Sebotol Anggur dan Syarat Usia dalam Undang-Undang
Kolom

Sebotol Anggur dan Syarat Usia dalam Undang-Undang

Pilihan menormakan syarat usia tertentu dalam suatu jabatan publik bertujuan agar kriteria subyektif pejabat-pejabatnya terpenuhi, haruslah didasari alasan rasional, bijaksana, dan cocok dengan karakter jabatan itu.

Bacaan 6 Menit

Dalam banyak undang-undang, usia tertentu dipatok dan ditetapkan sebagai salah satu syarat menduduki suatu jabatan publik. Misalnya, syarat menjadi capres, ditentukan minimal berusia 40 tahun. Untuk jadi Hakim Agung, minimal 45 tahun, pensiun 70 tahun. Anggota DPR dan Anggota DPD, paling kurang 21 tahun. Komisi Yudisial, paling rendah 40 tahun dan paling tinggi 68 tahun. Gubernur dan wakil gubernur, minimal 30 tahun. Bupati dan wali kota, paling rendah 25 tahun. Dan lain-lainnya.

Di titik itulah, usia menjumpai fenomenanya: digugat. Begitu dinormakan, ia seperti merangsang orang atau pihak tertentu merasa paling dirugikan. Lalu, syarat usia itu digedor-gedor. Diperhadap-hadapkan dengan hak. Dikatakan melanggar asas persamaan (principium aequalitatis), bentuk perlakuan berbeda, atau gagal memberi kepastian hukum. Intinya, syarat usia itu diringkas dalam satu pigura: melabrak konstitusi.

Di Mahkamah Konstitusi (MK) sudah banyak perkaranya. Ada yang sudah kelar diputus. Ada yang tengah diproses. Batas usia pensiun jaksa disoal. Syarat usia minimal Pimpinan KPK digugat. Usia pensiun Panitera MK dimasalahkan. Usia minimal capres-cawapres juga diuji. Sebelumnya, syarat batas usia minimal Konsiliator, peserta seleksi KPU dan Bawaslu, pensiun prajurit TNI, Hakim Pajak, advokat, dan TKI, juga sudah diputus. Dan banyak lagi lainnya.

Mengapa Syarat Usia Dipersoalkan?

Pilihan menormakan syarat usia tertentu dalam suatu jabatan publik bertujuan agar kriteria subyektif pejabat-pejabatnya terpenuhi. Untuk itu, haruslah didasari alasan rasional, bijaksana, dan cocok dengan karakter jabatan itu. Sayangnya, seringkali tak dijumpai pertimbangan yang cukup dan beralasan (satis et rationabili consideratione). Tidak di Penjelasan undang-undang itu sendiri. Tidak pula di Naskah Akademik. Kalaupun ada, minimalis. Tidak kokoh.

Dari fakta itu, susah dipungkiri dua hal. Yang pertama, pilihan syarat usia itu, kalau tak cermat, ya main pungut. Bermodal kalimat klasik: menurut penalaran yang wajar. Entah nalar wajar menurut ukuran siapa. Atau yang kedua, pilihan itu lahir karena dorongan dan timbangan politis. Misalnya, demi meloloskan atau sebaliknya, menghambat kepentingan orang atau pihak tertentu. Namanya produk politik. Motif, proses, dan hasilnya, mungkin saja pilihan serba politis.

Di luar itu, kita mengenal istilah open legal policy. Kebijakan hukum terbuka. Pembentuk undang-undang bebas memilih pilihan tertentu atas dasar pertimbangan dan kesepakatan mereka sendiri. Sebabnya, konstitusi tak mengatur secara eksplisit. Agar bebas tapi berbatas, dibuatlah rambu-rambu. Ada lebih dari 30 putusan MK menerangkan hal ini. Norma seperti apa yang tergolong open legal policy? Ini dapat diperas ke dalam lima rambu utama, yaitu norma yang materinya (1) tak diatur eksplisit dalam UUD 1945; (2) merupakan pengaturan tambahan (yang tidak diatur UUD 1945) sebagai konsekuensi dilaksanakannya perintah eksplisit UUD 1945; (3) sewaktu-waktu dapat diubah oleh pembentuk undang-undang; (4) tidak terkait dengan konstitusionalitas norma; dan/atau (5) merupakan perintah UUD 1945 kepada pembentuk undang-undang untuk mengatur lebih lanjut.

Dari banyak putusan MK juga didapati bahwa open legal policy haruslah dianggap konstitusional, sepanjang dipenuhi 11 kriteria. Apa saja? (1) tidak melanggar moralitas; (2) tidak melanggar rasionalitas; (3) bukan ketidakadilan yang intolerable, (4) tidak melampaui kewenangan pembentuk Undang-Undang; (5) bukan merupakan penyalahgunaan kewenangan; (6) tidak bertentangan dengan UUD 1945, (7) tidak menegasikan prinsip-prinsip dalam UUD 1945; (8) tidak bertentangan dengan hak politik; (9) tidak bertentangan dengan kedaulatan rakyat; (10) tidak dilakukan secara sewenang-wenang; dan/atau (11) tidak melampaui dan/atau menyalahgunakan kewenangan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait