Tak Pakai APBN, Kasus UI Seharusnya Disidang di Peradilan Umum
Berita

Tak Pakai APBN, Kasus UI Seharusnya Disidang di Peradilan Umum

Dana proyek Instalasi TI Gedung Perpustakaan UI berasal dari kerja sama antara UI dan BNI 46.

NOV
Bacaan 2 Menit
Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: SGP.
Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: SGP.
Pengacara mantan Wakil Rektor Universitas Indonesia (UI) Tafsir Nurchamid, Febby Mutiara Nelson menganggap Pengadilan Tipikor Jakarta tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara korupsi proyek Instalasi Teknologi Informasi (TI) Gedung Perpustakaan Universitas Indonesia (UI). Pasalnya, dana yang digunakan bukan bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Hal ini disampaikan Febby saat membacakan nota keberatan (eksepsi) di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (13/8). Febby mengatakan dana yang digunakan untuk pembangunan infrastruktur, termasuk proyek pengadaan Instalasi Teknologi Informasi (TI) Gedung Perpustakaan UI berasal dari hasil kerja sama antara UI dan BNI 46.

“Apabila merujuk ada Pasal 12 PP No.152 Tahun 2000, maka dana tersebut termasuk dalam kategori dana masyarakat. Atau dengan kata lain sama sekali tidak menggunakan dana dari negara (APBN/APBD), sehinga andaikata terjadi penyimpangan, hal itu bukanlah lingkup kompetensi peradilan Tipikor, melainkan peradilan umum,” katanya.

Febby menjelaskan, sesuai ketentuan Pasal 12 ayat (1) PP No.152 Tahun 2000 tentang Penetapan Universitas Indonesia sebagai Badan Hukum Milik Negara (BHMN), pembiayaan untuk penyelenggaraan, pengelolaan, dan pengembangan universitas berasal dari : a. Pemerintah; b. Masyarakat; c. Pihak luar negeri; d. Usaha dan tabungan universitas.

Kemudian, jika mengacu pada ketentuan berikutnya, Pasal 12 ayat (5) PP No.152 Tahun 2000, penerimaan universitas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12 ayat (1) b bukan merupakan Penerimaan Negera Bukan Pajak (PNBP). Artinya, dana yang diperoleh UI atas hasil kerja sama dengan BNI 46 tidak terkategori sebagai PNBP.

Berdasarkan ketentuan itu, menurut Febby, apabila terjadi ketidaktertiban administrasi dalam proses pengadaan Instalasi TI Gedung Perpustakaan UI, tidak serta merta dapat dikatakan telah terjadi tindak pidana korupsi. Ia menilai penanganan perkara Tafsir bukan merupakan ranah hukum pidana, apalagi tindak pidana korupsi.

Kelalaian administrasi yang terjadi dalam proyek Instalasi TI Gedung Perpustakaan UI, lanjut Febby, justru telah dimanfaatkan oknum-oknum yang sepatutnya mendapat hukuman pidana karena kejahatan korporasi di PT Makara Mas. Penuntut umum sendiri telah mengungkapkan siapa-siapa saja dari PT Makara Mas yang menerima aliran dana.

“Untuk itu, terdakwa tidaklah bertanggung jawab atas keburukan dalam pengelolaan keuangan di PT Makara Mas. Terdakwa sama sekali bukan merupakan organ perseroan, baik sebagai direksi, komisaris, ataupun pemegang saham. Adapun terdakwa tidak pernah secara langsung menerima iPad dan desktop merek Apple,” ujarnya.

Tafsir tidak pernah menerima secara langsung iPad dan desktop sebagaimana yang dituduhkan dalam surat dakwaan. Febby mengungkapkan, saat Tafsir kembali ke rumah, Tafsir mendapati iPad dan desktop sudah berada di rumahnya. Tafsir yang merasa tidak pernah meminta langsung mengembalikan kedua produk Apple itu.

Febby menganggap tuduhan penerimaan iPad dan desktop tidak masuk akal. Ia mempertanyakan, apakah seorang yang menjabat Wakil Rektor Bidang SDM, Keuangan, dan Administrasi harus mempertaruhkan seluruh reputasi dan nama baiknya untuk kejahatan korupsi dan hanya untuk sebuah iPad dan desktop?

Dengan demikian, Febby menegaskan Tafsir tidak melakukan perbuatan melawan hukum maupun menyalahgunakan kewenangannya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Kelalaian administrasi dalam pengadaan Instalasi Teknologi Informasi (TI) Gedung Perpustakaan UI terjadi karena dinamika di tubuh UI.

Sebagaimana diketahui, awalnya sumber pendapatan UI berasal dari pemerintah. Namun, pemerintah menerbitkan PP No.60 Tahun 1999 tentang Pendidikan Tinggi diikuti PP No.61 Tahun 1999 tentang BHMN. UI ditetapkan menjadi perguruan tinggi berbentuk BHMN pada melalui PP No.152 Tahun 2000. Keuangan UI pun dipisahkan dari keuangan negara.  

