Terdakwa Korupsi Asabri Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati, Ini Respons Penasihat Hukum
Terbaru

Terdakwa Korupsi Asabri Heru Hidayat Dituntut Hukuman Mati, Ini Respons Penasihat Hukum

JPU menilai Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera itu terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang merugikan negara hingga Rp22,7 triliun.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 4 Menit
Presiden Komisaris PT Trada Alam Mineral (TRAM) Heru Hidayat mengenakan rompi tahanan saat akan diperiksa petugas pada Maret 2020 lalu. Foto: RES
Presiden Komisaris PT Trada Alam Mineral (TRAM) Heru Hidayat mengenakan rompi tahanan saat akan diperiksa petugas pada Maret 2020 lalu. Foto: RES

Kasus dugaan korupsi PT Asuransi Angkatan Bersenjata Indonesia (Persero) atau Asabri telah memasuki persidangan tuntutan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Agung, Senin (6/12). Dalam persidangan tersebut, JPU menuntut salah seorang terdakwa Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat hukuman mati. JPU menilai Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera itu terbukti melakukan korupsi dan pencucian uang yang merugikan negara hingga Rp 22,7 triliun.

"Menyatakan terdakwa Heru Hidayat terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana korupsi dengan pemberatan secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang sebagaimana dalam dakwaan primer dan kedua primer, menghukum terdakwa Heru Hidayat dengan pidana mati," kata Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Agung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Senin (7/12), seperti dikutip dari Antara.

Heru adalah satu dari tujuh terdakwa perkara dugaan korupsi pengelolaan dana PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) Persero yang dijadwalkan untuk menjalani sidang pembacaan tuntutan pada hari ini. Selain dituntut hukuman mati, Heru Hidayat juga diwajibkan membayar pidana pengganti.

"Membebankan terdakwa dengan biaya pengganti sebesar Rp12,643 triliun dengan ketentuan jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 bulan sesudah putusan berkekuatan hukum tetap, maka harta bendanya akan disita oleh kejaksaan dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut dan jika terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk menutupi uang pengganti tersebut," kata jaksa.

Heru dinilai terbukti melakukan perbuatan dalam dua dakwaan, yaitu dakwaan pertama Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 18 UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP, dan Pasal 3 UU RI No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. (Baca Juga: Dituntut 12 Tahun Penjara, Stepanus Robin Pertanyakan Permohonan Justice Collaborator)

"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa termasuk extra ordinary crime yang berbahaya bagi integritas bangsa; perbuatan terdakwa tidak mendukung program pemerintah yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme; akibat perbuatan terdakwa adalah kerugian negara yang mencapai Rp12,643 triliun, sedangkan penyitaan aset-aset terdakwa hanya Rp2,434 triliun terdakwa adalah terpidana seumur hidup perkara Jiwasraya yang merugikan negara Rp16,807 triliun," ujar jaksa.

Jaksa menilai tidak ada hal yang meringankan dalam perbuatan Heru. "Hal yang meringankan, meski dalam persidangan ada hal-hal yang meringankan dalam diri terdakwa, tapi tidak sebanding dengan kerugian negara yang ditimbulkan dalam perbuatan terdakwa sehingga hal-hal tersebut patut dikesampingkan," kata jaksa pula.

Ada delapan orang terdakwa dalam perkara ini, yaitu Direktur Utama (Dirut) PT Asabri Maret 2016-Juli 2020 Letjen (Purn) Sonny Widjaja, Dirut PT Asabri 2012-Maret 2016 Mayjen (Purn) Adam Rachmat Damiri, Direktur Investasi dan Keuangan PT Asabri Juli 2014-Agustus 2019 Hari Setianto, Dirut PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) Lukman Purnomosidi, Direktur PT Jakarta Emiten Investor Relation Jimmy Sutopo, Dirut PT Hanson International Tbk. Benny Tjokrosaputro, dan Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Heru Hidayat. Heru Hidayat dan Benny Tjokrosaputro diketahui merupakan terpidana kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Keduanya divonis penjara seumur hidup.

Merespons tuntutan tersebut, penasihat hukum Heru Hidayat, Kresna Hutauruk, menyatakan terdapat ketidaksesuaian antara dakwaan yang disampaikan JPU dengan sanksi yang diatur dalam Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 joUU  20/2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Dia menyampaikan tuntutan hukuman mati dalam UU Tipikor tercantum dalam Pasal 2 Ayat 2. Sementara dalam dakwaan Heru Hidayat yaitu Pasal 2 Ayat 1 dan Pasal 3 UU Tipikor dan Pasal 3 dan Pasal 4 UU 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).

“Tuntutan mati jelas adalah tuntutan yang berlebihan dan menyalahi aturan, sebab hukuman mati dalam UU Tipikor diatur dalam Pasal 2 ayat (2), sedangkan dalam dakwaan Bapak Heru Hidayat, JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat(2) UU Tipikor dalam dakwaannya. Dalam Dakwaannya JPU mendakwa Heru Hidayat dengan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU tipikor serta Pasal 3 dan 4 UU TPPU. Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat diluar Pasal yang ada di dakwaan. Tuntutan di luar dakwaan ini kan jelas tidak sesuai aturan, berlebihan, dan diluar wewenang JPU atau bisa dianggap abuse of power,”jelas Kresna kepada Hukumonline, Selasa (7/12).

Kresna melanjutkan, selain itu dalam Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor dan penjelasannya tentang keadaan tertentu dalam penerapan hukuman mati syaratnya adalah ketika negara dalam keadaan bencana alam, krisis moneter, dan pengulangan tindak pidana. Sedangkan dalam perkara Heru Hidayat, dia menilai syarat dan kondisi tersebut tidak ada. “Dari awal Surat Dakwaan tentunya JPU sudah menyadari tidak mungkin menerapkan pasal 2 ayat (2) ini kepada Heru Hidayat, makanya JPU tidak menyertakan Pasal 2 ayat (2) UU tipikor ke dalam Dakwaannya, kenapa sekarang tiba-tiba dalam tuntutannya malah menuntut mati,” tambahnya.

Menurutnya, alasan JPU bahwa ini adalah merupakan pengulangan tindak pidana adalah tidak benar. Dia merujuk dalam KUHP pengertian dari pengulangan tindak pidana yang mengharuskan seseorang harus dihukum dulu baru kemudian melakukan tindak pidana kembali. Sedangkan dalam perkara ini, jelas tempus perkara Asabri yang didakwakan JPU adalah 2012-2019, sebelum Heru Hidayat dihukum kasus AJS, sehingga jelas ini bukan pengulangan tindak pidana.

“Dari fakta persidangan selama ini jelas, Tidak ada bukti yang menyatakan Heru Hidayat menerima aliran uang 12 Triliun lebih yang dituduhkan JPU dan terbukti Heru Hidayat tidak memberikan sesuatu apapun kepada pejabat Asabri, selain itu menurut kami unsur kerugian negara juga tidak terbukti karena sampai saat ini Asabri masih memiliki saham-saham dan Unit Penyertaan dalam Reksadana serta BPK tidak pernah menghitung keuntungan yang pernah diperoleh Asabri dalam penjualan saham periode 2012-2019, sehingga jelas tidak terbukti perbuatan yang didakwakan oleh JPU,” jelasnya.

Dalam persidangan pembelaan, Kresna menyatakan pihaknya akan mengemukakan fakta tersebut. “Kita di pengadilan ini kan untuk menegakkan hukum dan mencari Keadilan, bukan untuk mencari nama atau membuat sensasi. Tentunya Tuntutan yang diluar dakwaan ini sudah menciderai rasa keadilan dalam perkara ini, khususnya untuk Heru Hidayat. Kami sangat meyakini dan berharap Majelis Hakim Yang Mulia tidak akan bertindak seperti JPU dalam membuat Putusan yang di luar Dakwaaan. Sebab dalam KUHAP jelas diatur Majelis Hakim dalam membuat Putusan adalah berdasarkan Dakwaan, yaitu dakwaan terbukti atau tidak terbukti. Tentunya nanti dalam pembelaan kami, semua kejanggalan dan keanehan dalam perkara ini akan kami ungkap,” jelasnya.

Tags:

Berita Terkait