Surat Ketua MA Jadi Bukti Pengujian UU ASN
Berita

Surat Ketua MA Jadi Bukti Pengujian UU ASN

MA tak pernah dimintai pendapat saat penyusunan RUU ASN.

Oleh:
ASH
Bacaan 2 Menit
Surat Ketua MA Jadi Bukti Pengujian UU ASN
Hukumonline
Surat yang masing-masing dikeluarkan dua ketua Mahkamah Agung (MA), Harifin A Tumpa dan penggantinya M. Hatta Ali, disampaikan kepada majelis hakim konstitusi yang menyidangkan pengujian UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).

Gazalba Saleh, salah seorang pemohon, menduga pada dasarnya MA mendukung hakim ad hoc dikualifikasi sebagai pejabat negara. Dugaan itu berdasarkan pada dua surat dimaksud. Sayang, Gazalba tidak merinci perihal, dan substansi kedua surat Ketua MA tersebut. Ia hanya menegaskan surat Ketua MA No. 096 Tahun 2011 dan No. 35 Tahun 2012 itu sudah diserahkan kepada majelis. Tetapi ia yakin kedua surat menegaskan hakim ad hoc sebagai pejabat negara.

“Tadi (dalam sidang) sudah saya sampaikan adanya dua surat Ketua MA yang menegaskan hakim ad hoc adalah pejabat negara. Dari situ, clear bagaimana sikap MA terhadap posisi/status hakim ad hoc,” ujar Gazalba usai persidangan di gedung MK, Rabu (24/9).

Suhadi, hakim agung yang mewakili MA sebagai pihak terkait dalam sidang itu, tak memberikan konfirmasi mengenai pandangan resmi lembaganya. “Kami hanya memberikan informasi yang diminta MK. Soal kebijakan lembaga kami tidak bisa memberikan tanggapan,” kata Suhadi.

Gazalba mengatakan beberapa Undang-Undang bidang peradilan menerangkan hakim ad hoc adalah hakim yang memiliki fungsi yang sama dengan hakim karier. “Bagaimana tanggapan Bapak Suhadi terhadap dua surat tersebut?” tanya Gazalba dalam persidangan yang diketuai Hamdan Zoelva.

Suhadi enggan menjawab pertanyaan itu karena menyangkut kebijakan lembaga yang harus dikoordinasikan dengan pimpinan MA. Dia mengaku MA hanya dimintai keterangan sesuai yang diminta MK.

Suhadi mengatakan intinya MK meminta MA memberi penjelasan macam-macam hakim ad hoc, berapa jumlah pengadilan ad hocnya seluruh Indonesia. Kemudian berapa hakim ad hoc seluruh Indonesia, bagaimana rekrutmennya dan pemberhentiannya. Terakhir,  jumlah perkara di Pengadilan Tipikor, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), dan Pengadilan Perikanan.

Misalnya, perkara korupsi yang masuk di MA Tahun 2012,  879 perkara kasasi dan 197 perkara untuk peninjauan kembali (PK). Tahun 2013, 821 perkara kasasi dan 148 perkara PK. Untuk perkara PHI di MA Tahun 2012, kasasi 641 perkara dan 140 perkara PK. Tahun 2013, kasasi 443 perkara kasasi dan 100 perkara PK. Untuk perkara perikanan di MA Tahun 2012, 31 perkara kasasi dan 2 perkara PK. Tahun 2013, 26 perkara kasasi dan 0 perkara PK. “Peradilan Perikanan yang terakhir dibentuk tidak ada perkara yakni Pengadilan Perikanan Jakarta Utara dan Pengadilan Tual,” ungkapnya.

Terkait ketentuan hakim ad hoc bukan pejabat negara, Suhadi mengungkapkan MA tak pernah diminta pandangan saat proses penyusunan UU ASN tersebut. Karena memang itu kewenangan pemerintah dan DPR. “Jadi bisa ditanyakan ke pemerintah dan DPR. MA hanya melaksanakan,” katanya.

Gazalba juga sangat mengharapkan jawaban persoalan ini dari pemerintah dan DPR, tetapi hingga saat ini mereka pasif. “Demikian juga DPR yang tidak pernah datang dalam persidangan,” imbuhnya.

Sebelumnya, sebelas hakim ad hoc mempersoalkan Pasal 122 huruf e UU ASN lantaran profesi hakim ad hoc bukan dianggap sebagai pejabat negara. Ketentuan itu menyebut semua hakim di lingkungan peradilan sebagai pejabat negara, kecuali hakim ad hoc. Menurut pemohon seharusnya layak dianggap sebagai pejabat negara jika mengacu Peraturan Mensesneg No. 6 Tahun 2007 tentang Jenis dan Dasar Hukum Pejabat Negara dan Pejabat Lainnya disebutkan pengertian pejabat negara diangkat dan diberhentikan presiden. Faktanya, semua hakim ad hoc diangkat dan diberhentikan dengan Keppres.

Apabila hakim ad hoc tidak dianggap pejabat negara, konsekuensinya mereka boleh menerima gratifikasi dari pihak yang berperkara, dan tidak wajib melaporkan ke KPK. Soalnya, yang dilarang menerima gratifikasi pejabat negara dan penyelenggara negara. Sementara hakim ad hoc bukan pejabat negara, melainkan hakim “outsourcing”. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan perlakuan diskriminatif.

Karena itu, para pemohon meminta MK menyatakan hakim ad hoc adalah pejabat negara pada semua badan peradilan di bawah MA dengan cara menyatakan Pasal 122 huruf e UU Aparatur Sipil Negara sepanjang frasa “kecuali hakim Ad Hoc” bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan mengikat bagi hakim ad hoc.
Tags: