Persoalan yang dihadapi buruh migran Indonesia seolah tak pernah berakhir. Tak hanya buruh yang bekerja di sektor domestik (pekerja rumah tangga) dan perkebunan, tapi juga dialami buruh migran Indonesia yang bekerja menjadi Anak Buah Kapal (ABK) di kapal asing. Ketua Umum SBMI, Hariyanto Suwarno, mengatakan salah satu sebab rentannya buruh migran Indonesia terutama ABK karena minimnya regulasi yang memberikan perlindungan.
Hariyanti mengatakan tata kelola penempatan ABK perikanan tergolong karut marut. Kebijakan yang ada belum berpihak pada ABK perikanan. Penindakan hukum lemah dan pengawasan minim, sehingga menyuburkan praktik yang melanggar hak-hak ABK.
“Ironisnya, upaya yang dilakukan pemerintah untuk menyelesaikan permasalahan yang dialami ABK dari tahun ke tahun tidak menunjukkan sinyal perbaikan,” kata Hariyanto ketika dikonfirmasi, Selasa (29/3/2022).
Baca:
- Perlindungan Hukum Pekerja Migran Masih Perlu Perbaikan
- Kewajiban Negara Melindungi Pekerja Migran Indonesia
- Polisi DIminta Usut Tuntas Dugaan Penyiksaan ABK Indonesia di Kapal Tiongkok
Mengutip kajian yang diterbitkan HRWG berjudul “Kajian Pelanggaran HAM terhadap ABK di Asia Tenggara: Pembiaran Perbudakan Modern”, Hariyanto menyebut ada temuan yang menunjukkan absennya Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan ABK Indonesia. Padahal beleid itu merupakan salah satu peraturan pelaksana yang dimandatkan UU No.18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (PPMI).
Pasal 64 UU No.18 Tahun 2017 menyebutkan ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan dan pelindungan pelaut awak kapal dan pelaut perikanan sebagaimana dimaksud Pasal 4 ayat (1) huruf c diatur dengan Peraturan Pemerintah. Lebih lanjut Pasal 90 memandatkan peraturan pelaksana UU No.18 Tahun 2017 harus ditetapkan paling lama 2 tahun terhitung sejak UU tersebut diundangkan.
“Seharusnya PP Pelindungan ABK itu sudah terbit paling lambat tahun 2019. Tapi proses pembahasan RPP-nya berjalan sangat lambat karena beragam konflik kepentingan antara kementerian dan lembaga,” ujar Hariyanto.