Tanah Rakyat di Ambang Resesi
Kolom

Tanah Rakyat di Ambang Resesi

Beberapa catatan kritis dalam perspektif hukum administrasi negara menyikapi lahirnya peraturan kebijakan mengenai sertipikat elektronik.

Bacaan 5 Menit
Beni Kurnia Illahi. Foto: Istimewa
Beni Kurnia Illahi. Foto: Istimewa

Tanah sejatinya merupakan sarana yang amat penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Terlebih di lingkungan masyarakat hukum adat yang sebagian besar penduduknya menggantungkan hidupnya dari tanah. Namun, sesuai dengan sifatnya yang multidimensi, permasalahan tanah seakan tidak pernah surut. Satu permasalahan belum terselesaikan, telah muncul permasalahan lain. Dari dinamika di atas, di situlah peran pemerintah sebagai problem solver menjamin penguasaan hak atas tanah melalui kebijakan yang dikeluarkannya, salah satunya soal pendaftaran tanah.

Tentu dengan perkembangan teknologi yang serba canggih, tidak menyurutkan langkah pemerintah untuk selalu melakukan perbaikan terhadap sistem administrasi pertanahan melalui penggunaan perangkat teknologi elektronik. Hal ini tentu dinilai positif sepanjang memberikan dampak baik bagi perbaikan pelayanan publik di bidang pertanahan, sehingga kebijakan yang digagas tepat sasaran dan tertata secara sistematis.

Namun perlu diingat, tidak semua sistem dan kebijakan yang digagas itu relevan dengan penggunaan teknologi berbasis elektronik. Bahkan tidak bisa dijadikan instrumen tunggal dalam pemeliharaan data secara administratif. Sebab, dalam hukum administrasi, terdapat postulat penting yang mengatakan bahwa penggunaan sistem berbasis elektronik hanyalah sebagai alternatif dalam pelaksanaan kebijakan pemerintah. Namun, postulat itu tampaknya diabaikan begitu saja oleh Kementerian ATR/BPN pasca diterbitkannya Peraturan Menteri (Permen) ATR/Kepala BPN Nomor 1 Tahun 2021 tentang Sertipikat Elektronik.

Hal tersebut ditengarai, di mana dalam peraturan kebijakan itu menyatakan bahwa penerbitan sertipikat tanah elektronik dilakukan melalui pendaftaran tanah pertama kali atau penggantian sertipikat tanah yang sudah terdaftar sebelumnya. Jika dibaca secara tekstual, beleid yang berisi 22 Pasal tersebut, mungkin saja kebijakan itu dianggap positif demi terwujudnya tertib administrasi pertanahan di Indonesia. Selain itu, juga memudahkan masyarakat dalam pengurusan hak milik atas tanah.

Lebih jauh, jika dicermati kembali materi muatan yang terkandung dalam Permen tersebut, justru berseberangan dengan spirit reforma agraria, prinsip hak menguasai negara dan hak asasi manusia yang diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3), Pasal 28A, dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Itu sebabnya, terdapat beberapa catatan kritis Penulis dalam perspektif hukum administrasi negara menyikapi lahirnya peraturan kebijakan yang ditandatangani oleh Menteri ATR/Kepala BPN Syofyan Djalil.

Pertama, jika ditelisik dari aspek perundang-undangan, pembentukan Permen Sertipikat Elektronik secara formil tidak memiliki landasan hukum yang mendelegasikan suatu peraturan yang lebih tinggi mengatur lebih lanjut ketentuan dimaksud melalui peraturan kebijakan. Meskipun hal itu tidak wajib, namun mempertimbangkan banyaknya substasi penting yang diatur dalam beleid, maka seyogiyanya Permen ini didahulukan pengaturannya melalui Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah. Artinya pemerintah merevisi terlebih dahulu PP Nomor 24 Tahun 1997 agar dapat membuka ruang untuk pendaftaran tanah melalui elektronik. Sehingga perlu dibentuk peraturan kebijakan lebih lanjut melalui Permen. Karena begitulah rambu-rambu ketika hendak membentuk peraturan selevel beleid.

Kedua, perlu diketahui sertipikat hak atas tanah merupakan salah satu bentuk Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). Itu sebabnya, dokumen hukum seperti sertipikat tanah ini yang notabene dikeluarkan oleh Pejabat TUN sedapat mungkin harus memiliki dokumen asli yang sifatnya tertulis/cetak. Sebab, meskipun keputusan berbentuk elektronis berkekuatan hukum sama dengan Keputusan yang tertulis. Namun, menurut Pasal 38 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, dalam hal terdapat perbedaan antara Keputusan dalam bentuk elektronis dan Keputusan dalam bentuk tertulis, yang berlaku adalah Keputusan dalam bentuk tertulis.

