Tak Ada Kewajiban Label Halal, Permendag 29/2019 Dinilai Cacat Hukum
Berita

Tak Ada Kewajiban Label Halal, Permendag 29/2019 Dinilai Cacat Hukum

Perlindungan konsumen Muslim di Indonesia harus tetap dikedepankan.

M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id
Ketua Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi. Foto: ylki.or.id

Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 29 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan, menimbulkan polemik di masyarakat. Pasalnya, Permendag itu menghapus keharusan adanya sertifikasi atau label halal seperti yang tertuang dalam aturan sebelumnya, yakni Permendag No.59 Tahun 2016.

 

Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, mengatakan penghapusan tersebut secara diametral melanggar tiga ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Ketiga undang-undang itu adalah UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, dan UU No. 41 Tahun 2014 tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.

 

Menurut Tulus, mengacu pada UU JPH semua produk makanan/minuman, termasuk daging yang beredar di Indonesia harus dijamin kehalalannya. Di dalam UU Perlindungan Konsumen juga dijelaskan bahwa produk yang dikonsumsi konsumen harus dijamin keamanannya bagi konsumen.

 

“Bagi konsumen muslim, aspek kehalalan adalah menjadi aspek yang tidak bisa dipisahkan dengan masalah keamanan secara umum,” kata Tulus, Selasa (17/9).

 

Oleh karena itu, Tulus menilai bahwa Permendag No. 29/2019 cacat hukum. YLKI mendesak agar Permendag tersebut segera dibatalkan atau minimal direvisi demi menjamin keamanan pada konsumen saat mengonsumsi daging dan turunannya. “Dan demi kepatuhan terhadap produk hukum yang lebih tinggi,” ujarnya.

 

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (Wantim MUI), Didin Hafidhuddin, mengatakan impor produk hewani dari Brazil agar tetap mencantumkan label halal. “Kaum Muslimin itu konsumen terbesar di Indonesia jadi harus mendapatkan perlindungan,” kata Didin Hafidhuddin, seperti dilansir Antara, Rabu (18/9).

 

Didin mengatakan perlindungan konsumen Muslim di Indonesia harus dikedepankan, sehingga pihaknya setuju jika dilakukan uji materi ke Mahkamah Agung terhadap Permendag 29/2019 tersebut. Secara substansi, dia mengatakan umat Islam harus mengonsumsi makanan halal. Persoalan produk halal merupakan hal yang sangat vital bagi umat Islam karena terkait dengan ajaran agama.

 

"Permendag harus direvisi dan kami mendukung 'judicial review' karena itu untuk umat Islam yang harus kita jaga. Umat Islam konsumen terbesar perlu perlindungan dengan makanan 'halalan toyiban'," katanya.

 

Sebelumnya, Indonesia Halal Watch (IHW) berencana mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung atas Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tersebut. "Untuk melindungi kepentingan konsumen, terutama umat Islam sebagai konsumen terbesar (87 persen populasi, red.), maka Indonesia Halal Watch akan mengajukan uji materi atas Permendag Nomor 29 Tahun 2019 kepada Mahkamah Agung," kata Direktur Eksekutif IHW Ikhsan Abdullah.

 

Menurutnya, permendag itu bertentangan dengan UU Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dan Permendag Nomor 59/M-DAG/PER/8/2016 tentang Ketentuan Ekspor dan Impor Hewan dan Produk Hewan. Regulasi itu mengatur soal produk unggas, daging merah, dan turunannya memiliki keterangan halal.

 

Menurut Ikhsan, Permendag Nomor 29 Tahun 2019 terbit sesuai hasil keputusan sidang sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) yang melibatkan Indonesia dan Brazil. Putusan WTO mengamanatkan Indonesia agar menghapus kebijakan persyaratan halal bagi produk impor daging unggas Brazil.

 

“Ini berdampak kepada akibat hukum dari perdagangan daging tersebut menjadi tidak jelas kehalalannya, padahal umat Islam wajib mengonsumsi daging dengan persyaratan harus disembelih dengan proses penyembelihan dengan menyebut nama Allah sesuai ketentuan Al Quran surat Al Maidah ayat 3,” kata Ikhsan.

