Setelah Relaksasi DNI, Pemerintah Perlu Lakukan Langkah Ini
Berita

Setelah Relaksasi DNI, Pemerintah Perlu Lakukan Langkah Ini

Sikap Apindo adalah meminta pemerintah untuk menunda melakukan revisi terhadap DNI.

Fitri N. Heriani
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS
Ilustrasi kemudahan berusaha. Ilustrator: BAS

tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal, atau yang sering disebut sebagai Daftar Negatif Investasi. Dalam revisi kali ini, terdapat 54 bidang usaha yang akan direlaksasi Pemerintah. Sejauh ini, 25 bidang usaha sudah diusulkan terbuka untuk asing dan sisanya masih dalam tahap proses pembahasan.

Menteri Koordinator dan Perekonomian, Darmin Nasution, menyebutkan revisi DNI dilakukan untuk memaksimalkan investasi masuk ke Indonesia. Berdasarkan hasil evaluasi terhadap DNI di tahun 2016, banyak bidang usaha yang kurang diminati bahkan sama sekali tak disentuh oleh investor.

Bagi Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ahmad Heri Firdaus, tujuan pemerintah melakukan revisi terhadap DNI adalah untuk menarik investasi asing masuk ke Indonesia. Upaya tersebut akan menjadi sia-sia jika pemerintah tidak melakukan perbaikan dari sisi fundamental investasi.

Sisi fundamental yang dimaksud adalah perbaikan masalah struktur investasi yang selama ini kerap menjadi momok bagi investor, seperti membenahi masalah perizinan, birokrasi yang tidak bertele-tele, atau kemudahan mendapatkan lahan bagi investor. Sebagian masalah tersebut, lanjutnya, jelas menghambat investasi masuk ke Indonesia. Dalam konteks itu penting memperbaiki struktur investasi, yaitu menjadikan iklim investasi menjadi kondusif. Contohnya membenahi birokrasi perizinan dulu, birokrasi dipangkas, atau mempermudah akses mendapatkan lahan bagi investor. “Inilah yang belum selesai, masalah-masalah krusial, masalah-masalah yang selama ini menghambat investasi. Jadi tidak cukup hanya relaksasi DNI terus masalah investasi asing bisa selesai,” katanya kepada hukumonline, Kamis (22/11).

Jika berkaca pada pilar daya saing yang ada di Ease of Doing Bussiness, kata Heri, banyak faktor yang mempengaruhi kinerja investasi. Misalnya tenaga kerja yang memiliki keahlian, persoalan lahan, atau perizinan sehingga efektivitas implementasi DNI sangat bergantung kepada pilar daya saing tersebut.

Heri berpendapat, implementasi DNI Tahun 2016 menjadi tidak optimal disebabkan oleh sisi fundamental sektor investasi yang tidak terselesaikan. Di tengah persaingan antar negara-negara untuk memperbaiki iklim investasi, sepatutnya Pemerintah menaruh perhatian terhadap masalah-masalah tersebut. Meskipun Pemerintah sudah meluncurkan Online Sistem Submission (OSS), sistem ini masih belum diaplikasikan dengan sempurna. Menurut dia, masih perlu sosialisasi yang massif kepada seluruh pelaku usaha, dan memastikan bahwa sistem ini dapat dengan mudah digunakan oleh siapapun.

Ia juga berharap ego-sektoral dihilangkan. “Sistem ini dibuat secara normatif cukup bagus tapi pelaksanaannya itu tentu ini harus diiringi bagaimana peningkatan kapasitas teknologi, IT, bagaimana aplikasi bisa mudah digunakan oleh siapapun, kemudian dari setiap sektor kementerian atau lembaga terkait ini juga tidak overlap, tidak ada aturan tambahan selain ditetapkan di OSS,” tukasnya.

Heri juga menyampaikan empat pandangan terkait peluang asing berinvestasi di 25 bidang usaha di Indonesia. Pertama, pemerintah harus menyelesaikan persoalan-persoalan yang selama ini menjadi faktor penghambat investasi. Kedua, investasi asing harus dititikberatkan dengan sistem kemitraan antara pengusaha lokal dan asing.

“Bagaimana investasi asing ini bisa bermitra dengan pegusaha lokal, jadi jangan sampai investasi asing yang nilainya besar, malah memonopoli atau menggerus lahan-lahan usaha pelaku UMKM. Ini harus ada kemitraan antara pelaku usaha besar asing dengan UMKM,” ungkap Heri.

Atas kepentingan kemitraan tersebut, tambahnya, pemerintah harus membuat peraturan tururan yang pada pokoknya mengatur kolaborasi kemitraan. Selain itu, UMKM perlu difasilitasi oleh pemerintah agar terjadi peningkatan di sektor UMKM.

Ketiga, pemerintah harus secara tegas mengatur tentang pembatasan penggunaan konten impor. Biasanya, lanjut Hei, investasi asing yang masuk selalu diikti dengan impor bahan baku barang, modal, bahkan tenaga kerja. Dalam konteks ini, pemerintah bisa memanfaatkan aturan mengenai lokal konten.

Keempat, perlu aturan tentang Devisa Hasil Ekspor yang dananya disimpan di Indonesia. Hal ini bisa berdampak kepada current account atau memperbaiki neraca transaksi berjalan Indonesia. “Kalau perusahaan ekspor, harus ada aturan lebih kewajiban mengenai penyimpanan DHE di Indonesia. Karena biasanya investasi asing hasil ekspor dibawa lagi ke negaranya. Harusnya ada yang dikelola di sini dan syukur-syukur ditukar jadi rupiah,” pungkasnya.

Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Danang Giringrawardana menyatakan bahwa pihaknya telah menyampaikan pandangan terkait revisi DNI. Hal tersebut sudah disampaikan oleh Ketua Umum Apindo, Hariyadi Sukamdani beberapa saat lalu bersama dengan Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin). “Ini ‘kan sudah ada statement dari Apindo dan Kadin kepada pemerintah untuk menunda relaksasi DNI,” kata Danang kepada hukumonline melalu pesan singkat.

Pada intinya, Apindo berpendapat bahwa dari Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang diluncurkan oleh pemerintah, hal yang menjadi sorotan adalah DNI. Pasalnya, bidang usaha yang dicoret justru usaha yang ramai dan banyak peminatnya. Pemerintah harus lebih spesifik saat membuka sektor-sektor untuk asing, misalnya yang memberikan nilai tambah tinggi, adanya faktor teknologi, ataupun investasi yang besar.

Apindo juga menegaskan bahwa pemerintah tidak pernah mengajak pelaku usaha, baik Apindo maupun Kadin saat penggodokan bidang usaha yang dicoret dari DNI. Bahkan setelah Paket Kebijakan XVI diterbitkan, belum ada komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah. Pemerintah perlu memberikan penjelasan kepada para pengusaha.

Bagi Apindo, pemerintah harus berkaca dari revisi DNI tahun 2016. Saat itu, bidang usaha yang dikeluarkan dari DNI tidak begitu diminati oleh investor asing. Selain itu, pemerintah seharusnya memperhatikan masukan dari organisasi pengusaha sehingga kebijakan dibuat dalam keadaan terburu-buru dan tidak efektif.

Tags:

Berita Terkait