Stop Pungutan Liar dalam Pencatatan Nikah
Berita

Stop Pungutan Liar dalam Pencatatan Nikah

Besaran biaya nikah akan ditentukan dalam revisi PP No. 47 Tahun 2004. Biaya administrasi nikah untuk orang miskin bisa gratis.

M-16/MYS
Bacaan 2 Menit
Stop Pungutan Liar dalam Pencatatan Nikah
Hukumonline
Catatan Kekerasan Terhadap Perempuan Tahun 2013 yang dilansir Komnas Perempuan Maret lalu menunjukkan tingginya angka perceraian. Tercatat tak kurang dari 263.285 kasus perceraian melalui pengadilan agama. Penyebabnya beragam, antara lain karena kawin paksa, kawin di bawah umur, dan poligami tidak sehat.

Seringkali posisi perempuan dalam perceraian menjadi lemah. Misalnya karena perkawinan tersebut tidak dicatatkan. Pencatatan perkawinan terhalang karena alasan ekonomi, atau karena perkawinan kedua dan seterusnya tanpa izin isteri pertama. Komnas Perempuan sudah lama menyoroti perkawinan yang tak dicatatkan dan akibatnya pada perceraian.

Salah satu temuan Komnas Perempuan adalah kelompok masyarakat yang tak sanggup membayar biaya nikah di Kantor Urusan Agama (KUA) atau di Kantor Catatan Sipil (KCS). “Banyak yang tidak ingin mencatatakan perkawinan bukan karena mereka tidak mau. Ada orang miskin tidak punya uang untuk mendaftarkan perkawinan mereka,” jelas komisioner Komnas Perempuan, Kunthi Tridewiyanti, kepada hukumonline.

Ketua Subkomisi Reformasi Hukum dan Kebijakan Komnas Perempuan ini mengatakan ada juga kelompok masyarakat yang tak punya akses ke KUA atau KCS. “Seharusnya biaya nikah untuk orang tidak mampu justru diperkecil atau  ditiadakan tidak sama sekali,” ujar Kunthi.

Pencatatan perkawinan melalui KUA dan KCS memang masih menjadi masalah di negeri ini. Pungutan kepada calon mempelai biasanya lebih dari yang seharusnya dibayarkan. Apalagi kalau petugas diminta datang ke tempat acara pernikahan mempelai.

Biaya nikah menjadi bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di Kementerian Agama, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 47 Tahun 2004. Pemerintah, terutama Kementerian Agama dan Kementerian Keuangan, susah menyiapkan revisi atas peraturan ini. Terutama setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) turun tangan.

KPK turun tangan karena mencium praktek gratifikasi pada layanan nikah cerai di KUA. Survei-survei layanan publik yang diselenggarakan KPK menunjukkan unit layanan pernikahan, cerai, talak dan rujuk (KUA) mendapat peringkat rendah. Survei 2008, misalnya, menempatkan layanan KUA pada peringkat 88 dari 105 unit layanan yang disurvei. Kajian serupa menunjukkan biaya yang dikeluarkan warga lebih dari yang seharusnya. Ironisnya, Peraturan Menteri Agama No. 11 Tahun 2007 tentang Pencatatan Nikah, tak memuat sama sekali upaya mencegah gratifikasi dalam proses layanan administrasi pernikahan. Alhasil, layanan KUA akhirnya masuk ‘radar’ KPK.

Salah satu upaya yang dilakukan KPK untuk mencegah praktik gratifikasi di KUA adalah mempertemukan para pemangku kepentingan. Pada 20 Februari lalu misalnya digelar Rapat Koordinasi Nasional melibatkan KPK, Kementerian Agama, Ditjen Anggaran Kementerian Keuangan, Bappenas, dan Kemenko Kesra.

Dalam pertemuan itu, Menteri Agama Suryadharma Ali mengatakan ada perbedaan layanan pemerintahan pada umumnya dengan layanan administrasi KUA. KUA acapkali melayani di luar jam kerja, dan menurut Menteri Agama, inilah yang memunculkan potensi gratifikasi. Warga sering mengadakan perkawinan pada Sabtu atau Minggu, sehingga petugas yang datang ke rumah mempelai.

Berkaitan dengan pencegahan korupsi, Menteri Agama Suryadharma Ali juga sudah menerbitkan Instruksi Menteri No. 1 Tahun 2012 tentang Pelaksanaan Pembangunan Zona Integritas Menuju Wilayah Bebas dari Korupsi dan Wilayah Birokrasi Melayani di Lingkungan Kementerian Agama.

Wakil Ketua KPK Adnan pandu Pradja, berharap pernikahan yang digelar tanpa gratifikasi bisa melahirkan keluarga yang berintegritas. Perubahan regulasi biaya nikah di KUA menjadi salah satu usulan pencegahan gratifikasi.

Bebas biaya administrasi pernikahan juga menjadi peluang terbuka bagi warga miskin jika regulasi itu dirampungkan. Besaran tarif resmi tentu menunggu revisi PP No. 47 Tahun 2004 turun.
Tags:

Berita Terkait