 

(Baca: Ombudsman Soroti Persiapan Pelaksanaan JPH)

 

Dia mengatakan apabila permendag itu diikuti negara pengimpor daging lain, seperti Australia dan Selandia Baru, ketentuan syariah yang mendasar untuk hewan sembelihan tidak lagi menjadi kewajiban.

 

"Selanjutnya kita tidak mengetahui lagi apakah daging unggas dan daging merah yang masuk ke Indonesia tersebut disembelih dengan proses penyembelihan yang memenuhi ketentuan atau standar syariah," katanya.

 

Ikhsan mendorong Kementerian Perdagangan agar aktif melakukan perundingan bilateral dengan Brazil untuk meyakinkan bahwa Indonesia mayoritas penduduknya Muslim yang wajib mengonsumsi daging halal dan tidak memungkinkan untuk menerima impor daging yang tidak bersertifikasi halal dari negara mana pun.

 

Diatur Kementan

Terkait polemik Permendag No. 29 Tahun 2019, Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita mengatakan pihaknya tidak bermaksud memberi peluang produk luar negeri tanpa label halal masuk ke Indonesia.  Menurutnya, dalam Permendag yang belum lama ia sahkan tersebut, telah mewajibkan importir untuk menyertakan rekomendasi sesuai Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) yang mewajibkan label halal. Maka itu, Enggartiasto beranggapan bahwa Permendag-nya tidak memerlukan lagi syarat label halal.

 

“Kalau mencantumkan lagi (label halal), ada duplikasi atau overbodden kan. Ini sudah diatur di sini (Permentan), di atur di sini juga (Permendag), itu membingungkan,” kata Enggartiasto seperti dikutip Antara.

 

Permendag Nomor 29 Tahun 2019 tersebut merupakan aturan baru untuk mengganti Permendag Nomor 59 Tahun 2016 yang mencantumkan kewajiban label halal dalam tiap produk hewan yang masuk ke Indonesia.

 

Selain itu, Enggartiasto memastikan bahwa dirinya tidak mungkin membiarkan negara tidak mempertimbangkan label halal atau haram dalam sebuah produk impor, khususnya pangan. Pasalnya, kata dia, aturan tersebut sudah jelas tertuang dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

 

“Dalam aturan Permendag juga ditekankan agar importir harus mematuhi Undang-undang. Wong saya minta halalnya mulai dari ujung (produksi), mulai dari proses pemotongan (hewan),” kata dia.

 

Dengan demikian, ia menilai beberapa pihak hanya melebihkan isu tersebut. Beberapa pihak dinilai salah tafsir dalam maksud pembaruan peraturan perdagangan. “Itu salah tafsir, dan itu digoreng saja (isunya). Yang mengkritik juga tahu sebenarnya itu (wajib halal) ada dalam undang-undang, di dalam itu (Permendag Nomor 29 Tahun 2019). Di rekomendasi Permentan juga ada,” kata Enggartiasto.

 

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Indrasari Wisnu Wardhana, mengatakan Kemendag akan menambahkan pasal persyaratan halal dalam Permendag Nomor 29/2019.

 

"Supaya masyarakat yakin dan tidak ada lagi simpang siur penafsiran Permendag, kami akan menambahkan satu butir pasal mengenai penegasan kembali bahwa barang yang masuk ke Indonesia itu wajib halal," tuturnya.

 

Indrasari mengakui kewajiban label halal memang tidak diatur dalam Permendag 29/2019. Namun, terdapat persyaratan yang mengatur kewajiban halal tersebut ketika mengajukan rekomendasi dari Kementerian Pertanian (Kementan), yakni melalui Permentan Nomor 34 Tahun 2016.

 

Kemendag juga membantah bahwa tidak adanya aturan kewajiban label halal di Permendag 29/2019 berkaitan dengan kekalahan Indonesia dalam sidang Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Kalau persyaratan label halal, tanpa diskriminasi itu dibolehkan. (Aturan) halal itu boleh, ada di general exception karena menyangkut public moral, yakni mayoritas muslim. Itu diperbolehkan aturan WTO," ujar Indrasari. (ANT)

 

Tags:

Berita Terkait