Siapkan 5 Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, Kementerian ATR/BPN Minta Masukan Masyarakat
Berita

Siapkan 5 Peraturan Pelaksana UU Cipta Kerja, Kementerian ATR/BPN Minta Masukan Masyarakat

5 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja yang dibahas Kementerian ATR/BPN meliputi Tata Ruang, Pengadaan Tanah, Tanah Terlantar, Bank Tanah, dan Hak Atas Tanah.

Ady Thea DA
Bacaan 3 Menit

Tanah barang komoditas

Dalam keterangan tertulisnya, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria, Dewi Kartika, menilai substansi UU Cipta Kerja menabrak konstitusi. UU Cipta Kerja dianggap melanggar Pasal 33 ayat (3) dan (4) UUD Tahun 1945 yang intinya negara wajib menggunakan sumber agraria Indonesia untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat melalui demokrasi ekonomi. UU Cipta Kerja juga mengabaikan beragam putusan MK yang menguatkan hak konstitusi rakyat, seperti petani, nelayan, MHA, dan produsen pangan skala kecil.

Menurut Dewi, UU Cipta Kerja mendorong liberalisasi sumber agraria di Indonesia karena tanah menjadi barang komoditas. Padahal, UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menegaskan tanah memiliki fungsi sosial. Akibatnya, UU Cipta Kerja semakin menjauhkan rakyat dari cita-cita reforma agraria karena semangatnya bukan untuk membenahi ketimpangan struktur agraria.

“Tidak heran, UU Cipta Kerja memasukan pertanahan dan pengadaan lahan karena argumen Menteri ATR/BPN soal keluhan badan usaha (investor) yang kesulitan mendapatkan tanah di Indonesia,” kata Dewi.

Dewi menilai substansi UU Cipta Kerja serupa ketentuan dalam RUU Pertanahan yang gagal disahkan pada September 2019 silam. Ujungnya, UU Cipta Kerja akan menggantikan berbagai prinsip yang dimuat dalam UU No.5 Tahun 1960. Misalnya, UU No.5 Tahun 1960 pernah menghapus domein verklaring atau asas “negaraisasi tanah” yang berlaku di masa kolonial Belanda. Alih-alih memperkuat penghapusan itu, UU Cipta Kerja malah menghidupkannya dengan cara menyelewengkan hak menguasai negara (HMN) atas tanah melalui hak pengelolaan (HPL).

“Seolah negara adalah pemilik tanah. Ini bentuk pelanggaran lain terhadap konstitusi. Dari HPL, UU memfasilitasi penerbitan ragam jenis hak, salah satunya hak guna usaha (HGU) yang banyak menimbulkan konflik agraria struktural di berbagai daerah. Celakanya, proses perpanjangan dan pembaruan HGU dapat dilakukan sekaligus,” kata Dewi.

Dengan berlakunya kembali asas domein verklaring, Dewi menyebutkan setiap tanah yang tidak dapat dibuktikan kepemilikannya oleh rakyat otomatis menjadi tanah negara. Padahal, selama ini sistem administrasi dan pendaftaran atas tanah belum dijalankan secara berkeadilan sejak UU No.5 Tahun 1960 berlaku. Yang terjadi selama ini perampasan dan penggusuran atas nama penertiban tanah negara dan kebutuhan tanah untuk proyek pembangunan.

Tags:

Berita Terkait