Shidarta: Putusan Pengadilan yang Bagus Perlu Sering Diapresiasi
Landmark Decisions 2017

Shidarta: Putusan Pengadilan yang Bagus Perlu Sering Diapresiasi

​​​​​​​Yurisprudensi adalah mahkota hakim yang telah diakui dan dipilih secara cermat dan hati-hati dari banyak putusan. Setiap tahun Mahkamah Agung menerbitkan putusan-putusan terpilih.

M Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Bagaimana pandangan bapak terkait disparitas putusan yang hampir serupa?

Semua orang juga suka dengan kepastian hukum karena kata kunci dari kepastian hukum itu adalah predictibilitas. Kalau kita bisa memprediksi jadi kita bisa menduga kira-kira pla kasus kayak gini berarti ujungnya akan kayak begini. Kalau sampai ujungnya tidak bisa diperkirakan itu sebenarnya menunjukkan hukum kita unpredictable. Hukum itu kalau bisa sudah membuat satu ancar-ancar bagaimana suatu outcome akan tercapai dari sebuah proses. Namun apakah kepastian hukum itu segala-galanya? Jelas tidak ada orang yang setuju hal itu. Perkembangan yang ada misyarakat itu terus terjadi. Kalau kita meyakini setiap kasus itu unik, tidak ada yang persis sama betul, itu menunjukkan bahwa ruang untuk berbeda, ruang untuk adanya disparitas itu selalu terbuka.

 

Sekarang, apabila ada disparitas, majelis hakim harus berani menunjukkan di mana letak pertimbangan untuk memutuskan suatu yang berbeda itu. Itu yang tidak muncul. Anda boleh saja berbeda, tapi bedanya karena apa? Sehingga kita bisa menilai bahwa disparitas itu bisa dijustifikasi apa tidak. yang repot ini kalau susunan majelis hakimnya sama, kasusnya polanya gak jauh-jauh amat, kok tiba-tiba dalam waktu yang tidak terlalu jauh putusannya bisa 180 derajat. Akhirnya analisis orang akan ke mana-mana.

 

Ingat yah, putusan itu tidak bisa hanya dinikmati oleh majelis hakim. Putusan itu merupakan public domain. Ketika putusan itu dikeluarkan oleh majelis hakim, pada detik itu juga menjadi miliki publik. Kita berasumsi bahwa publik membaca dan menangkap maksud dari majelis hakim itu kenapa bisa sampai di situ. Jadi ada runtutan yang sistematis, dari analisis fakta sampai ke amar putusan itu harus nyambung. Kalau Anda jumping ke conclusion kita bisa menilai nih ada yang tidak beres.

 

Nah karena hakim tidak boleh menilai putusannya sendiri. Hakim lain dianggap tidak etis menilai putusan hakim yang lain. Maka akademisilah yang bisa menilai putusan itu. Makanya saya katakan, kampus-kampus itu merupakan sumber bagi hakim untuk bisa memperbaiki putusannya. Problemnya adalah ada keengganan untuk membuat putusan yang mencerahkan, sementara di sisi lain agak sulit mencari referensi karena MA sendiri tidak endorsement.

 

Ada perbedaan sikap antara MA dan MK terkait suatu hal, bagaimana Anda melihatnya?

Susahnya antara keduanya tidak ada yang lebih superior. Yang satu sifat menguji Undang-Undang dan berlaku erga omnes tetapi ketika masuk ke MA dalam bentuk kasus konkrit, sifat erga omnes ini tunduk pada kasuistik itu dan berlakulah asas res judicata pro veritate habetur. Sebetulnya ada asas hukum yang bisa mengatasi konflik itu. Jadi Anda boleh saja membuat tafsir yang bersifat erga omnes, yang dianggap sebagai tafsir resmi MK dalam membaca Undang-Undang. Tapi itu cara membaca secara umum sehingga MA mengatakan tunggu dulu, saya membaca secara kasuistik. (Baca juga: Bahasa Hukum: Sumber Hukum Formal Bernama Yursisprudensi)

 

Dua hal itu sebenarnya menurut saya oke-oke saja. Jadi ketika kita bicara teks kita pegang putusan MK, tapi ketika bisa konteks kita pegang putusan MA-nya. Jadi putusan MA itu tidak apa-apa sepanjang dia tidak menjadi yurisprudensi. Ingat, yurisprudensi itu sebenarnya adalah abstraksi dari kasus-kasus konkrit. Beberapa kasus konkrit yang serupa dikutip maka suatu saat akan menimbulkan satu preseden yang mendekati Undang-Undang. Dengan demikian akan terjadi kompetisi tafsir dari MK dengan tafsir yurisprudensi dari MA. Jadi kesimpulannya sepanjang dia belum meningkat jadi yurisprudensi, maka tidak masalah. Mana yang lebih kuat, tinggal kita lihat saja konteksnya sama apa tidak. Kalau sama, MA bisa menjadikan itu sebagai acuan.

 

Bagaimana akademisi melihat publikasi landmark decisions MA?

Saya tidak melihat adanya sosialisasi yang maksimal untuk putusan-putusan yang bagus itu. Paling selama ini yang diandalkan hanya situs di MA. Memang MA setiap 2 tahun sekali mengeluarkan buku untuk itu. Tapi saya tidak yakin akan sampai ke pengadilan yang ada di pedalaman sana. Kemudian, klaim itu putusan monumental kan sepihak juga. Yang paling penting dari menilai putusan itu monumental atau tidak adalah signifikansi dari putusannya. Belum kelihatan adanya keinginan kita untuk membuat yang sederhana sehingga hakim yang ingin mengutip putusannya dia bisa dengan cepat menangkap maksud dari putusan tersebut.

Tags:

Berita Terkait