Sejumlah Properti Milik Sanusi Dibayari Pengusaha
Berita

Sejumlah Properti Milik Sanusi Dibayari Pengusaha

Salah satu pengusaha tersebut merupakan rekanan pelaksana proyek pekerjaan di Dinas Tata Air Pemprov DKI Jakarta periode 2012-2015.

Oleh:
ANT | Fathan Qorib
Bacaan 2 Menit
Selain itu, Sanusi juga didakwa melakukan pencucian uang.
Selain itu, Sanusi juga didakwa melakukan pencucian uang.
Direktur PT Agung Podomoro Land, Miarni Ang mengatakan,dua orang pengusaha bernama Danu Wira dan Hendrikus Kangean sebagai pihak yang membayari sejumlah aset properti milik mantan Ketua Komisi D DPRD dari fraksi Partai Gerindra Mohamad Sanusi. Hal itu diutarakan Miarni saat menjadi saksi dengan terdakwa Sanusi di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (10/10).

"Ada pembayaran untuk Vimala Hills dari Danu Wira pada tanggal 22 November 2013, 29 April 2014, 4 Juni 2014, 24 Juli 2014, 26 Agustus 2014, 26 November 2014, 3 Maret 2015, jadi total yang sudah dibayar Rp4,4 miliar tapi masih belum membayar ditambah denda ada Rp1,9 miliar," kata Miarni.

Dalam perkara ini, Sanusi didakwa menerima suap Rp2 miliar dari Presiden Direktur PT Agung Podomoro Land Ariesman Widjaja terkait pembahasan RTRKSP dan melakukan pencucian uang sebesar Rp45,28 miliar. Dalam dakwaan disebutkan, Sanusi membeli satu unit tanah dan bangunan yang kepemilikannya diatasnamakan Sanusi di perumahan Vimala Hills Villa dan Resorts Cluster Alpen seluas 540 meter persegi seharga Rp5,995 miliar.

Untuk pembayarannya, Sanusi meminta Danu Wira untuk membayarkan sejumlah Rp2,72 miliar sedangkan sisanya sebesar Rp1,73 miliar dibayarkan oleh Gina Prilianti, Hendrikus Kangean, PT Bumi Raya Properti dan pihak lain. Danu Wira adalah Direktur Utama PT Wirabayu Pratama yang merupakan rekanan yang melaksanakan proyek pekerjaan di Dinas Tata Air pemprov DKI Jakarta periode 2012-2015.

"Sedangkan pembayaran lain dilakukan oleh PT Bumi Raya Properti (perusahaan milik Sanusi), oleh Gina Prilianti (sekretaris pribadi Sanusi), lalu pada 28 April 2015 dari Hendrikus Kangean dan pada 27 Mei 2015 dari Hendrikus Kangean," tambah Miarna. (Baca Juga: Aset Disita KPK, Begini Asal Usul Harta Sanusi Menurut Pengacara)

Danu Wira juga masih membayari dua unit rumah susun non hunian Thamrin Executive Residence di Jalan Kebon Kacang Raya 1 Kelurahan Kebon Melati Tanah Abang lantai G No 3A seluas 61,98 meter persegi dengan harga pengikatan Rp847,54 juta dan lantai G No 3B seluas 120,84 mmeter persegi dengan harga Rap1,65 miliar.

Dalam dakwaan Sanusi meminta uang kepada Danu Wira sejumlah Rp1,64 miliar yang digunakan untuk pembayaran down payment dan angsuran keempat, kesembilan, kesebelas dan kedua belas. Sedangkan sisa angsuran dibayarkan melalui Gina Aprilianti dan pihak lain.

"Ada dibayar Rp1,2 miliar untuk down payment pada 29 Juli 2013 dari Danu Wira, 1,2 miliar, 30 April 2014 sebesar Rp104 juta, 26 juni 2014 dari Danu Wira sebesar Rp104 juta, dan 24 Juli 2014 sebesar Rp101 juta, sisanya setoran tunai dari Gina Prilianti," ungkap Miarni.

Aset lain yang dibayari Danu Wira adalah Satu unit satuan rumah susun pada Soho Pancoran South Jakarta di Jalan MT Haryono kavling 2-3 Tebet, blok North Wing lantai 16 No 8 seluas 119,65 meter persegi seharga Rp3,21 miliar. Tapi menurut Miarni, apartemen SOHO itu belum lunas karena masih punya denda Rp23,9 juta dan kewajiban membayar PPHTB (Pajak penghasilan penjualan tanah dan atau bangunan) sehingga masih ada denda Rp1,69 miliar.

"Pembayaran unit SOHO ada yang dari Danu Wira yaitu untuk angsuran 25 April 2014, 17 Desember 2013, 25 Mei 2014, 17 Juli 2014, 18 Agustus 2014, 25 November 2014, 15 Januari 2015, 26 Februari 2015, 17 Maret 2015 dan 16 September 2015 tapi ada juga dibayarkan oleh Pak Sanusi pada 18 Desember 2016 untuk angsuran ke-16 senilai Rp107 juta," ungkap Miarni. (Baca Juga: Sanusi Tersangka Pencucian Uang, KPK Telusuri Sumbernya)

Dalam perkara ini Sanusi didakwa melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 11 UU No.31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No.20 Tahun 2001 Tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Sedangkan dalam dakwaan kedua, Sanusi didakwa menyamarkan harta kekayaan sejumlah Rp45,28 miliar yang diduga berasal dari tindak pidana korupsi selaku anggota Komisi D periode 2009-2014 dan 2014-2019 dengan melanggar Pasal 3 UU No.8 tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Mertua Sanusi
Dalam persidangan juga dihadirkan Jeffry Setiawan Tan yang merupakan mertua Sanusi. Penuntut umum KPK mencecar mertua Sanusi itu dengan sejumlah pertanyaan. Dalam kesaksiannya, Jeffrey mengatakan bahwa pembelian rumah di bilangan Cipete, Jakarta Selatan.

"Saya menyediakan uang cash ke anak saya, kalau anak saya datang ke rumah bawa 1 koper untuk pembayaran, ada 4 kali pengantaran uang tunai yaitu awal Agustus 2014 sebesar Rp2 miliar, pemberian kedua pada pertengahan Agustus 2014, ada Rp1,8 miliar, pembayaran ketiga pada awal September 2014 sebesar Rp2 miliar dan keempat pada akhir September 2014 sebesar 150 ribu dolar AS, 150 ribu dolar Singapura dan Rp200 juta," katanya.

"Apa setelah dijumlahkan jumlahnya pas Rp10 miliar?" tanya jaksa KPK Ronald F Worotikan."Perhitungan saya pas paling kurang sedikit, semua diserahkan semua tunai ke Evelien (istri Sanusi), biar mereka (Evelien dan Sanusi) yang menyerahkan semuanya, mekanismenya mereka yang atur," jawab Jeffy yang berprofesi sebagai penjual batik di Thamrin City dan Tanah Abang itu.

"Usaha jual beli batik memang penghasilan saksi per bulan berapa?" tanya jaksa. "Saya jualan dari 1988 penghasilan sejak tahun 2000 sekita Rp800 juta sampai Rp1 miliar. Saya jual batik tulis sutera senilai Rp5 juta dan di Tanah Abang itu tidak ada pembukuan karena mereka datang dari Aceh sampai seluruh Indonesia," jawab Jeffry.

"Jadi sumber pembayaran uang kontan tadi dari mana?" tanya jaksa. "Saya memang selalu simpan uang kontan di rumah," jawab Jeffry. (Baca Juga: Kesaksian Istri Sanusi Soal Asal Usul Harta)

"Simpan uang di rumah sampai Rp10 miliar? Apa tidak takut dimakan rayap atau dirampok?" tanya jaksa. "Iya, karena kalau menghadapi pengrajin dari Solo, Pekalongan dan daerah lain biasanya perlu uang kontan bukan transfer, mungkin dulu rampok tidak menyangka saya simpan uang tunai di rumah, baru sekarang saya takut," jawab Jeffry.

Jeffry pun mengaku menyimpan uang dalam bentuk dolar karena melayani pembeli-pembeli dari luar negeri seperti Singapura dan Malaysia. "Apa ada bukti pembelian dolar?" tanya jaksa. "Tidak ada karena kadang saya membeli sedikit-sedikit lalu saya kumplkan. Tapi saya juga ada rekening dolar di bank BII hanya itu untuk simpanan saja dan untuk masa tua, sedangkan uang di rumah untuk perputaran saya," jawab Jeffry.

Namun General Mangaer Kredit Bank Mitra Niaga Andri Husein yang juga menjadi saksi dalam perkara itu mengatakan bahwa Jeffry mengajukan pinjaman Rp1,5 miliar untuk membeli rumah di Jalan Saidi tersebut. Dalam penilaian perusahaannya, Jeffry hanya punya penghasilan Rp130 juta. Dengan penghasilan itu, Andri tetap menganggap Jeffry tetap bisa melunasi pinjaman Rp1,5 miliar dengan cicilan Rp51 juta per bulannya.

"Berdasarkan analisa keuangan kami satu per bulan Pak Jeffry senilai Rp300-500 juta per bulan sedangkan toko lain adalah Rp200-250 juta, namun untuk biaya operasional toko Rp50 juta, pengeluaran rumah tanggal Rp15 juta, sekolah Rp10 juta, listrik Rp6 juta, kartu kredit Rp6 juta, utang Rp11 juta ditambah utang dengan margin 20-25 persen ada pengeluaran 75 persen sehingga penghasilan Pak Jeffry menjadi Rp80 juta dan Rp30 juta jadi totalnya Rp130 juta," ungkap Andri.
Tags:

Berita Terkait