Tafsir Kritis Fenomena Koalisi Guru Besar
Kolom

Tafsir Kritis Fenomena Koalisi Guru Besar

Suara moral koalisi-koalisi itu tetap harus dikawal, termasuk juga perlu dikritisi.

Bacaan 6 Menit
Fajar Laksono. Foto: RES
Fajar Laksono. Foto: RES

Belakangan ini tersuguh fakta menarik: para guru besar beramai-ramai menulis ‘nawala’ merespon isu tertentu berkenaan dengan kekuasaan (negara). Pada 2018 silam, tercatat  54 guru besar menuntut seorang Hakim Konstitusi mundur dari jabatannya. Tempo hari, 51 guru besar yang  tergabung dalam Koalisi Guru Besar Antikorupsi menyampaikan surat terbuka kepada Mahkamah Konstitusi agar mengabulkan permohonan uji materi UU KPK.

Disusul kemudian, 28 guru besar menyatakan menolak penonaktifan 75 pegawai KPK yang tak lulus Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Belum lama ini, sebanyak 73 guru besar melayangkan surat kepada Presiden terkait polemik TWK. Berikutnya, 77 orang guru besar meminta Presiden menunda pelantikan para pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara pada 1 Juni lalu.

Berkait itu, dalam artikelnya, jurnalis senior Budiman Tanuredjo menafsir fenomena itu sebagai kegalauan cendekiawan terhadap keadaan. Namun, fenomena itu bisa juga ditafsirkan secara lain, tulis Budiman. Tergantung di mana posisi moral seseorang. Di atas kertas, semua argumen seragam mengarah pada tafsir bahwa fenomena itu sebagai bentuk kegalauan para guru besar menyaksikan situasi yang berkembang, utamanya menyangkut isu pemberantasan korupsi yang selalu ‘sexy’ di panggung media.

Logika itu persis alur pikiran penyair W.S. Rendra (1989). Para guru besar, para cendekiawan itu, disebut W.S. Rendra, “berumah di angin”. Dari ketinggian, mereka mengamati dan mempelajari perkembangan dengan objektif dan seksama. Para ‘resi’ itu mengambil jarak dari rutinitas praktik kekuasaan, tetapi akan hadir dalam situasi darurat untuk memperbaiki situasi runyam. Itu satu tafsir. Pertanyaannya, adakah tafsir lain seperti yang dimungkinkan Tanuredjo? Ini menarik. Misalnya dipicu oleh canda tanya, kenapa baru sekarang-sekarang ini para resi muncul, bersuara gegap gempita melalui kerumunan  koalisi? Kenapa pula memutuskan hadir berkoalisi pada isu tertentu, tetapi terkesan diam pada isu lain?

Dua Jalan Wacana Relasi

Guna menelisik keberadaan tafsir lain itu, menarik untuk berpijak pada wacana relasi antara intelektual dan kekuasaan. Mendiang Prof. Cornelis “Connie” Lay (Guru Besar Ilmu Politik UGM) dalam pidato pengukuhan guru besarnya pada 2019, membilah wacana relasi itu ke dalam dua jalan, yaitu pilihan diametral antara pemujaan atau kebencian terhadap kekekuasaan.

Jalan  pertama, dan ini yang mendominasi, relasi dibangun atas sikap pemujaan atas dan penaklukan diri pada kekuasaan. Kata sastrawan Hazzlit, kekuasaan adalah berhala ngeri yang dipuja dunia. Sangat memikat. Pemujaan itu menempatkan kekuasaan sebagai ruang nyaman bagi intelektual. Di jalan ini, para intelektual kampus yang ‘nyemplung’ di pusat-pusat kekuasaan seringkali kebacut nyaman menikmati dentam irama kekuasaan. Padahal di jalan ini, para intelektual dilenakan oleh sederet fase jebakan yang pada praktiknya sulit dilewati.

Di fase awal, menurut Prof. Connie, banyak intelektual (meski tak semua) di lingkar kekuasaan tergagap-gagap begitu menerima kekuasaan. Banyak yang jatuh dalam sifat kemaruk dan gila hormat gegara dilekati fasilitas dan protokoler jabatan. Pada fase berikutnya, tak sedikit yang terjerat penyalahgunaan kekuasaan. Fase selanjutnya, intelektual-intelektual itu kesulitan menemukan jalan turun secara bermartabat dari kekuasaan. Bertumpuk alasan dibuat untuk bertahan, bahkan dengan cara-cara yang tidak masuk akal.

