Sejumlah Guru Besar Menyangsikan Materi PPHN dalam Amendemen Konstitusi
Utama

Sejumlah Guru Besar Menyangsikan Materi PPHN dalam Amendemen Konstitusi

Jangan sampai mengubah konstitusi, tetapi tidak melihat atau mempertimbangkan risikonya. Kalau hanya ingin memasukkan PPHN dalam amendemen konstitusi saya setuju saja, tetapi problemnnya apakah bisa menjamin hanya PPHN saja?

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Sejumlah narasumber dalam Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Prof. Dr. Bagir Manan bertajuk 'Jalan Panjang Menuju Sistem Hukum Nasional', Rabu (6/10/2021) secara daring. Foto: AID
Sejumlah narasumber dalam Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Prof. Dr. Bagir Manan bertajuk 'Jalan Panjang Menuju Sistem Hukum Nasional', Rabu (6/10/2021) secara daring. Foto: AID

Rencana MPR ingin memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dalam amendemen terbatas UUD Tahun 1945 terus mendapat sorotan publik. Sebagai rekomendasi Badan Pengkajian MPR periode 2014-2019, MPR menganggap PPHN sebagai instrumen penting arah pembangunan nasional untuk memastikan keberlangsungan visi dan misi negara seperti termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Melalui PPHN ini seluruh cabang kekuasaan negara eksekutif, legislatif, dan yudikatif akan memiliki bingkai berpikir yang sama.

Persoalan ini pun menjadi perhatian para guru besar hukum tata negara. Dalam acara Serial Diskusi Akademik 80 Tahun Prof. Dr. Bagir Manan bertajuk “Jalan Panjang Menuju Sistem Hukum Nasional”, dibahas mengenai problematika usulan PPHN melalui amendemen UUD 1945, Rabu (6/10/2021) secara daring.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Prof. Maria Farida Indrati bertanya-tanya mengapa isu amendemen terbatas ini sering dilontarkan oleh Ketua MPR? Apakah bila terjadi amendemen UUD 1945, perubahannya tidak lari kemana-mana? Maria merasa saat ini sistem ketatanegaraan Indonesia sedang digoncang kembali. “Jangan sampai mengubah konstitusi, tetapi tidak melihat atau mempertimbangkan risikonya,” ujar Maria mengingatkan.

“Saat pandemi Covid-19 ini, saya takut nanti jangan-jangan ada perubahan-perubahan yang kita tidak ketahui dan tidak kita inginkan. Nantinya kita kecewa dan menjadi penyesalan di kemudian hari, seperti UU Cipta Kerja,” kata mantan Hakim MK ini. (Baca Juga: Mempertanyakan Urgensi PPHN Lewat Amendemen Konstitusi)

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Prof Susi Dwi Harijanti mengatakan amendemen UUD 1945 merupakan keniscayaan, tetapi harus ada persyaratan tidak tertulis.

“Salah satu faktornya apakah memang diperlukan perubahan dan menjadi konsen di masa mendatang? Kalau perubahan itu sesaat, berarti itu hanya memiliki kekuasaan dominan. Itu yang dikhawatirkan. Lalu, apakah perubahan itu responsif? Apa responsif terhadap hak asasi? Atau responsif terhadap hak politik? Kalau terhadap hak politik yah nanti dulu,” kata Susi dalam kesempatan yang sama.

Susi mengutip pernyataan Ketua MPR yang mengatakan hanya Pasal 3 dan Pasal 23 UUD Tahun 1945 yang akan diubah. Dia melihat perubahan pasal itu bisa berpotensi merembet ke pasal lain. “Jika ingin menghidupkan kembali GBHN (saat ini menjadi PPHN, red), maka perlu dijawab dahulu, bagaimana bentuk GBHN-nya? Kalau diletakkan dalam konstitusi, maka masuk ke dalam konstitusional idealism. Kalau diletakan di luar konstitusi berarti tidak termasuk. Lalu, bagaimana meletakkannya? Dan, bagaimana memastikan GBHN dilakukan dengan baik? Dan, bagaimana mengkaitkan GBHN dengan sistem pemerintahan?”

