Skor Akhir Nikah Beda Agama
Utama

Skor Akhir Nikah Beda Agama

Inilah rangkuman pandangan-pandangan organisasi keagamaan yang dirangkum dari risalah persidangan.

M. YASIN
Bacaan 2 Menit
Beberapa pemuka agama yang dihadirkan dalam persidangan judicial review terkait nikah beda agama. Foto: RES
Beberapa pemuka agama yang dihadirkan dalam persidangan judicial review terkait nikah beda agama. Foto: RES
Sesuai dengan janjinya, Mahkamah Konstitusi meminta keterangan dari sejumlah organisasi keagamaan mengenai pengujian Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UUP). Sidang atas permohonan ini sudah enam kali digelar. Pada sidang lanjutan, 4 Desember mendatang, Mahkamah akan mendengar keterangan ahli.

Islam
Organisasi keagamaan yang memberikan keterangan dalam persidangan adalah MUI, Muhammadiyah, PBNU, dan FPI. Dengan mengurai latar belakang lahirnya UUP, MUI berpandangan Pasal 2 ayat (1) UUP merupakan produk hukum yang telah sesuai dengan kebutuhan dan keinginan masyarakat. Terbukti, sejak 1974 tak pernah ada gerakan atau gejolak dari agama manapun yang menginginkan pembatalan Pasal 2 ayat (1) itu. MUI berpendapat adalah keliru pandangan pemohon yang menilai ada penyelundupan hukum sebagai bukti hilangnya wibawa hukum. MUI membuat tamsil, kalau ada penyelundupan kayu atau ikan, bukan berarti hukumnya yang salah. MUI mengingatkan bahwa perkawinan bukan hanya hukum perdata, tetapi juga hukum agama.

Terkait dengan argumentasi pemohon bahwa perkawinan adalah hak asasi manusia, MUI berpandangan Indonesia bukanlah penganut HAM yang bebas sebebas-bebasnya. Kalau dibuat aturan yang membebaskan perkawinan antaragama apapun, bahkan dengan yang bukan beragama, MUI yakin akan menimbulkan kekacauan hukum yang dampaknya tak terperikan. Karena itu, MUI meminta MK menolak permohonan pemohon.

Pandangan Muhammadiyah disampaikan Ketua Majelis Hukum PP Muhammadiyah, Syaiful Bakhri. Menurut Syaiful, rumusan Pasal 2 ayat (1) UUP tidak mewadahi perkawinan beda agama. Ia juga menilai tak ada pelanggaran HAM dalam rumusan itu. Kalau perkawinan tidak didasarkan pada agama, justru bertentangan dengan prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa.

Disampaikan oleh Ahmad Ishomuddin, Rois Syuriah Bidang Fatwa dan Hukum, Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengurai dasar-dasar fikih perkawinan dalam kesepakatan para ulam Islam. Dari rujukan-rujukan tersebut, PBNU berpendapat isi Pasal 2 ayat (1) sudah benar. Rumusan itu tak perlu direvisi karena sudah sesuai dengan ajaran agama Islam. Perkawinan beda agama dapat dinyatakan tidak bisa dilakukan secara Islam dan tidak bisa dicatatkan di KUA. PBNU meminta MK untuk tidak mengabulkan seluruh permohonan pemohon.

Front Pembela Islam (FPI) berpendapat pemohon keliru memahami Pasal 2 ayat (1) UUP. Di negara sekalipun, seperti Amerika Serikat, pernikahan tetap dilangsungkan di tempat ibadah (gereja) sehingga aturan agama tetap dipakai. Lalu, pencatatannya melalui hukum negara. FPI meminta Mahkamah Konstitusi menolak seluruh permohonan pemohon.

Kristen
Mahkamah Konstitusi mendengarkan keterangan PGI dan KWI. Nikson Gans Lalu, mewakili PGI, menyampaikan bahwa hukum perkawinan merupakan bagian dari hukum kekeluargaan, dan dalam skala besar masuk hukum perdata. Hukum perdata yang berlaku di Indonesia bercorak ragam. Sebelum UUP lahir, perkawinan di Indonesia tidaklah memperhatikan unsur perbedaan agama dan asal usul kedua pihak. “Sehingga status perkawinan antara orang-orang yang agamanya berbeda tidaklah menjadi soal”. Hukum agama tidak berperan menentukan sah tidaknya suatu perkawinan. Hingga kemudian muncullah Pasal 2 ayat (1) UUP.

PGI berpendapat Pasal 2 ayat (1) UUP telah mengabaikan realitas WNI yang beraneka ragam dan sangat menghargai multikulturalisme; sekaligus mengabaikan kenyataan bahwa manusia punya rasa cinta yang bersifat universal, tak mengenal perbedaan agama. Pasal 2 ayat (1) UUP seharusnya dibaca dalam semangat Bhinneka Tunggal Ika. PGI juga berpendapat rumusan Pasal 2 ayat (1) melanggar HAM, yaitu hak setiap orang untuk menikah dengan orang lain tanpa terhalang alasan agama. Akibat halangan itu, ‘banyak pasangan yang berbeda agama yang justru menjadi terjebak dalam pilihan yang tak mereka kehendaki’.

Interpretasi yang sempit terhadap Pasal 2 ayat (1) berpotensi menciptakan penyimpangan moral dan pelanggaran hukum, melahirkan kebijakan yang diskriminatif, sehingga penerapannya menyimpang dari rasa keadilan. PGI berpendapat sudah waktunya Pasal 2 ayat (1) UUP direvisi, diganti dengan aturan yang lebih demokratis.

