Shidarta: Putusan Pengadilan yang Bagus Perlu Sering Diapresiasi
Landmark Decisions 2017

Shidarta: Putusan Pengadilan yang Bagus Perlu Sering Diapresiasi

​​​​​​​Yurisprudensi adalah mahkota hakim yang telah diakui dan dipilih secara cermat dan hati-hati dari banyak putusan. Setiap tahun Mahkamah Agung menerbitkan putusan-putusan terpilih.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Jadi legal yurisprudensi itu diberikan oleh hakim-hakim sesudahnya, itu pun dilakukan secara gradual. Jadi untuk sampai kepada label putusan yang yurisprudensi, dibutuhkan proses-proses. Proses ini tidak terjadi di Indonesia karena MA sendiri sebenarnya tidak meng-endorse itu. Kritik saya terhadap MA, selalu ada dalam benak MA bahwa putusan itu kalau bisa harus inkracht (berkekuatan hukum tetap –red)dulu baru ada eksaminasi. Ketika Komisi Yudisial mengadakan penelitian tentang putusan hakim, ada semacam keberatan dari MA untuk melarang kita menganalisis putusan-putusan yang belum inkracht. Alasannya, analisis itu dikhawatirkan akan mempengaruhi hakim di tingkat selanjutnya.

 

Maksud saya, mempengaruhi orang kalau tujuannya untuk kebaikan itu oke-oke saja. Kalau saya jadi hakim, dengan membaca satu eksaminasi putusan kemudian saya tercerahkan sehingga mempengaruhi cara berfikir saya. Jadi kita jangan berfikir, ruang pengadilan itu adalah suatu ruang yang steril sehingga seolah-olah hakim itu setengah dewa. Sebenarnya interaksi sosial itu terjadi hakim itu manusia biasa sehingga jangan khawatir dengan pengaruh apapun.

 

Dengan kata lain eksaminasi itu adalah salah satu cara membuat diskursus terhadap putusan hakim dan diskursus yang paling lengkap sebetulnya dimulai dari pengadilan tingkat pertama. Kalau di pengadilan di atasnya, hanya 10 persen yang mengadili sendiri oleh MA, selebihnya itu sifatnya mengukuhkan putusan tingkat pertama. Itu kan artinya dia mengambil pertimbangan-pertimbangan pengadilan di bawahnya. Itu artinya MA tidak membuat argumentasi baru.

 

Dengan demikian, sebenarnya ada kesempatan bagi kalangan akademisi untuk memberi pencerahan bagi dunia akademis kalau bisa tidak hanya mengkritik tapi juga memberi apresiasi terhadap putusan-putusan yang bagus. Nah melalui jalan inilah sebuah putusan itu bisa tersosialisasi dengan baik. Tidak hanya sekadar membaca hukum materilnya dari putusan itu tetapi juga dalam bentuk semacam essence yang sudah dianotasi oleh akademisi.

 

Itu embrio dari sebuah yurisprudensi. Makin banyak akademisi memberi apresiasi terhadap suatu putusan makin berpotensi dia menjadi yurisprudensi dan satu saat bisa menjadi landmark. Kalau kondisinya terbalik, makin malas dia membuat putusan-putusan bagus. Sebaiknya buat dia main aman saja. Pernah saya di Cirebon, ada salah satu hakim yang berpendapat cukup aneh. Menurut dia, penemuan hukum itu tidak mungkin terjadi di pengadilan tingkat pertama. Tugas penemuan hukum itu ada di MA. Jadi mereka cukup memutuskan berdasarkan hukum positif yang ada. Biarlah tugas itu dilakukan oleh hakim agung nanti untuk membuat modifikasi penemuan hukum dan sebagianya. Cara berfikir seperti itu fatal.

 

Di sisi lain, hakim-hakim agung kita ingin minimalis. Yang angkanya kita lihat hanya 10 persen yang berbeda sementara sisanya mengukuhkan putusan pengadilan di bawahnya. Kalau kondisinya kayak gini sampai kapan kita bisa mengisi kelemahan dari Undang-Undang yang ada? Padahal kelemahan di UU itu bisa dilengkapi melalui keputusan yang kasuistik itu. Tapi karena putusan di MA itu tidak erga omnes, sehingga putusan-putusan kasuistik ini secara gradual bisa membentuk hal baru yang nantinya diikuti.

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait