'Tabrak-Tabrak Masuk' Pinjol Uang Kuliah di Perguruan Tinggi
Utama

'Tabrak-Tabrak Masuk' Pinjol Uang Kuliah di Perguruan Tinggi

Setidaknya ada dua undang-undang yang dilanggar. Penyelidikan awal sedang dilakukan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 8 Menit

Tabrak Undang-Undang Pendidikan Tinggi

Sejak Januari lalu kesibukan Eugenia ’Jenny’ Mardanugraha bertambah usai menjabat Anggota Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) 2004-2009. Jenny memiliki latar belakang keahlian di bidang jasa keuangan. Sebagai salah satu pimpinan KPPU, lembaga pengawas persaingan usaha ini mendapat tugas utama mengawasi sektor jasa keuangan termasuk fintech.

Ramainya pemberitaan di media massa soal demonstrasi mahasiswa ITB yang menolak penggunaan pinjol dalam pembayaran uang kuliah mendapat perhatian khusus KPPU. Lembaga ini menyampaikan pinjaman uang kuliah kepada mahasiswa bertentangan dengan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (UU Pendidikan Tinggi).

Pasal 76 Ayat 1 dan Ayat 2 huruf c UU Pendidikan Tinggi menerangkan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau Perguruan Tinggi berkewajiban memenuhi hak Mahasiswa yang kurang mampu secara ekonomi untuk dapat menyelesaikan studinya sesuai dengan peraturan akademik. Salah satu pemenuhan hak mahasiswa sebagaimana dimaksud dengan cara memberikan pinjaman dana tanpa bunga yang wajib dilunasi setelah lulus dan/atau memperoleh pekerjaan.

”Mengenai pinjaman, ini jadi dasar hukum yang ada di Indonesia dan cuma disebutkan satu-satunya pada pasal itu saja. Nah, tapi tanpa bunga dan dibayar setelah memiliki penghasilan,” ungkap Jenny, Jumat (15/3/2024).

Hukumonline.com

Jenny menjelaskan alasan KPPU menduga pinjol pendidikan telah melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat, Jumat (15/3/2024).

Persoalan lain yang jadi perhatian KPPU yaitu pada aspek persaingan usaha. Seharusnya kampus membuka kesempatan kepada sektor jasa keuangan lain—seperti koperasi, bank, dan bank perkreditan rakyat—dalam layanan pinjaman pendidikan ini. Dia menjelaskan sedikitnya jumlah pemain pada industri pinjaman pendidikan ini berisiko menimbulkan tingkat suku bunga tinggi.

”Suku bunga yang diberikan fintech ini kepada mahasiswa sangat tinggi. Meski di bawah suku bunga maksimum OJK, tapi dari sisi pasar keuangan itu suku bunga tinggi,” ungkap Jenny. KPPU menjadikan data itu sebagai indikasi untuk menganalisis adanya persaingan usaha tidak sehat.

Jenny juga mengkhawatirkan industri pinjaman pendidikan ini berdampak buruk bagi mahasiswa setelah lulus. Betapa tidak, mahasiswa sudah terjerat utang saat bekerja. ”Setelah lulus kuliah, seorang mahasiswa memiliki utang yang suku bunganya tinggi. Penghasilan yang harusnya dikasih ke keluarga jadi belum bisa,” imbuhnya.

Pada Jumat (22/3/2024), KPPU juga menduga terdapat pelanggaran UU No.5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU Persaingan Usaha). KPPU memutuskan penegakan hukum melalui tindakan penyelidikan awal perkara inisiatif akan dimulai.

KPPU memang telah melakukan berbagai pendalaman atas persoalan pinjol pendidikan dan telah menghadirkan berbagai pihak terkait sejak bulan Februari 2024. Hasil kajian KPPU menunjukkan bahwa pelaku usaha pinjol menetapkan suku bunga pinjaman yang sangat tinggi. Bahkan, besarnya jauh lebih tinggi daripada suku bunga pinjaman perbankan, baik pinjaman produktif maupun konsumtif.

Selanjutnya, KPPU juga melakukan perbandingan suku bunga pinjaman pendidikan di berbagai negara. Lagi-lagi hasilnya pinjaman pendidikan melalui pinjol di Indonesia sangat jauh lebih tinggi dibandingkan produk pinjaman pendidikan di luar negeri.

Penerapan suku bunga yang tinggi ini memperkuat dugaan KPPU bahwa pelaku usaha pinjol telah melakukan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat di pasar tersebut. Sejak 20 Maret 2024, KPPU memutuskan untuk melanjutkan kajiannya. Penyelidikan awal digelar guna mencari alat bukti pelanggaran berikut kejelasan pasal UU Persaingan Usaha yang dilanggar.

Butuh Regulasi Jelas

Pinjaman pendidikan rupanya bukan barang baru di Indonesia. Sekitar tahun 1980-an, dikenal program Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI) yang diluncurkan oleh Bank Negara Indonesia (BNI). Namun, program tersebut dianggap gagal karena tercatat sejumlah besar mahasiswa yang tidak membayar pinjamannya.

”Dulu sekitar tahun 1980-an ada Kredit Mahasiswa Indonesia diberikan BNI. Tapi gagal, artinya terjadi gagal bayar banyak. Saya dengar ceritanya dulu dijaminkan ijazah, tapi mahasiswa punya fotokopi ijazahnya dan dilegalisasi sehingga bisa digunakan untuk kerja. Jadi banyak mahasiswa tidak mengambil ijazah (aslinya),” kata Jenny.

Agar permasalahan sama tidak terulang, Jenny menyarankan kepada pemerintah membuat skema dan regulasi yang jelas. Ketentuan yang perlu diatur antara lain skema pembayaran, tingkat suku bunga, antisipasi risiko gagal bayar, hingga pengintegrasian sistem perpajakan.

”Pinjaman pendidikan ini harus diatur secara ketat. Pemerintah butuh skema seperti pembayaran bagaimana, suku bunga berapa, kalau mahasiswa gagal bayar bagaimana solusinya. Kalau di negara-negara maju semua sistem student loan sudah terkait sistem perpajakan. Sehingga ketika mahasiswa lulus dan punya penghasilan, pemerintah sudah tahu orang ini punya kemampuan berapa. Tapi, Indonesia belum punya sistem itu,” jelas Jenny.

Tags:

Berita Terkait