Febby menerangkan, sebagai BHMN, UI adalah badan hukum privat yang tunduk pada ketentuan-ketentuan privat sesuai dengan bagian konsideran PP No.152 Tahun 2000. Dalam status hukum itu, UI sebagai badan hukum yang mandiri dan berhak melakukan semua perbuatan hukum sebagaimana layaknya suatu badan hukum.

Pada 2003, pemerintah menerbitkan UU No.20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas). Untuk menjalankan ketentuan Pasal 53 UU Sisdiknas, pemerintah kembali menerbitkan UU No.9 Tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). Akan tetapi, UU BHP mendapat penolakan dari sebagian masyarakat.

Setelah sekelompok masyarakat mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), MK menyatakan UU BHP batal secara keseluruhan. Hal ini berimplikasi pada kekosongan status hukum tujuh universitas, salah satunya UI. Kemudian, untuk mengisi kekosongan hukum, pemerintah menerbitkan PP No.66 Tahun 2010.

Peraturan yang mengubah PP No.17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan ini menyebabkan dasar hukum mengenai bentuk UI mengacu pada PP No.66 Tahun 2010. Dalam PP No.66 Tahun 2010, disebutkan bahwa PP No.152 Tahun 2000 masih tetap berlaku dengan masa transisi paling lama tiga tahun.

Febby melanjutkan, sebagai pelaksanaan PP No.66 Tahun 2010, Rektor UI membentuk Senat Universitas (SU). Namun, ternyata Majelis Wali Amanat (MWA) UI tidak menerima hal itu. MWA membentuk Senat Akademi Universitas (SAU) sebagai organ resmi berdasarkan PP No.152 Tahun 2000, sehingga terjadi dualisme di UI.

Konflik antara Rektor dan MWA semakin meruncing hingga Mendikbud mengeluarkan keputusan agar UI membentuk Tim Transisi dan tetap mempertahankan MWA, serta membubarkan SU. Tim Transisi ini melakukan tugas-tugasnya, termasuk mengawal pembentukan SAU, MWA, dan pemilihan Rektor UI periode 2012-2017.

Ketika akan dilakukan proses pemilihan Rektor, mantan anggota SU dan Paguyuban Pekerja UI menggugat Mendikbud, Tim Transisi, dan Rektor UI. Dalam putusan sela, majelis hakim memerintahkan penundaan Rektor UI. Akhirnya, Mendikbud menerbitkan PP No.33 Tahun 20102 tentang Pemilihan Rektor UI yang mengacu pada PP No.66 Tahun 2010.

PP No.66 Tahun 2010 mengamanatkan UI mengambil bentuk pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU). Namun, perdebatan kian kuat, sehingga di tengah perjalanan pemerintah mengeluarkan UU No.12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. UI ditetapkan sebagai Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum (PTN BH).

Febby menyatakan pengadaan proyek TI Gedung Perpustakaan UI terjadi dalam tempus Mei 2010-Januari 2012. Ketika itu, ketidakharmonisan yang tajam, bahkan krisis hubungan antara MWA dan Rektor UI mengakibatkan dinamika dalam pengambilan keputusan, termasuk dalam pembuatan Rencana Kerja Anggaran Tahunan (RKAT).

Krisis hubungan MWA dan Rektor UI menyebabkan administrasi di tubuh UI begitu berantakan. Menurut Febby, kalaupun Rektor UI mengajukan usulan, pasti MWA menjawab sangat lama dan berlarut-larut. Hingga akhirnya, MWA mengeluarkan surat yang menyatakan MWA tidak lagi berwenang menyetujui RKAT tahun 2012.

Walau begitu, Febby menegaskan, pengadaan Instalasi TI di Gedung Perpustakaan UI sudah termuat dalam RKAT tahun 2010 yang telah disahkan MWA. Hal ini sesuai dengan surat penjelasan MWA tertanggal 24 Agustus 2012 yang disampaikan kepada Ketua Tim Pemeriksa dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).

Dengan semua penjelasan tersebut, Febby menilai Pengadilan Tipikor Jakarta tidak berwengan memeriksa, mengadili, dan memutus perkara Tafsir. Selain mempermasalahkan kompetensi absolut, tim pengacara Tafsir juga mempermasalahkan surat dakwaan yang tidak disusun secara cermat, lengkap, dan jelas. 

Oleh karena surat dakwaan tidak memenuhi ketentuan Pasal 143 KUHAP, tim pengacara Tafsir meminta majelis menyatakan surat dakwaan batal demi hukum atau setidak-tidaknya tidak dapat diterima. Kemudian, tim pengacara meminta majelis melepaskan Tafsir dari segala tuntutan dan memerintahkan agar Tafsir dikeluarkan dari tahanan.

Menanggapi eksepsi tim pengacara Tafsir, penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Supardi tidak banyak berkomentar. Ia hanya meminta waktu kepada majelis untuk menyusun tanggapan atas eksepsi. Ketua majelis hakim Sinung Hermawan memberikan waktu satu minggu untuk menyusun tanggapan atas eksepsi.
Tags:

Berita Terkait