Heru Nugroho (2012) dengan kalimat cadas ‘menegur’ mereka. Dikaitkannya mereka dengan istilah ‘dosen asongan’, yaitu dosen yang kerja di luar kampus dan menjadikan kerja kampus justru sebagai sambilan. Menurut Heru, tugas utama mereka bukan lagi menjadi intelektual kampus, tetapi menggunakan alat-alat akademik untuk kepentingan ekonomi politik mereka.

Sementara, di jalan kedua, berangkat dari sikap dan pengandaian kaum intelektual yang memiliki kedigdayaan untuk hidup di luar kekuasaan. Di jalan ini, banyak intelektual yang sampai hari ini menjaga jarak, bahkan ‘mengharamkan’ dunia politik dan kekuasaan yang digambarkan secara stereotyping sebagai dunia ‘kotor’ yang tak layak dimasuki kaum intelektual sebagai simbol ‘kebersihan’ dan ‘kesucian’. Berangkat dari sini, mereka seolah merasa punya kebenaran absolut ketika mengontrol, mengkritik, bahkan memaki dan menghina bekerjanya kekuasaan beserta tingkah polah segenap pelaku-pelakunya.

Perlu Memastikan

Secara prinsip, saya sependapat dengan Tanuredjo. Suara kencang (koalisi) para resi itu merupakan ekspresi kegalauan kaum intelektual yang berdiri luar pusaran kekuasaan terhadap keadaan hari ini. Mungkin, para akademisi kelas ‘brahmana’ dari beragam disiplin ilmu itu punya kesamaan frekuensi, lantas saling sepakat me-nyetting alarm agar berbunyi saat moralitas dan kebajikan umum dirasa mulai tercederai.

Mungkin benar kata Edmund Burke, ahli ekonomi dan filsuf asal Irlandia, “merajalelanya keburukan dalam suatu komunitas atau suatu bangsa adalah karena orang-orang yang baik berdiam diri”. Sangka baiknya, itulah kira-kira yang ngawe-awe para resi, orang-orang baik itu, untuk menyudahi laku diam lalu berduyun turun dari ‘rumah di angin’.

Tentu, zalim serta merta mengkategorikan para resi itu sebagai penempuh jalan kedua seperti digambarkan Prof. Connie. Saya hampir yakin, beliau-beliau yang sudi berjalan di balik awan lalu turun ke bumi tidaklah dikipasi oleh sikap kebencian terhadap kekuasaan. Namun untuk yakin sepenuhnya, masih diperlukan satu hal, yakni memastikan para resi itu bukan pula termasuk rombongan penempuh jalan pertama, yakni golongan intelektual yang membangun relasi dengan kekuasaan atas dasar pemujaan pada kekuasaan itu sendiri. Apa maksudnya?

Saya dan publik umum lainnya perlu diyakinkan bahwa lantangnya suara kritis kerumunan para guru besar di dalam koalisi itu bukan dibakar api kecemburuan kepada kolega sesama guru besar-apalagi dengan yang berlainan mazhab keilmuan atau beda visi moral dan misi pragmatis-yang saat ini berada di pusat-pusat kekuasaan di cabang dan level manapun. Perlu diyakinkan pula, agar jangan sampai kelak terbukti bahwa sikap kritis pada kekuasaan itu dilakukan cuma sebagai pembungkus motif agar pendapat dan eksistensinya diperhitungkan, sembari ngarep ditawari atau ‘ditarik’ masuk ke pusaran kekuasaan.

Artinya, kendatipun berada nun jauh di pelosok batin dan secara diam-diam, rupanya tersimpan kehendak merealisasikan hasrat tinggi akan kuasa-pragmatisnya untuk menjadi bagian dari yang dikritik. Kalau itu terjadi, ya sudah, rusak! Pada akhirnya mereka (atau sebagian) layak digolongkan dalam rombongan penempuh jalan pertama yang sikapnya berakar dari pemujaan pada kekuasaan. Hanya saja, belum kelakon alias belum kesampaian. Tak terbayangkan apa jadinya bangsa ini bila intelektual kampus ramai-ramai meninggalkan tugas pokoknya dan larut dalam kenduri politik dan kekuasaan.