Dengan demikian, bagaimana mungkin suatu saat ketika muncul konflik pertanahan, namun terdapat perbedaan substansi dalam sertipikat elektronik, sementara bentuk tertulisnya sudah ditarik. Tentu hal ini akan menjadi persoalan baru dari sisi hukum administrasi dan hukum acara PTUN. Artinya, norma Permen tersebut dapat mengganggu jalannya administrasi pemerintahan.

Di samping itu, Permen ini juga dinilai bertentangan dengan Pasal 5 ayat (4) Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik, di mana undang-undang tersebut menegaskan bahwa ketentuan mengenai Dokumen Elektronik tidak berlaku untuk surat yang menurut undang-undang harus dibuat dalam bentuk tertulis. Perlu diingat bahwa sampai saat ini karakteristik dari sertipikat tanah masih bersifat tertulis. Sebab sertipikat merupakan dokumen hukum berisikan hak-hak seseorang sebagai pemilik tanah.

Ketiga, memang diakui bahwa tujuan utama pendaftaran tanah adalah memberikan jaminan kepastian hukum terhadap pemegang hak atas tanah (Rechts Cadaster/Legal Cadaster). Tentu dengan ditariknya sertipikat asli secara bertahap, maka secara tidak langsung identitas asli dari pemegang hak atas tanah menjadi ‘hilang’, meskipun secara legalnya tanah tersebut dikuasai oleh negara dengan bentuk sertipikat elektronik.

Sebab, dari sisi HAM, rakyat berhak menyimpan sertipikat asli yang telah diterbitkan. Seharusnya jika ini diniatkan dalam rangka memberikan kemudahan bagi masyarakat dan mewujudkan tertib administrasi pertanahan, sertipikat elektronik mestinya menjadi komplementer/pelengkap saja. Jadi, digitalisasi bukan bersifat menggantikan hak rakyat atas sertipikat asli. Sebab, jaminan kepastian hukum yang hendak diwujudkan dalam pendaftaran tanah meliputi kepastian status hak yang didaftar, subjek hak, dan objek hak. Pendaftaran tanah ini menghasilkan sertipikat sebagai tanda bukti haknya. Justru jika itu dilakukan maka pemerintah secara tidak langsung melakukan perampasan terhadap hak atas tanah masyarakat.

Keempat, sebagaimana diketahui bahwa konflik agraria di Indonesia dari tahun ke tahun semakin meningkat. Terbukti sampai saat ini tanah-tanah yang bersertipikat pun banyak yang bermasalah. Misalnya tidak sesuai ukuran, tumpang-tindih, sedang bersengketa atau sedang berperkara di pengadilan. ‘Menariknya’ Permen ini seakan memaksa agar semua bidang tanah di Indonesia harus di sertipikatkan secara elektronik, terlepas itu sedang berkonflik atau tidak.

Hal tersebut diuraikan dalam Pasal 15 ayat (1), di mana Penggantian Sertipikat menjadi Sertipikat-el dilakukan apabila data fisik dan data yuridis pada buku tanah dan sertipikat telah sesuai dengan data fisik dan data yuridis dalam Sistem Elektronik. Jika data fisik dan data yuridis belum sesuai maka Kepala Kantor Pertanahan melakukan validasi. Kebijakan ini tentu saja dinilai berisiko bagi masyarakat. Sebab, banyak sertipikat badan usaha atau pihak swasta masuk dalam wilayah-wilayah konflik agraria dengan masyarakat. Jika sertipikat elektronik tetap diberlakukan, persoalan itu mesti dituntaskan terlebih dahulu, sehingga masyarakat tidak menjadi imbas dari konflik tersebut.

Kelima, berdasarkan kekhawatiran dan dampak dari diberlakukannya sertipikat elektronik, semakin kesini pemerintah semakin menunjukkan bahwa sistem administrasi pertanahan di Indonesia lebih diorientasikan pada terciptanya percaturan pemanfaatan tanah yang sarat akan konflik kepentingan dengan mengorbankan identitas asli masyarakat sebagai pemegang daulat hak atas tanah. Itu semua sesungguhnya imbas dari regulasi Omnibus Law Cipta Kerja yang mengedepankan investasi namun mengabaikan partisipasi. Tentu jika beleidsregel ini dibiarkan, maka suatu saat akan menjadi bom waktu kehancuran bagi rakyat meskipun hanya memiliki sejengkal tanah dan reforma agraria hanya akan menjadi ‘hiasan bibir’ pemerintah semata.

*)Beni Kurnia Illahi, Dosen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Bengkulu dan Peneliti Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait