Suara Penyandang Disabilitas dari JS Luwansa
Berita

Suara Penyandang Disabilitas dari JS Luwansa

Masuk Prolegnas setelah lobi enam bulan lebih.

MYS/ASH
Bacaan 2 Menit
Suara Penyandang Disabilitas dari JS Luwansa
Hukumonline
Masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 tinggal menghitung bulan. Di sisa masa jabatan ini biasanya fungsi-fungsi DPR tak berjalan maksimal. Tetapi Aryani Soekanwo, anggota Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia, masih berharap DPR dan Pemerintah menyediakan waktu untuk membahas RUU Disabilitas. Ia berharap di sisa masa sidang, DPR dan Pemerintah bisa melahirkan suatu Undang-Undang yang lebih melindungi para penyandang disabilitas di Tanah Air.

Aryani salah seorang dari puluhan penyandang disabilitas dan anggota kelompok kerja yang selama tiga hari berkumpul di hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan. Mereka membahas materi yang akan menjadi masukan ke dalam RUU Disabilitas. Setelah merapikan, draf RUU Disabilitas versi masyarakat sipil ini akan dibawa ke DPR.

RUU Disabilitas sebenarnya sudah masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2014. Memasukkan RUU ke dalam list juga bukan pekerjaan mudah. Butuh enam bulan lebih bagi kelompok-kelompok disabilitas meyakinkan anggota Dewan dan Pemerintah tentang pentingnya RUU ini. Mereka yang tergabung dalam Kelompok Kerja RUU Disabilitas meyakinkan DPR dan Pemerintah bahwa UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat sudah tak layak dipertahankan.

UU Penyandang Cacat 1997 terkesan berbasis pada konsep belas kasihan. Artinya, negara dan masyarakat berbelas kasihan kepada para penyandang cacat sehingga layak mendapat perlakuan lebih. Menurut Fajri Nursyamsi, anggota Kelompok Kerja, konsepsi demikian harus diubah. RUU Disabilitas menekankan pada basis hak asasi manusia. “Penyandang disabilitas harus didekati dengan basis hak asasi manusia, human right based,” kata peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) itu.

Perubahan paradigma melihat penyandang disabilitas itu mulai terlihat. DPR dan Pemerintah sudah menyetujui ratifikasi Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/UN CRPD), yang kemudian menjadi Undang-Undang No. 19 Tahun 2011. Menurut Fajri, CRPD sudah memuat hak-hak penyandang disabilitas berbasis pada konsep hak asasi manusia.

Itu pula sebabnya, kata Fajri, yang dilakukan Kelompok Kerja bukan sekadar revisi UU Penyandang Cacat. Kelompok Kerja menginginkan sebuah Undang-Undang baru yang isinya sejalan dengan CRPD.

Pertemuan Luwansa bukan rapat pertama Kelompok Kerja RUU Disabilitas. Sebelumnya, sudah ada tiga kali pertemuan untuk membahas masukan organisasi penyandang disabilitas yang masuk Kelompok Kerja. Misalnya, Himpunan Wanita Disabilitas Indonesia (HWDI), Persatuan Penyandang Disabilitas Indonesia (PPDI), Persatuan Tunanetra Indonesia (Pertuni), dan Panitia Pemilihan Umum Akses Penyandang Disabilitas (PPUA).

Agar penghormatan pada hak asasi penyandang disabilitas lebih kuat, RUU Disabilitas usulan masyarakat sipil mendorong terbentuknya Komisi Nasional Disabilitas Indonesia. Namun Dirjen HAM, Harkristuti Harkrisnowo, dalam diskusi Maret lalu, mengkhawatirkan pembentukan lembaga baru akan menimbulkan persoalan anggaran dan infrastruktur.

Masalah lain yang tak kalah penting diatur adalah pendataan penyandang disabilitas. Pendataan dapat dilakukan melalui ‘kartu’ identitas yang menyatakan seseorang penyandang disabilitas. Kartu ini berguna bukan hanya untuk pendataan, tetapi juga alat bagi pemiliknya untuk mendapatkan pelayanan publik tertentu seperti di sarana transportasi.

Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen Perundang-Undangan, Mualimin Abdi, belum bisa memberikan konfirmasi apakah RUU Disabilitas akan menjadi prioritas atau tidak dalam sisa masa tugas anggota DPR 2009-2014. Ia mengatakan harus mengecek lebih dahulu ke internal pemerintah perkembangan pembahasan RUU Disabilitas.
Tags:

Berita Terkait