Tantangan Pemajakan Ekonomi Digital Perusahaan Internasional
Utama

Tantangan Pemajakan Ekonomi Digital Perusahaan Internasional

Penerapan pajak digital secara menyeluruh diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi persaingan usaha.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi: BAS
Ilustrasi: BAS

Pemerintah mendorong tercapainya konsensus global terkait pemajakan ekonomi digital di bawah koordinasi Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD). Langkah tersebut dinilai penting untuk reformasi perpajakan internasional yang lebih adil. Selain itu, pemajakan ekonomi digital meningkatkan kerja sama pemulihan ekonomi untuk mewujudkan tata kelola ekonomi dunia yang lebih kuat, inklusif, dan berkelanjutan.

Penerapan pajak digital secara menyeluruh diharapkan dapat menciptakan keadilan bagi persaingan usaha. Jika bicara tentang perusahaan multinasional terutama terkait aspek pajak, Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji menyatakan, tantangan utamanya adalah pengopreasian yang secara internasional.

"Ketika beroperasi secara internasional, yang bisa atau ada kemungkinan bahwa mereka memanfaatkan perbedaan sistem pajak antara negara. Dimana kita tahu bahwa kalau kita bicara di seluruh negara di dunia ini memang ada negara- negara yang memiliki skema provincial taxes rezim pastinya seperti itu. Jadi disitu bisa saja tarifnya lebih rendah atau juga skema- skema seperti juga insentif atau juga insentif yang sebenarnya menarik artifisial provit," kata Bawono Kristiaji dalam acara diskusi virtual Forum Merdeka Barat 9 (FMB 9) KTT G20: Kejelasan Arah Pajak Global untuk Indonesia, Senin (15/11).

Dia menambahkan jika bicara secara detail mengenai perusahaan multinasional yang berbasis digital, lebih spesifiknya adalah pertama bagaimana memastikan hak pemajakan dari negara sumber. "Artinya adalah bahwa ketika kita bicara tentang perusahaan digital, ini adalah perusahaan yang bisa saja memperoleh suatu penghasilan dari yurisdiksi tertentu tanpa dia harus mendirikan suatu BUT (Bentuk Usaha Tetap). Dimana kalau kita bicara tentang BUT singkatnya ini adalah untuk memastikan hak pemajakan dari negara tersebut," ujar dia.

Bukan itu saja, ketika suatu perusahaan digital telah masuk dan terdaftar atau mendirikan BUT di sini ada persoalan mengenai alokasi labanya seperti apa. "Jadi atas penghasilan yang manakah nantinya laba perusahaan digital tersebut bisa dipajaki di suatu yurisdiksi," papar dia. (Baca: Respons Apindo Terhadap Pengesahan UU HPP)

Reformasi sistem perpajakan internasional yang adil dilakukan dengan pengalokasian hak pemajakan secara adil ke negara yang cenderung menjadi pasar produk barang dan jasa digital (“negara pasar”) yang dikenal dengan Pilar 1. Kemudian kepastian bahwa semua perusahaan multinasional (multinational enterprise /MNE) membayar pajak minimum di semua tempat MNE tersebut beroperasi atau yang disebut dengan Pilar 2.

Mekar Satria Utama selaku Direktur Perpajakan Internasional DJP Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengatakan pada waktu penutupan KTT G20 di Italia, 137 negara anggota G20 telah menyetujui Solusi Dua Pilar untuk mengatasi tantangan perpajakan di ekonomi digital.  "Pilar 1 adalah kesepakatan mengenai penerapan pajak digital. Sedangkan Pilar 2 dikenal dengan sebutan Global anti-Base Erosion (GLoBE) rules," kata Mekar.

Dia menjelaskan, pembahasan mengenai kesepakatan pajak internasional di G20 telah lama dilakukan. Kemudian ada beberapa revisi dari draft pilar 1 dan pilar 2, dan ini juga telah disepakati di bulan Oktober 2021. "Hingga pada waktu ketika penutupan KTT G20 di Italia, kurang lebih 137 negara secara sepakat untuk menyetujui Pilar 1 dan pilar 2," tegas Mekar.

Pemerintah Indonesia dikatakan Mekar telah mengantisipasi akan keberadaan perpajakan baru ini baru ke depan. Secara kebetulan Indonesia saat itu sedang membahas ada menyusun undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang sekarang telah menjadi Undang-undang No.7 Tahun 2021.

"Dalam revisi undang-undang HPP tersebut memang sudah dimasukkan juga pasal-pasal untuk mengantisipasi ke depan apabila nanti pilar 1 dan pilar 2 berlaku di Indonesia," kata Mekar.

Untuk diketahui, Pilar 1 mencakup MNE dengan peredaran bruto EUR20 miliar dan tingkat keuntungan di atas 10%. Keuntungan MNE ini kemudian dibagikan kepada negara pasar jika MNE tersebut memperoleh setidaknya EUR1 juta (atau EUR250 ribu untuk negara pasar dengan PDB lebih kecil dari EUR40 miliar) dari negara pasar tersebut. Salah satu perkembangan dari kesepakatan G20/BEPS Juli 2021 adalah pengalokasian 25% keuntungan MNE ke negara pasar.

Jumlah ini kemudian akan dibagikan kepada negara pasar berdasarkan porsi penjualannya di masing-masing negara pasar tersebut. Selanjutnya, Pilar 2 mengenakan tarif pajak minimum pada MNE yang memiliki peredaran bruto tahunan sebesar EUR750 juta atau lebih. Dengan pajak minimum pada Pilar 2, tidak akan ada lagi persaingan tarif yang tidak sehat di antara negara-negara yang selama ini terjadi.

Sementara itu, Perusahaan multinasional Google Indonesia siap mengikuti setiap penerapan kebijakan pajak di dalam negeri yang merujuk kepada hasil kesepakatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20. "Kami mengikuti yang sudah ada dan yang akan nantinya setelah kesepakatan KTT G20," ujar Government Affairs and Public Policy Google Indonesia, Danny Ardianto dalam keterangan pers Forum Merdeka Barat 9 (FMB9).

Dia menjelaskan, jika Google Indonesia telah mengikuti peraturan yang berkaitan dengan perpajakan di tanah air ini sejak beberapa waktu yang lalu. Tepatnya, pada 2019, pihaknya telah membayar Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sesuai dengan jasa pelayanan yang kerap kali digunakan oleh masyarakat dalam ruang digital. Dari layanan google adds hingga clouds yang banyak digunakan oleh masyarakat di dalam negeri sudah dimodifikasi menggunakan mata uang Rupiah. Sehingga, pembayaran PPN dapat dihitung sesuai dengan pendapatan yang didapatkan dari layanan-layanan tersebut.

"Kami sudah melaporkan pajak PPN berdasarkan aturan yang ada di Indonesia sejak tahun 2019," katanya. Kemudian, yang berkaitan dengan Pajak penghasilan (PPh) yang akan dibebankan pada Google Indonesia, pihaknya akan mengikuti hasil dari kesepakatan yang dicapai dalam KTT G20. Karena, dalam membahas pajak ini, diperlukan partisipasi dari negara-negara lain pengguna layanan Google di seluruh pelosok dunia dalam menentukan pajak yang akan dibebankan.

Diperlukannya partisipasi oleh negara lain, kata dia, agar penerapan pajak yang diberlakukan tersebut dapat dipahami secara jelas dengan mempertimbangkan berbagai aspek dari negara-negara yang menggunakan aplikasi dalam ruang digital. Dengan begitu, akan memberikan rasa tenang kepada setiap pemangku kepentingan yang menggunakan aplikasi tersebut. "Kesepakatan yang mudah dipahami dan tidak ada frasa ambigu dalam aturan pajak yang akan diterapkan," katanya.

Kesepakatan ini, akan mengikat perusahaan multinasional seperti Google untuk membayar pajak sesuai dengan aturan dari negara-negara setempat. Sehingga, setiap klausul dalam kesepakatan yang telah dicapai oleh KTT G20 dapat menjangkau seluruh aspek dari layanan aplikasi dari perusahaan multinasional ini di masa-masa mendatang. "Perusahaan multinasional tidak membayar pajak karena peraturan negara setempat belum menjangkau. Adanya KTT G20 akan membuat secara adil pembayaran pajak," katanya.

Dukungan pajak ini sangat penting dalam mendorong ekonomi digital di dalam negeri yang tengah berkembang dengan pesat selama beberapa waktu belakangan. Mengingat saat ini, banyak pelaku ekonomi digital, khususnya pengembangan permainan digital (Game Developer) dalam negeri yang tengah menyasar pasar luar negeri seperti Amerika Serikat, China, dan Jerman.

Lalu, berkembang pesatnya sektor pasar elektronik atau e-commerce yang kini semakin spesifik. Maksudnya, kini setiap industri dari berbagai sektor tengah mengembangkan pasar elektroniknya sesuai dengan target masyarakat yang disasar oleh pelaku industri terkait. Dengan target pasar yang semakin luas, seiring dengan waktu yang berjalan. Ditambah lagi, dengan penetrasi digital yang semakin luas di tanah air.

Tercatat, dari periode awal pandemi hingga pertengahan 2021, sebanyak 21 juta masyarakat yang telah beralih digital. Sebanyak 73 persen dari masyarakat tersebut berasal dari masyarakat yang tinggal di daerah non-metropolitan. "Mengembangkan ekonomi bertumpu oleh digital. Harus ada balance antara kepastian hukum dan instrumen pajak," kata Danny.

Tags:

Berita Terkait