Dia juga mempertanyakan apakah mungkin dalam perubahan UUD Tahun 1945, materi muatannya tidak dipengaruhi kepentingan politik? Seharusnya materi muatan amendemen UUD 1945 yang dinegosiasikan fraksi-fraksi di MPR bersama presiden perlu ada partisipasi publik. “Jangan sampai amendemen hanya mengakomodasi kepentingan kelompok tertentu, karena ini bersifat prosedur. Rakyat berhak mendapat keadilan prosedural dimana rakyat ingin diperintah, rakyat juga harus ikut menentukan,” tegasnya.

Tidak melebar kemana-mana

Guru Besar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas yang juga Hakim Konstitusi, Prof Saldi Isra mengaku tidak keberatan bila MPR ingin memasukkan instrumen PPHN dalam amendemen UUD 1945, bila penjabaran dalam Pembukaan UUD Tahun 1945 dirasa belum cukup jelas arah pembangunan nasional.

“Tetapi hanya sebatas itu saja tidak melebar kemana-mana. Jadi harus dibatasi dulu, disepakati dulu dari awal apa yang mau diubah dalam UUD 1945. Tetapi kan dalam persalan proses politiknya bisa saja bergerak kemana-mana dan berubah-ubah. Ini yang harus menjadi renungan bersama,” kata Saldi.

Ia menjelaskan UUD Tahun 1945 saat ini memilih mengadopsi sistem presidensial dan hubungan antara eksekutif dan legislatif memiliki mandat yang berbeda. Kalau dalam sistem parlementer mandatnya ada di tangan legislatif. Tetapi kalau presidensial, mandatnya ada beberapa di tangan eksekutif dan beberapa di tangan legislatif. “Memilih sistem presidensial ketika perubahan UUD 1945 saat ini ketika itu membawa konsekuensi yang tidak sederhana. Jadi jangan sampai kita memilih presidensial, tetapi dibenak kita presiden bertanggung jawab ke legislatif,” ujarnya.

Saldi melanjutkan ini jika mau sistem parlementer, maka presiden harus dimintakan pertanggungjawaban setiap tahun. Ini yang harus dihindari dalam sistem presidensial. Kalau mau yang menentukan semua legislatif bergeser saja ke sistem parlementer. “Jadi, baiknya perubahan UUD Tahun 1945, jangan sampai bergerak ke arah-arah lain,” ujarnya.

Harus menjadi perhatian

Direktur Center for Indonesian Law, Islam and Society University Melbourne, Prof Tim Lindsey mengingatkan UUD Tahun 1945 yang berlaku saat ini telah membatasi presiden hanya dua periode. Pembatasan masa jabatan presiden merupakan “jantung” dari agenda reformasi. Usulan jabatan presiden lebih dari dua periode melalui amendemen UUD Tahun 1945 harus menjadi perhatian penting.

“Pembatasan jabatan periode presiden ini indikator ‘kesehatan’ demokrasi Indoensia. Yang nyatanya saat ini ada usulan menghilangkan pembatasan tersebut. Ini tidak hanya melemahkan demokrasi Indonesia, tetapi juga memunculkan kembali GBHN. Para aktor politik perlu hati-hati dalam melakukan amendemen konstitusi,” ujarnya mengingatkan.

Saldi pun melanjutkan UUD 1945 sebelum amendemen yang terakhir tidak menentukan secara eksplisit tentang periode masa jabatan presiden. Tetapi dalam kesadaran sistem presidensial masa jabatan presiden dibatasi secara jelas (selama dua periode per lima tahun, red). “Pembatasan masa jabatan presiden, itu kunci sistem bernegara. Kalau itu diubah saya khawatir kita merusak sistem presidensial dan juga merusak konstitusi,” kata Saldi.

“Kalau hanya ingin memasukkan PPHN dalam amendemen konstitusi saya setuju saja, tetapi problemnnya apakah bisa menjamin hanya PPHN saja?”

Dia meminta amendemen konstitusi harus dipikirkan kembali dengan baik. Sebab, isu-isu belakangan yang muncul saat ini mengganggu kontitusi yang telah dibangun sejak reformasi hingga saat ini. “Bukankah jauh lebih baik sekarang ini? Sebaiknya kita melihat ulang peraturan perundang-undangan di bawah konstitusi untuk memperbaiki pembangunan nasional di negara ini,” sarannya.

Tags:

Berita Terkait