Cilaka kalau misalnya itu benar. Niscaya sulit berharap seruan moral yang dilontarkan ke tengah ruang publik itu memiliki kekuatan emansipatoris, dalam artian mampu menggerakkan pelaku-pelaku kekuasaan kembali ke atas rel moral. Khawatirnya lagi, fenomena itu hanya menjadi  eksyen dalam drama pergunjingan yang memanfaatkan situasi masyarakat pencitraan yang oleh Guy Debord (1967) disebut the society of spectacle. Walaupun tontonan yang disajikan semu belaka, tak apa, tetap pamerkan saja! Jadilah riuh suara dari kerumunan  itu membuktikan intelektual sebagai part of fenomena klobotisme (2012). Maksudnya, terasa gaduh dan berisik, tetapi ‘ampang’ tidak berisi. Seperti kertas rokok klobot, kalau diremas bersuara ‘kemresek.

Menguatkan Jalan Ketiga

Kedua jalan di atas: pemujaan atau kebencian terhadap kekuasaan, ibarat tiket satu arah, masuk atau keluar. Terlalu naif dan dikotomis. Nah, untuk itu, Prof. Connie (2019) menawarkan jalan ketiga, yaitu jalan yang bersifat timbal balik. Maksudnya, ada jalan dimana intelektual bisa masuk dan keluar dari kekuasaan berdasarkan penilaian yang matang dan menyeluruh, bukan didikte oleh motif pemujaan atau kebencian terhadap kekuasaan.

Merintis jalan ketiga itu memang tidak gampang. Tetiba ingat isi dan pesan orasi ilmiah yang sering disampaikan Prof. Moh. Mahfud MD di kampus-kampus, terutama saat momentum wisuda. Prof. Mahfud sering mengucapkan, intelektual itu predikat yang disematkan bagi ‘sarjana’ yang terpanggil jiwanya untuk turut memperbaiki kondisi bangsa dengan ilmunya. Dengan kata lain, yang tak mau berperan apa-apa tak layak disebut intelektual, melainkan orang yang secara kebetulan saja menyandang gelar akademik. Begitu juga guru besar, kalau tidak pernah merasa terpanggil jiwanya, jabatan akademik tertinggi itu bisa-bisa hanya menunjukkan administrasi kasta kepangkatan dan aspek  tunjangan belaka.

Mengutip Heru Nugroho (2012), universitas harus mampu menjadi tuk (sumber air), menjadi semacam kedhung (kolam besar) ilmu pengetahuan. Karena itu dikatakan pula, setiap akademisinya harus memiliki sikap ilmiah, yaitu mampu menjaga jarak dengan kekuasaan, memiliki otonomi diri sebagai intelektual, dan harus tahan dengan godaan untuk berkuasa dan motif ‘menglaba’ (2012: 17).

Menafsiri frasa “menjaga jarak dengan kekuasaan” jangan kaku sebagai harga mati untuk selalu berada di luar dan menampik peluang masuk ke lingkaran kekuasaan. Mau berada di luar atau di dalam kekuasaan itu silakan, masing-masing punya sikap, hak, dan otonomi. Yang terpenting, ketika berkesempatan berada di dalam kekuasaan, seorang intelektual harus tertantang untuk mampu memberi solusi bermodal ilmunya. Bukan malah menimbulkan atau menjadi bagian dari masalah.

Selain itu, ia harus sejak dini ‘pasang kuda-kuda’ terkuat untuk menghalau setiap godaan dan lolos dari semua fase jebakan. Sebaliknya, manakala berada di luar lingkar kekuasaan, tak perlu mematri dan melembagakan kebencian terhadap kekuasaan. Sudahi cara-cara memberi stigma gelap pada kekuasaan, apalagi kalau ternyata aslinya setengah mati menginginkannya.

Akhirnya, agar punya kekuatan emansipatoris, suara moral koalisi-koalisi itu tetap harus dikawal, termasuk juga perlu dikritisi. Alangkah baik jika fenomena suara para resi dalam koalisi-koalisi itu dimaknai, diarahkan, dan dijadikan material untuk memastikan terbangunnya konstruksi jalan ketiga dalam wacana relasi intelektual-kekuasaan sebagaimana dibayangkan Cornelis Lay. Dengan begitu, wacana relasi itu  tak disandera oleh pemujaan atau kebencian terhadap kekuasaan. Tabik, Prof. Connie!

*)Dr. Fajar Laksono Suroso, Murid Sejumlah Guru Besar, Pengajar HTN Fakultas Hukum Universitas Brawijaya.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait