Sengketa Medis Seringkali Berawal dari Hal Sepele
Berita

Sengketa Medis Seringkali Berawal dari Hal Sepele

Dokter bisa dipidana tetapi mekanisme pidana sebaiknya menjadi pilihan terakhir.

M-15
Bacaan 2 Menit
Seminar Upaya Pemenuhan Hak Pasien untuk Menghindari Sengketa Medis, di Bandung. Foto: M-15
Seminar Upaya Pemenuhan Hak Pasien untuk Menghindari Sengketa Medis, di Bandung. Foto: M-15

Hubungan dokter dan pasien tidak melulu harmonis. Terkadang, keduanya bersengketa terkait pelayanan medis. Sengketa antara dokter dan pasien ternyata seringkali disebabkan oleh hal-hal yang sepele, seperti kesalahpahaman atau miskomunikasi. Demikian disampaikan Rektor Universitas Islam Bandung M Thaufiq S Boesoirie dalam sebuah acara diskusi di Bandung, Kamis lalu (28/3).

Dikatakan Thaufiq, seorang dokter perlu memiliki ketrampilan komunikasi yang baik. Tujuannya, agar jika terjadi sesuatu, pasien atau keluarganya dapat diberikan pengertian seputar tindakan medis dan dampaknya sehingga tidak berujung pada sengketa medis.

“Namun, sayangnya hal inilah yang belum masuk ke dalam kurikulum pendidikan kedokteran. Sehingga dokter ketika lulus tidak pernah diuji masalah etika, moral dan komunikasi,” papar Taufiq.

Pada prinsipnya, lanjut dia, pasien berhak memperoleh informasi seputar tindakan medis yang dilakukan dokter terhadap dirinya. Apabila hak memperoleh informasi ini tidak terpenuhi, maka pasien berhak mengadu ke Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Ikatan Dokter Indonesia.

Dalam acara yang sama, Hadi Susiarno yang berprofesi dokter mengatakan masyarakat seringkali menganggap sengketa medis sebagai malpraktik. Dia tegaskan sengketa medis adalah konflik yang muncul karena perbedaan kepentingan antara dokter dan pasien. Sedangkan, malpraktik adalah tindakan medis yang tidak sesuai dengan standar profesi kedokteran.

Dia katakan, sengketa medis tidak dapat serta merta dapat dianggap malpraktik. Ada kalanya, sesuatu bisa terjadi pada diri pasien, meskipun dokter sudah melakukan tindakan sesuai dengan standar profesi. Hal ini, menurut Hadi, adalah risiko yang melekat pada suatu tindakan medis.

“Ada faktor risiko yang harusnya diperhatikan pasien. Faktor risiko tersebut akan selalu melekat pada diri pasien dan bisa saja terjadi. Sehingga setiap tindakan upaya yang dilakukan oleh dokter penuh dengan ketidakpastian dan tidak dapat diprediksi. Sehingga upaya semaksimal mungkin yang harus dilakukan,” kata Hadi.

Sanksi Pidana
Guru Besar Hukum Pidana Universitas Islam Bandung, Edi Setiadi mengatakan pada prinsipnya tindakan medis yang tidak memenuhi standar profesi kedokteran dapat dipidana. Namun, menurut dia, mekanisme hukum pidana seharusnya menjadi pilihan terakhir setelah mekanisme perdata atau administratif.

Penerapan hukum pidana, kata Edi, harus dipertimbangkan aspek manfaatnya. Edi berpendapat dokter lebih tepat diberikan sanksi berupa hukuman penugasan ke daerah terpencil tanpa digaji atau hukuman kerja sosial, ketimbang sanksi pidana. “Hukuman tambahan kan boleh saja diterapkan oleh hakim,” imbuhnya.

Khusus soal kerja sosial, Edi mengatakan rancangan KUHP yang tengah dibahas DPR telah mengakomodasi jenis sanksi alternatif seperti kerja sosial. Sanksi-sanksi alternatif ini, menurut Edi, memungkinkan bagi hakim untuk melakukan terobosan-terobosan yang inovatif saat menjatuhkan putusan. “Sehingga sanksi tersebut dapat terlihat kebermanfaatannya.”

Tags:

Berita Terkait