Sekelumit Kisah Gedung DPR
Edsus Akhir Tahun 2012:

Sekelumit Kisah Gedung DPR

Keterbatasan gedung kala itu mengharuskan persidangan anggota Dewan berpindah tempat.

RFQ
Bacaan 2 Menit

Pada sidang kedua pada 16-17 Oktober 1945,  sekretariat KNIP menggunakan bangunan di Jalan Cilacap –Departemen Pendidikan dan Kebudayaan-. Belakangan, terjadi pergolakan perubahan sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer. Sutan Sjahrir ditunjuk menjadi perdana menteri. Secara bertahap dimulailah pembagian tugas  antara eksekutif, legislatif dan yudikatif. Namun terdapat kendala.

Lagi-lagi, persoalan keterbatasan tempat alias gedung. KNIP pun belum jua memiliki tempat permanen yang dapat digunakan untuk bersidang.  Sidang pun terpaksa berpindah tempat. Sidang ketiga pada 25-27 November 1945 menempati sebuah gedung CBZ di Jalan Pangeran Diponegoro –kini digunakan oleh SMA PSKD-. Sebannyak tiga kali menggelar persidangan, KNIP hanya berpindah tempat di dalam kota Jakarta.

Namun sidang selanjutnya berpindah ke luar kota, misalnya di Gedung Republik Indonesia, Solo pada persidangan keempat 28 Februari- 3 Maret 1946. Sedangkan kesekretariatan BP KNIP berpindah ke gedung bekas Hotel Van Laar di Jalan Kutoardjo –kini Jalan Jenderal Soedirman- Purworedjo. Sedangkan persidangan kelima digelar pada 25 Februari- 6 Maret 1947 di gedung bekas Sociteit Concordia Malang Jatim.

Singkat cerita, berdasarkan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS) tahun 1950, pemilihan umum untuk memilih  anggota parlemen dan anggota konstituante dapat digelar pada pertengahan 1955. Akibat terbatasnya gedung milik pemerintah, wakil rakyat mesti melakukan persidangan berpindah tempat dari satu kota ke kota lain. Pengalaman itu pula dialami  anggota DPR hasil Pemilu 1955. Pasalnya, para wakil rakyat itu mesti bersidangan di Jakarta, sementara tempat persidangan anggota kontituante terpaksa diselenggarakan di gedung bekas Sociteit Concordia di Bandung, Jawa Barat.

Seiring berjalannya waktu, politik kala itu mengalami perubahan. DPR hasil Pemilu 1955 dengan jumlah anggota 262 orang, akhirnya dibubarkan melalui Penetapan Presiden No.3/1969. Alasannya, DPR kala itu tak menyetujui APBN yang diajukan pemerintah. Sebagai gantinya, Soekarno menerbitkan Penetapan Presiden No.4/1960 pada 24 Juni 1960 dengan membentuk DPR GR diketuai H, Zainal Arifin. Selama beberapa tahun, DPR GR  yang anggotanya berjumlah 283 orang itu tetap menggunakan gedung Sociteit Concordia.

Bahkan Sidang Umum pertama MPRS tahun 1960, kedua pada 1963, dan ketiga pada 1965 tetap menggunakan Sociteit Concordia yang saat itu telah berganti nama menjadi Gedung Merdeka. Kendati bersidang di Bandung, toh sebagian besar anggota MPRS berdomisili di Jakarta. Atas dasar itulah dibentuk sekretariat cabang dengan mengambil Gedung  Stannia di bilangan Cik Ditiro.

Pada 8 Maret 1965, Presiden Soekarno menerbitkan surat Keputusan Presiden (Keppres) No.48/1965. Dalam Keppres itu, Soekarno menugaskan Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga (PUT) Soeprajogi agar melaksanakan  pembangunan  proyek political venues di Jakarta. Pembangunan proyek tersebut ternyata bersebelahan dengan Gelanggang Olah Raga Senayan. Bertepatan dengan perayaan Dasawarsa Konfrensi Asia Afrika yang jatuh pada 19 April, dipancangkan tiang pertama pembangunan proyek political venues di Komplek Senayan.

Tags: