Soal Kenaikan Cukai dan HJE Rokok, Ini Kata Asosiasi Tembakau
Berita

Soal Kenaikan Cukai dan HJE Rokok, Ini Kata Asosiasi Tembakau

Kenaikan ini dianggap dapat mengganggu industri tembakau dan rokok di Indonesia. Di sisi lain, kebijakan ini dinilai efektif untuk menekan penggunaan konsumsi rokok.

Fitri N Heriani
Bacaan 2 Menit

 

Sebelumnya, Wakil Kepala Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Fakultas Ekonomi Bisnis (FEB) Universitas Indonesia (UI), Abdillah Ahsan menilai bahwa besaran kenaikan cukai dan HJE rokok adalah kenaikan rata-rata. Jika berniat untuk mengendalikan peredaran rokok, maka seharusnya pemerintah berani menaikkan cukai dan HJE dua kali lipat.

 

Menurut Abdillah, jenis rokok Sigaret Kretek Mesin (SKM) merupakan jenis rokok terbesar yang menguasai pangsa besar di Indonesia dibanding jenis Sigaret Kretek Tangan (SKT). Penguasaan pangsa pasar jenis SKM mencapai 63 persen. Sehingga, kenaikan rata-rata tersebut tidak akan berlaku secara merata di semua jenis rokok. "Jadi, kalau ada kenaikan harga, pasti ada merek rokok yang kenaikannya cuma sedikit. Padahal, yang memiliki pangsa terbesar adalah rokok kretek mesin," katanya.

 

Sejauh ini, harga rokok SKM menjadi rokok paling mahal yang dikonsumsi di Indonesia. Hal ini cukup menjadi bukti bahwa harga mahal rokok SKM saa ini tidak mempengaruhi konsumsi dan tetap menguasai pasar. Sehingga, kenaikan dua kali lipat cukai dan HJE dianggap lebih efektif ketimbang kenaikan rata-rata seperti yang selama ini dilakukan pemerintah.

 

Melihat tingginya peredaran rokok SKM, maka Abdillah meminta pemerintah untuk menaikkan cukai dan HJE rokok jenis SKM sebesar dua kali lipat. Hal ini dinilai efektif untuk menekan penggunaan konsumsi rokok. Jika pemerintah ingin pengendalian konsumsi rokok berjalan efektif, maka pemerintah harus berani menaikkan harga rokok menjadi Rp60.000 hingga Rp70.000 per bungkus.

 

"Kalau mau menurunkan konsumsi rokok, harga rokoknya harus Rp 60.000 sampai Rp 70.000. Itu baru bisa menurunkan konsumsi," tutupnya.

Tags:

Berita Terkait