Semangat Si Jambul Putih: Pusaka, Perkara, dan Wanita
Resensi

Semangat Si Jambul Putih: Pusaka, Perkara, dan Wanita

Buku yang menelanjangi sang ikon hukum.

RZK
Bacaan 2 Menit

Di sisi lain, rasanya hambar kalau berbicara tentang Buyung tanpa menyinggung Lembaga Bantuan Hukum (LBH). Lembaga pembela rakyat yang didirikan pada 1970 itu merupakan karya monumental dari 'rahim' Buyung. Bak hubungan kasih sayang orang tua terhadap anaknya, Buyung memperlakukan LBH seperti seorang anak kecil sehingga kadang terkesan terlalu posesif. Dia rela mendedikasikan seluruh waktu, tenaga, dan bahkan hidupnya demi LBH.

“Ya, saya otoriter dalam hal menjaga LBH tetap dalam garis yang sesuai dengan konsep yang dicita-citakan,” tegas Buyung menjawab pandangan sebagian kalangan yang menilai dirinya otoriter untuk urusan LBH. Dia berdalih, LBH harus tetap konsisten pada visi dan misinya, sebagai lembaga hukum yang harus berpijak pada hukum, proses hukum, dan cita-cita negara hukum.

Tidak kurang dari mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menyatakan salut atas pengabdian seniornya ini kepada LBH. Bagi Arman -sapaan akrab Abdul Rahman Saleh- pendirian LBH merupakan torehan tinta emas Buyung dalam sejarah perkembangan hukum di negeri ini. "Kalau ada hal yang patut dicatat dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia maka pendirian YLBHI merupakan momen yang sangat penting," puji Arman ketika memberikan sambutan dalam perayaan HUT Buyung.

Walaupun tidak secara tegas menyatakan diri sebagai sebuah buku biografi, buku ini terbilang sukses membeberkan rekaman perjalanan hidup seorang Buyung. Isu terhangat yakni 'kenekatan' Buyung menerima pinangan Presiden SBY untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) pun tak luput dibeberkan.

Lelah berteriak, demikian kira-kira alasan yang dikemukan buku ini terkait keputusan Buyung menerima tawaran tersebut. Buyung menginginkan hasil yang lebih konkret untuk menyelamatkan negara yang diibaratkan kapal yang sedang karam. Maka dari itu, dia merasa perlu mendekat ke pusat kekuasaan.

Lebih dari itu, buku ini bahkan juga mengajak pembaca menyelami pemikiran-pemikiran pemilik tubuh dengan postur 166cm/67kg ini. Mulai dari isu ringan seperti bagaimana berinteraksi dengan kolega sampai isu kontroversial sekalipun, soal poligami. Buyung yang selalu bersikap hangat terhadap semua wanita ini, berpandangan poligami berpotensi merusak keutuhan keluarga karena sulit bagi seorang laki-laki untuk bertindak adil jika memiliki lebih dari satu pasangan.

Kemampuan buku ini merekam secara detil perjalanan hidup Buyung tidak bisa dilepaskan dari faktor pribadi penulis. Bunga bisa dibilang adalah penulis yang tepat yang dapat 'menelanjangi' kehidupan Buyung. Pasalnya, wanita kelahiran Jakarta, 2 November 1959 ini tidak hanya menjadi salah satu orang kepercayaan, tetapi juga menjadi bayangan diri Buyung sejak berkiprah di KPU pada 1999 silam.

Tags: