Sebotol Anggur dan Syarat Usia dalam Undang-Undang
Kolom

Sebotol Anggur dan Syarat Usia dalam Undang-Undang

Pilihan menormakan syarat usia tertentu dalam suatu jabatan publik bertujuan agar kriteria subyektif pejabat-pejabatnya terpenuhi, haruslah didasari alasan rasional, bijaksana, dan cocok dengan karakter jabatan itu.

Bacaan 6 Menit

Kriteria itu kenyal. Belum tegas memandu. Belum konsisten. Masih bisa ditarik dan diulur dengan tafsir. Moralitas dan rasional yang seperti apa? Ketidakadilan intolerable itu yang bagaimana? Apalagi poin (6), tidak bertentangan dengan UUD 1945. Ini entah bagaimana simulasinya. Pilihan norma syarat usia merupakan kebebasan pembentuk undang-undang. Ditentukan di angka berapapun, itu masih dalam jangkauan dan koridor otoritasnya. Tapi pada saat bersamaan, pilihan itu harus tak boleh bertentangan dengan UUD 1945. Kalau begini, lantas bagaimana dan bagian mana dari UUD 1945 yang dapat dijadikan dasar pengujian.

Jika diserderhanakan, syarat usia dipersoalkan dengan dorongan dua faktor obyektif. Pertama, kecukupan alasan dan rasionalitas pembentuk undang-undang atas pilihan syarat usia itu. Memasang syarat usia ke dalam undang-undang memang pilihan terbuka. Tapi, bagaimanapun butuh alasan dan rasionalitas yang cukup. Menyitir David Foulkes, merupakan kewajiban pengambil kebijakan atau keputusan untuk memberikan alasan. The duty to give reason. Jadi, kalaupun norma itu ‘diguncang-guncang’, sudah ada dan meyakinkan jawabannya.

Kedua, derajat konsistensi MK bergelayut kuat pada term dan rambu open legal policy yang sudah dirumuskannya sendiri. Kalau syarat usia itu jelas-jelas tergolong open legal policy, untuk apa durasi perbantahan di persidangan dipanjang-panjangkan. Jangan memberi harapan. Agar orang juga tak merasa diprospek. Singkat. Konsisten saja. Tok, ini open legal policy! Selesai.

Membaca Dua Model

Memang, mempersoalkan syarat usia tak dilarang. Tapi, di samping kedua faktor obyektif, kita tak menampik besarnya porsi aspek subyektifnya. Berorientasi privat atau rakyat? Itu dapat tergambar dari dua model cara mempersoalkan.

Model konstruktif-positif, sebagai replika murni kegelisahan atau kemarahan publik atas ketidakadilan perihal syarat usia yang dikonstruksi undang-undang. Terlebih jika benar karena faktor ketiadaan atau ketidakkokohan rasio dan alasan di sebalik syarat usia. Ini sekalian akan menjadi forum menagih dan memperoleh right to be explained, yang dulu, pada saat pembentukannya tak dipenuhi.

Model ekspresif-negatif, sebagai ekspresi paling polos yang menebalkan ingatan kita akan watak manusia. Betapapun retorika sudah diramu se-intelek, se-yuridis, se-konstitusional mungkin saat men-challenge syarat usia. Tetap saja, motifnya terbaca: menjaga denyut kepentingan. Bisa menyangkut nasib atau karir. Atau, argumen subyektif lain yang publik belum tentu paham, alih-alih ikut merasakan manfaat putusan erga omnes jikalau permohonan kelak dikabulkan.

Di model yang disebut terakhir, demarkasi privat-rakyat dikaburkan. Karena tak ada benang di antara keduanya. Yang privat dipoles dan dikemas agar tampil dengan rasa kepentingan rakyat banyak. Melalui kepiawaian olah kata, membangun justifikasi. Termasuk berisik beropini di dunia verbal dan dunia serba visual publik. Dengan mengatakan diri paling dijepit ketidakadilan. Celakanya, ini yang nampaknya jamak dijumpai.

Sampai titik ini, kita makin paham. Usia bukan cuma pertunjukan aritmetik. Bagi sebotol anggur, usia terbukti meninggikan derajat nilai dan filosofi eksistensi dirinya. Seperti halnya The Speyer Wine Bottle, wine dari vin jaune di Prancis, dan anggur Australia produksi 1951. Bagi kita, manusia, seharusnya pun demikian. Bukan malah menyuburkan olok-olok kepada kita: makhluk pemuja konformitas. Penyuka kesenangan privat. Dan, mudah membelokkan prinsip demi memperoleh kenikmatan.

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Pengajar FH Universitas Brawijaya. Tulisan ini merupakan opini atau pendapat pribadi, tidak merepresentasikan pendapat secara kelembagaan untuk dan atas nama lembaga manapun.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait