih tinggi. Selanjutnya saat ini jumlah investor Indonesia di mancanegara semakin meningkat dan Pemerintah perlu memastikan bahwa kepentingan mereka dilindungi di negara-negara dimana mereka berinvestasi.

Sebagai langkah awal, Pemerintah RI saat ini sedang mempersiapkan model BIT Indonesia yang akan dijadikan pedoman dalam melakukan negosiasi ulang terhadap BIT yang ada dan dalam mengosiasikan BIT baru dengan negara-negara lain.

Sekjen ICSID Meg Kinnear menanggapi positif terobosan inisiatif tersebut. Ia menyatakan bahwa beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada dalam beberapa tahun terakhir juga telah menyusun model BIT baru yang memiliki pengaturan yang lebih ketat dan rinci yang memberikan kewenangan yang lebih luas kepada negara untuk mengatur hal-hal terkait kepentingan publik dan tanggung jawab sosial investor.

Meg Kinnear menyatakan kesediannya untuk bekerjasama dengan Pemerintah RI dengan memberikan masukan berdasarkan praktek dan pengalaman negara-negara lain guna penyempurnaan model BIT Indonesia yang saat ini dalam tahap penyusunan. 
Tags:

Berita Terkait