Serikat Buruh Beberkan Bukti Perppu Cipta Kerja Diterbitkan Terburu-Buru
Terbaru

Serikat Buruh Beberkan Bukti Perppu Cipta Kerja Diterbitkan Terburu-Buru

Masih ada pasal yang tidak sinkron, sehingga menimbulkan asumsi pembuat Perppu sama seperti pembuat UU Cipta Kerja yang tidak mengerti persoalan terutama perburuhan.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 2 Menit
Presiden KSPI Said Iqbal. Foto: ADY
Presiden KSPI Said Iqbal. Foto: ADY

Terbitnya Perppu No.2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang menggantikan UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja ini mendapat sorotan tajam dari berbagai kalangan masyarakat sipil. Perppu Cipta Kerja ini dinilai mengkhianati Putusan MK No.91/PUU-XVIII/2020 tertanggal 25 November 2021 yang memerintahkan agar UU No.11 Tahun 2020 diperbaiki karena proses pembentukannya antara lain tidak melibatkan partisipasi publik secara bermakna (meaningful participation).

Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden KSPI Said Iqbal mengatakan meski mendukung mekanisme penerbitan Perppu untuk membenahi UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tapi sayangnya Perppu No.2 Tahun 2022 yang diterbitkan 30 Desember 2022 itu substansinya tidak sesuai dengan harapan serikat buruh. Alhasil, serikat buruh dan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Partai Buruh menolak Perppu No.2 Tahun 2022.

Baca Juga:

Secara umum, Iqbal melihat Perppu No.2 Tahun 2022 tak ubahnya seperti UU No.11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, khususnya untuk klaster ketenagakerjaan. Bahkan, Perppu No.2 Tahun 2022 tetap mencantumkan pasal bermasalah sebagaimana diatur dalam UU No.11 Tahun 2020, salah satunya ketentuan mengenai waktu kerja dan istirahat (cuti).

Pasal 77 ayat (2) Perppu Cipta Kerja mengatur waktu kerja 7 jam 1 hari dan 40 jam seminggu untuk 6 hari kerja dalam seminggu. Sementara 8 jam 1 hari dan 40 jam seminggu untuk 5 hari kerja dalam seminggu. Mengenai waktu istirahat sebagaimana diatur Pasal 79 ayat (2) huruf b mengatur istirahat mingguan 1 hari untuk 6 hari kerja dalam seminggu. Ketentuan itu sama seperti yang diatur UU No.11 Tahun 2020.

Menurut Iqbal, pengaturan jam kerja sebagaimana Pasal 77 ayat (2) dengan waktu istirahat yang diatur Pasal 79 ayat (2) huruf b tidak sinkron. Ketentuan itu ada di Perppu dan UU Cipta Kerja. Seharusnya ditulis juga 2 hari libur untuk 5 hari kerja dalam seminggu. Pada prinsipnya jam kerja dalam seminggu yakni 40 jam.

“Ketentuan ini tidak sinkron dan membuktikan pembuat Perppu sama seperti pembuat UU Cipta Kerja yang tidak memahami masalah, terburu-buru, dan ABS (asal bapak senang, red),” kata Said Iqbal dalam konferensi pers, Senin (2/1/2023) kemarin.

Mengingat masih banyak pasal bermasalah dalam Perppu, Iqbal mengusulkan pemerintah untuk mencabut dan membenahi beleid itu. Untuk klaster ketenagakerjaan ada sejumlah hal yang perlu diperbaiki, seperti aturan upah minimum, pesangon, pemutusan hubungan kerja (PHK), perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT), waktu kerja, waktu istirahat, dan cuti.

Soal pesangon, Iqbal menghitung besaran rekomendasi pesangon yang diatur Perppu sama seperti UU Cipta Kerja dimana jumlah yang diterima buruh lebih kecil dibandingkan sebelumnya sebagaimana diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sejak terbit UU Cipta Kerja muncul modus yang dilakukan perusahaan untuk memberhentikan seluruh pekerja dengan alasan perusahaan tutup karena pesangon yang diberikan hanya 0,5 dari ketentuan. Setelah itu pekerja dipanggil kembali untuk ditawarkan bekerja melalui mekanisme outsourcing.

Tags:

Berita Terkait