Pandangan KWI, disampaikan Y. Purbo Tamtomo, pada prinsipnya memuat hubungan antar manusia dan negara. Peran dan tanggung jawab Negara perlu mengarah pada kepentingan dan kebaikan semua warga Negara sesuai hak asasinya. Kalau negara justru mempersempit dan membatasi wujud kebutuhan setiap warga, maka sama saja bertentangan dengan tugas pokok negara. UUP adalah bentuk upaya tanggung jawab negara.

Isi dan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUP adalah membatasi agama dan kepercayaan. Pembatasan itu mengakibatkan sebagian WNI tidak mendapatkan pelayanan dalam perwujudan haknya sebagai warga negara karena tak termasuk salah satu agama yang dibatasi itu. Dalam kondisi itu kerap dijumpai pemaksaan untuk memiih salah satu agama. KWI berpendapat negara melampaui kewenangannya karena memasuki ranah penyelamatan yang diyakini sebagai hubungan pribadi dengan Tuhan yang sepenuhnya menjadi hak asasi setiap orang.

KWI juga berpendapat ketentuan Pasal 2 ayat (1) UUP sering menimbulkan kesulitan bagi mereka yang hendak menikah beda agama. Mereka yang menikah dengan cara agama tertentu kesulitan mencatatkan perkawinan di catatan sipil. Agar kebutuhan catatan sipil terpenuhi, salah satu pasangan beda agama dipaksa untuk pindah agama. “Sikap ini bisa juga membuat orang sulit mewujudkan haknya untuk menikah jika menemukan pasangannya yang beda agama. Walubi tidak secara eksplisit meminta permohonan pemohon ditolak atau dikabulkan.

Hindu
Pandangan Hindu disampaikan I Nengah Dana, pengurus Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI). Hindu meyakini ada tahapan-tahapan dalam kehidupan (catur warna asrama dharma). Perkawinan adalah tahapan kedua dari empat tahapan hidup. Perkawinan adalah kewajiban suci, sehingga lembaga perkawinan harus dijaga keutuhan dan kesuciannya.

UU Perkawinan yang mengakui penerapan hukum agama (Hindu) dalam perkawinan relatif sejalan dengan pandangan Hindu, walaupun tidak persis sama. Kalau ada ketentuan administratif, tinggal menyesuaikan sebagai bentuk dharma negara. “Ketentuan-ketentuan penting di dalam agama Hindu telah terakomodasikan di dalam UU No. 1 Tahun 1974”.

Vivaha, perkawinan Hindu, mempunyai tujuan yang sangat mulia. Lembaga perkawinan bukan hanya melegalkan hubungan seksual (rati), tetapi juga meneruskan keturunan dan wadah pengamalan kewajiban agama dan ritual. Dalam prakteknya hingga sekarang ummat Hindu di Indonesia melaksanakan perkawinan yang pengesahannya dilakukan secara agama Hindu melalui beragam ritual. Mengingat begitu sakralnya perkawinan Hindu, maka kedua mempelai dipersyaratkan telah memeluk agama Hindu. Karena itu, PHDI tetap menginginkan rumusan Pasal 2 ayat (1) UUP tetap ada karena ‘sudah sesuai dengan ajaran Hindu’.

Jadi, perkawinan beda agama tidak mungkin dilakukan karena bertentangan dengan susatra veda. Kalau salah satu pasangan pindah agama karena hati nurani, itu tak melanggar hak asasi manusia. Toh, konstitusi tak melarang pindah agama.  

Budha
Suhadi Sendjaja, salah seorang Ketua Walubi, menyampaikan bahwa menurut ajaran Budha, sepasang manusia bisa melangsungkan pernikahan karena ada jodoh masa lampau yang sangat kuat dan dalam. Budha tidak begitu saja menerima ummat dari lain agama untuk ikut agama Budha.

Sebagai bagian dari bangsa dan negara Indonesia, ummat Budha patuh pada UUP dalam memberikan pelayanan keagamaan untuk hal-hal yang berhubungan dengan upacara pernikahan. Walubi tidak memberikan pandangan hukum mengenai permohonan.

Konghucu
Disampaikan Uung Sendana L. Linggaraja, pandangan Majelis Tinggi Agama Konghucu Indonesia (Matakin) didasarkan pada rujukan yang dikeluarkan Presidium Dewan Rohaniwan dan Dewan Pengurus Matakin 18 November 2014. Perkawinan adalah ikatan lahir antara seorang laki-laki dan seorang perempuan bertujuan membentuk keluarga yang bahagia dan melanjutkan keturunan. Hidup berkeluarga adalah hubungan terbesar dalam hidup manusia. Upacara perkawinan bermaksud menyatupadukan kebaikan dan kasih kedua keluarga yang berlainan marga.

Matakin berpendapat perbedaan paham, golongan, bangsa, budaya, etnis, social, politik atau agama tidak menghalangi dilangsungkannya perkawinan. Tetapi jika terjadi perbedaan agama, tata upacara pekawinan li yuan tidak bisa dilaksanakan. Yang bisa dilakukan hanya restu sebagai bentuk pengakuan dan pemberitahuan atas berlangsungnya perkawinan.
Tags:

Berita Terkait