Sembilan Catatan Imparsial terhadap Agenda Reformasi TNI
Utama

Sembilan Catatan Imparsial terhadap Agenda Reformasi TNI

Mulai wacana pembentukan dewan keamanan nasional, peran internal militer yang semakin menguat, hingga rendahnya kesejahteraan prajurit TNI dan tidak merata.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Padahal, restrukturisasi Koter bertujuan agar gelar kekuatan TNI dapat mendukung peran TNI sebagai alat pertahanan negara. Menurutnya, konsekuensi dari restrukturisasi Koter dan mempertimbangkan lingkungan strategis serta dinamika ancaman terkini perlunya dibentuk model Postur TNI yang menekankan pembangunan kesatuan gelar kekuatan trimatra secara terpadu dan lebih terintegrasi

Keenam, kembalinya TNI di jabatan pemerintahan sipil. Menurutnya, reformasi politik pasca 1998 mensyaratkan penghapusan peran sosial politik TNI. Cerminannya, militer aktif tak lagi menduduki jabatan politik, seperti di DPR, Gubernur, Bupati, atau jabatan di kementerian dan lainnya. Namun sejak UU 34/2004 berlalku, militer aktif hanya dapat menduduki jabatan tertentu terkait dengan fungsi pertahanan.

Bahkan belakangan, prajurit TNI aktif kembali ditempatkan dalam jabatan kepala daerah. Seperti penunjukan TNI aktif menjadi Bupati Seram Bagian Barat. Pasal 39 UU 34/2004 menyebutkan, “Prajurit dilarang terlibat dalam kegiatan politik praktis”. Sementara Pasal 47 ayat (1) menyebutkan, “Prajurit hanya dapat menduduki jabatan sipil setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas aktif keprajuritan”.

“Dengan demikian anggota militer aktif yang ditunjuk menjadi penjabat Gubernur memiliki potensi kuat bertentangan dengan aturan diatas,” ujarnya.

Ketujuh, transparansi dan akuntabilitas dalam pengadaan alat utama sistem persenjataan (Alutsista) TNI rendah. Menurutnya, upaya modernisasi alutsista dalam memperkuat pertahanan Indonesia menjadi langkah penting. Sebagai komponen utama pertahanan negara, TNI perlu dilengkapi alutsista militer yang mumpuni, kuat, dan modern untuk mendukung tugas pokok dan fungsinya dalam menjaga dan melindungi wilayah pertahanan Indonesia.

Namun, langkah tersebut harus dijalankan oleh pemerintah secara akuntabel, transparan, serta mempertimbangkan ketersediaan anggaran dan kebutuhan TNI itu sendiri. Dalam sejumlah pengadaan, misalnya, beberapa alutsista yang dibeli oleh pemerintah Indonesia berada di bawah standar. Bahkan kadang, tidak sesuai dengan yang dibutuhkan. Selain itu, pengadaan alutsista kerap diwarnai keterlibatan pihak ketiga (broker).

Dia menilai dalam beberapa kasus, keterlibatan broker kadang kala berimplikasi terhadap dugaan mark-up dalam pengadaan alutsista. Oleh karena itu, sudah seharusnya pengadaan alutsista di masa depan hendaknya tidak melibatkan broker, tapi langsung dilakukan dalam mekanisme government to government, serta mendorong peran KPK dalam pengawasan.

Tags:

Berita Terkait