Substansi Putusan MK Diubah, Pemohon Minta Pelaku Dipecat Tidak Hormat!
Utama

Substansi Putusan MK Diubah, Pemohon Minta Pelaku Dipecat Tidak Hormat!

Jika MK tidak melakukan investigasi dan memecat tidak terhormat pelaku, pemohon akan melakukan langkah hukum lebih lanjut, melalui jalur PTUN hingga pidana.

Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit
Ilustrasi sidang MK. Foto: RES
Ilustrasi sidang MK. Foto: RES

Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Perkara No. 103/PUU-XX/2002 dinilai berubah isi substansinya dari yang dibacakan ketika di ruang sidang dengan penulisan yang ada di dalam risalah dan juga salinan putusannya. Dalam hal ini Mahkamah Konstitusi diduga mengubah isi substansi putusannya yang berkaitan dengan pencopotan Hakim Konstitusi, Aswanto yang digantikan oleh Guntur Hamzah yang sebelumnya Sekjen MK.

Putusan No. 103/PUU-XX/2022 yang dimohonkan oleh Zico Leonard Djagardo Simanjuntak, merupakan uji materi UU No. 7 Tahun 2020 tentang perubahan ketiga atas UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Kalimat yang diubah dan dipermasalahkan ada pada salinan putusan halaman 51. Dalam persidangan hakim konstitusi Saldi Isra menyebut kalimat ‘dengan demikian’ yang diucapkan dalam sidang putusan tanggal 23 November 2022. Sedangkan di salinan putusan yang diunggah MK dalam website ada pada bagian yang sama kalimatnya diubah menjadi ‘ke depan’ dalam salinan putusannya.

Pemohon Putusan No. 103/PUU-XX/2022, Zico Leonard Djagardo Simanjuntak menceritakan pada saat sidang putusan dirinya tidak bisa hadir dan hanya membaca Salinan putusannya saja. Namun, entah kenapa dirinya ingin melihat ulang sidang di youtube MK saat liburan tahun baru kemarin.

Baca juga:

“Ketika saya cek sidang pembacaan putusannya, ternyata ada yang berbeda ketika dibacakan dengan risalah dan salinan putusannya. Risalah dan salinan putusannya sama, tetapi ketika dibacakan dalam sidang itu berbeda, yang tadinya ‘dengan demikian’ menjadi ‘ke depannya’,” kata Zico kepada Hukumonline, Minggu (29/01).

“Ini bukan kesalahan, tetapi kesengajaan. Bagi saya harus ada investigasi dari internal MK dan dewan etik, meski dewan etik saat ini mati suri,” tambahnya.

Ia mengatakan bahwa dirinya telah melakukan uji materi ulang terkait putusan tersebut. Meski begitu, sebagai permohon dirinya merasa dirugikan terkait hal ini, dan menginginkan pelakunya dipecat tidak hormat. “Kalau saya tega, bisa saja nanti melalui jalur pidana, tapi itu lihat nanti, mungkin kalau MK tidak berani melakukan pemecatan tidak terhormat pada pelakunya, saya akan perkarakan sampai sana,” tegas Zico.

Dalam hukum, lanjut Zico, satu kata itu beda maknanya. Bila putusannya mengatakan “dengan demikian” yang ketika dibacakan putusannya Guntur Hamzah dua jam setelah dilantik, maka pengangkatan Guntur Hamzah dapat di-cancel dan putusan ini dapat dijadikan bukti ke PTUN, yang akan membuat hakim konstitusi Aswanto menang. “Karena pertimbangan putusan MK kan mengikat dan memiliki kekuatan hukum. MK sendiri yang mengatakan itu,” kata dia.

Lanjutnya, karena Guntur Hamzah sudah dilantik menjadi Hakim Konstitusi dan entah siapa yang memiliki kepentingan kemudian diubah menjadi ‘ke depan.’ Padahal kalau sudah RPH Hakim Konstitusi itu tidak boleh diubah. “Nah, bila ini diubah entah oleh siapa berarti bukan dari konsensus mayoritas hakim konstitusi. Jika, hal ini dilakukan oleh Hakim Konstitusi berarti sudah penghinaan terhadap kolega-koleganya,” kata dia.

Diketahui, frasa yang diubah tersebut adalah “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya".

Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di website MK, adalah "Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya"

Dosen Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti mengatakan tidak pernah terjadi sebelumnya putusan MK yang dibacakan berbeda dengan salinan putusannya. Yang harus dilakukan MK, harus mengecek terlebih dahulu kesalahannya di mana, siapa yang melakukan dan mengapa? Hal ini perlu kebijaksanaan MK.

“Kalau dilakukan oleh hakim konstitusi maka akan ada sanksi etiknya dan bila dilakukan oleh panitera akan ada sanksi panitera. Artinya, mesti ada tindak lanjut mengenai kesalahan siapa, untuk diterangkan kepada masyarakat apa yang terjadi sebenarnya,” kata dia.

Ia juga mengatakan untuk memperbaiki putusan ini agak rumit, karena seperti diketahui bahwa putusan MK tidak ada upaya hukum lainnya, jadi bisa dilakukan dengan mengajukan lagi perkara baru. Tetapi untuk perkara baru berarti harus ada terlebih dahulu kejelasan yang baru terjadi supaya dalam putusannya ada kebaruan di sana, kalau tidak nanti bisa sama persis putusannya.

“Dalam logika bahasa, sebuah kata itu memiliki makna yang berbeda. Seperti saat ini frasa ‘dengan demikian’ diartikan sebagai ‘maka’ yang berarti dilakukan saat itu juga atau berlaku langsung. Tetapi kalau ‘ke depan’ keberlakuannya di masa yang akan datang,” kata Bivitri.

Kepala Humas MK Hubungan Dalam Negeri, Fajar Laksono Suroso ketika dihubungi oleh Hukumonline hingga tulisan ini dinaikkan, belum bisa merespons masalah ini lebih jauh. “Mohon maaf, kami belum akan memberikan respon soal itu, masih dikaji menyeluruh,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait