Terbukti Lakukan Diskriminasi Terkait Umrah, KPPU Denda Garuda Indonesia 1 Miliar
Terbaru

Terbukti Lakukan Diskriminasi Terkait Umrah, KPPU Denda Garuda Indonesia 1 Miliar

GIAA sempat mengajukan perubahan perilaku pada September 2020, tapi karena GIAA tidak sepenuhnya melaksanakan pakta integritas perubahan perilaku yang diberikan, proses persidangan kembali dilanjutkan.

Fitri Novia Heriani
Bacaan 3 Menit
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES
Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Foto: RES

Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memutus bahwa PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. (GIAA) terbukti melanggar pasal 19 huruf d Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (UU No. 5/1999). Garuda menjadi terlapor dalam perkara Dugaan Praktek Diskriminasi PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. terkait Pemilihan Mitra Penjualan Tiket Umrah Menuju dan dari Jeddah dan Madinah. 

Kesimpulan tersebut disampaikan dalam Sidang Majelis Pembacaan Putusan yang dilakukan secara daring pada Kamis (8/7). Atas pelanggaran tersebut, Majelis Komisi yang diketuai oleh M. Afif Hasbullah, dengan Anggota Majelis Komisi yang terdiri dari Dinni Melanie, dan Guntur Syahputra Saragih menjatuhkan denda kepapa GIAA sebesar Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

Pada proses persidangan, Majelis Komisi menilai bahwa tindakan GIAA yang menunjuk keenam Penyelenggara Perjalanan Ibadan Umrah (PPIU) sebagai wholesaler tanpa melalui proses penunjukan yang dilakukan  secara terbuka dan transparan, tidak didasarkan pada persyaratan dan pertimbangan yang  jelas dan terukur, serta adanya inkonsistensi dalam rasionalitas penunjukan wholesaler, membuktikan adanya praktik diskriminasi GIAA terhadap setidaknya 301 (tiga ratus satu) PPIU potensial dalam mendapatkan akses yang sama dalam hal pembukuan dan/atau pembelian tiket rute Middle East Area (MEA) milik GIAA untuk tujuan umrah. 

GIAA sempat mengajukan perubahan perilaku pada September 2020 pada Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan. Tetapi karena GIAA tidak sepenuhnya melaksanakan pakta integritas perubahan perilaku yang diberikan, proses persidangan kembali dilanjutkan.  (Baca: Pertama Terjadi, KPPU Gunakan Perubahan Perilaku dalam Kasus Garuda Indonesia)

Pada pembacaan putusan hari ini, Majelis Komisi turut mempertimbangkan kemampuan GIAA untuk membayar berdasarkan Laporan Keuangan Tahun 2018, Tahun 2019, dan Tahun 2020. Berdasarkan pertimbangan tersebut, Majelis Komisi menilai bahwa jika dikenakan tingkat denda tertentu, maka GIAA berpotensi tidak dapat beroperasi pada kondisi keuangan tersebut.

"Menimbang berbagai fakta, penilaian, analisa, dan kesimpulan di atas, Majelis Komisi menyatakan bahwa PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk. terbukti melanggar pasal 19 huruf d UU No. 5/1999, dan menjatuhkan hukuman berupa denda administratif sebesar Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah)," kata Afif saat putusan.

Denda tersebut wajib dilakukan pembayaran selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sejak putusan berkekuatan hukum tetap. Apabila terlambat melakukan pembayaran denda, GIAA dapat dikenakan denda keterlambatan sebesar 2% (dua persen) per bulan dari nilai denda. Denda keterlambatan pembayaran denda ini sejalan dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 58 Tahun 2020 tentang Pengelolaan Penerimaan Negara Bukan Pajak.

Dikutip dalam siaran pers KPPU pada 18 September 2020, perkara ini berawal dari laporan publik pada 13 Maret 2019, di mana PTGI menerbitkan informasi terkait pelayanan penjualan tiket Middle East Asia (MEA) Route yang berlaku efektif pada 1 Maret 2019. Informasi tersebut berisikan bahwa mitra usaha Penyelenggara Perjalanan Ibadan Umrah (PPIU) dapat melakukan pembukuan tiket Garuda Indonesia untuk rute MEA melalui konsorsium mitra usaha strategis (wholesaler) yang telah ditentukan oleh manajemen Garuda Indonesia, yakni PT. Smart Umrah (Kanomas Arci Wisata), PT. Maktour (Makassar Toraja Tour), dan PT. NRA (Nur Rima Al-Waall Tour).

Surat tersebut kemudian direvisi untuk menambahkan PT. Wahana Mitra Usaha (Wahana) sebagai mitra keempat. Tidak lama kemudian, pada 1 September 2019 PTGI membuat kesepakatan dengan PT. Aero Globe Indonesia untuk melakukan penjualan tiket rute MEA.

Pada periode pelanggaran, terdapat 307 PPIU di Indonesia, termasuk lima wholesaler penjualan tiket di atas. Perilaku ini membuat para PPIU harus melakukan reservasi tiket umrah kepada lima wholesaler dimaksud dan mengakibatkan pasar penyelenggaraan perjalanan ibadah umrah menjadi terkonsentrasi kepada mereka.

Hal itu juga mengakibatkan kurangnya kemampuan bersaing bagi sebagian besar PPIU karena sebagian besar calon jemaah, khususnya di daerah, cenderung lebih memilih menggunakan angkutan usaha yang dioperasikan PTGI dibandingkan maskapai lain. Memperhatikan komponen biaya transaportasi yang mencapai 50% biaya perjalanan ibadah umrah (BPIU), maka konsentrasi layanan juga dapat mengakibatkan kenaikan BPIU.  

Menanggapi hasil putusan persidangan KPPU terkait dugaan pelanggaran Undang-undang Persaingan Usaha No.5 Tahun 1999 pada Kamis (8/7), Garuda Indonesia sepenuhnya menghormati proses hukum yang sedang berjalan hingga saat ini. 

Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra mengatakan bahwa Garuda Indonesia juga akan mempelajari hasil putusan persidangan tersebut untuk mempertimbangkan langkah hukum yang akan ditempuh dengan senantiasa mendepankan prinsip transparansi dan akuntabilitas.

"Kami tentunya menyadari bahwa iklim usaha yang sehat akan menjadi pondasi penting dalam upaya peningkatan daya saing industri penerbangan pada umumnya, termasuk kami sebagai pelaku industri penerbangan nasional. Oleh karenanya, Garuda Indonesia senantiasa berkomitmen untuk menjunjung tinggi penerapan prinsip Good Corporate Governance (GCG) dalam praktik tata kelola Perusahaan, khususnya di tengah tantangan industri penerbangan pada situasi pandemi saat ini yang berdampak signifikan terhadap kinerja Garuda Indonesia," tegas Irfan dalam pernyataan resminya, Jumat (9/7).

Tags:

Berita Terkait