Tantangan Penerapan Non-Conviction Based dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana
Utama

Tantangan Penerapan Non-Conviction Based dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana

Komitmen pembentuk kebijakan menjadi salah satu tantangan. Termasuk proses perampasan aset yang ada di luar negeri. Karena ada benturan dengan prinsip resiprokal, perbedaan hukum dan perjanjian-perjanjian internasional dengan negara lain.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: JAN
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Prof Edward Omar Sharif Hiariej. Foto: JAN

Rancangan Undang Undang (RUU) tentang Perampasan Aset Tindak Pidana memasuki babak baru di parlemen.  DPR dan pemerintah sudah pasang ‘kuda-kuda’ untuk memasuki tahap pembahasan bersama. RUU Perampasan Aset diharapkan dapat memulihkan aset negara yang menjadi korban dalam kejahatan khususnya korupsi.

RUU Perampasan Aset menganut rezim non-conviction based atau perampasan aset tanpa pemidanaan. Dengan demikian, pengadilan dapat menetapkan perampasan aset tersebut tanpa harus menunggu putusan tindak pidana yang dilakukan pelaku kejahatan. Terdapat berbagai ketentuan tindak pidana yang masuk dalam ruang lingkup RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Seperti melibatkan aset minimal Rp 100 juta serta terkait dengan tindak pidana yang diancam penjara 4 tahun atau lebih.

Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Prof Edward Omar Sharif Hiariej menyampaikan Indonesia dinilai tertinggal 17 tahun karena tidak kunjung mengesahkan RUU Perampasan Aset. Seharusnya, RUU tersebut telah disahkan sejak Indonesia meratifikai perjanjian internasional dengan diterbitkannya UU No. 7 tahun 2006 tentang Pengesahan United Nations Convention Against Corruption, 2003. Dia menjelaskan salah satu poin penting dalam perjanjian internasional tersebut yaitu pemulihan aset dari hasil tindak kejahatan.

Dalam RUU Perampasan Aset Tindak Pidana, Edward menjelaskan perampasan aset tidak didasarkan pada tindak pidana. Dengan kata lain, RUU Perampasan Aset Tindak Pidana yang disodorkan pemerintah ke DPR merupakan non-conviction yang berarti tidak ada tindak pidananya maupun putusan pidananya.

“Kalau yang ada tindak pidananya sudah ada di UU Tipikor dan UU eksisting. Ini (non-conviction) betul-betul sesuatu yang belum diatur sama sekali,” ujarnya dalam diskusi daring bertema “Akselerasi Reformasi Hukum dengan Penyusunan UU Perampasan Aset”, Rabu (9/5/2023).

Baca juga:

Perampasan aset tanpa pemidanaan alias non-convition based asset forfeiture merupakan konsep pengembalian kergian negara yang kali pertama berkembang di negara penganut sistem hukum common law. Tujuan penerapan asas ini setidaknya agar upaya perampasan aset hasil tindak pidana seperti korupsi secara maksimal telah dilakukan, serta tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari. Tapi penggunaan asas tersebut terhambat akibat ketiadaan reglasi yang menjadi payung hukum asas tersebut.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait