Tidak Sakit Permanen, Bambang W Soeharto Layak Disidangkan
Berita

Tidak Sakit Permanen, Bambang W Soeharto Layak Disidangkan

Pengacara menganggap penetapan majelis hakim melanggar hak asasi manusia.

NOV
Bacaan 2 Menit
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp
Gedung Pengadilan Tipikor Jakarta. Foto: Sgp

Ketua majelis hakim John Halasan Butarbutar menyatakan, walau Bambang Wiratmadji Soeharto didiagnosa mengidap berbagai penyakit, pendiri Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) layak untuk disidangkan. Majelis menolak permohonan pengacara yang meminta perkara Bambang tidak dilanjutkan di persidangan.

"Menolak permohonan penasihat hukum terdakwa untuk seluruhnya. Menyatakan terdakwa layak untuk disidangkan. Melanjutkan persidangan terdakwa dengan menghadirkan terdakwa dalam keadaan didampingi oleh dokter pribadi atau dokter umum," katanya saat membacakan penetapan majelis di Pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (2/11).

John berpendapat, berdasarkan hasil pemeriksaan tim Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Bambang mampu hadir untuk menjalani pemeriksaan dan observasi. Bahkan, saat diperiksa tim IDI, Bambang dalam keadaan sadar, dapat memahami setiap tahap jalannya peradilan, serta masih mampu mengutarakan hal-hal yang terkait dengan pembelaan dirinya.

Lebih dari itu, menurut John, sesuai pemeriksaan tim IDI, Bambang cenderung menyampaikan ekspresi emosi depresi dengan menunjukan gejala sakit dan penurunan daya ingat. Namun, di pertengahan dan akhir wawancara, Bambang dapat menjelaskan harapannya dengan cukup rinci, seperti menjelaskan pasal-pasal yang mendukung dirinya unfit to stand trial.

"Sejak awal pemeriksaan, nampaknya terperiksa (Bambang) menunjukan keinginan untuk dinyatakan unfit to stand trial berkaitan dengan persepsi bahwa dirinya mengalami multiple heart dinamic yang bersifat permanen. Di saat yang sama, terperiksa menyatakan keluhan jantungnya bersifat sementara atau temporary," ujarnya.

Adapun keterangan sejumlah dokter ahli yang dihadirkan pengacara Bambang di persidangan, tidak dipilih majelis sebagai acuan. Misalnya, keterangan dokter pribadi yang menyimpulkan Bambang berisiko tinggi mati mendadak akibat serangan jantung dan stroke, serta secara psikologis muncul perilaku tidak terkontrol dan ingin bunuh diri.

Mengingat dalam setiap ilmu, termasuk ilmu kedokteran kerap terjadi perbedaan pendapat, John menyatakan majelis cenderung memilih pendapat ahli dari tim IDI. Pasalnya, pemeriksaan yang dilakukan oleh organisasi kedokteran secara umum lebih objektif ketimbang pemeriksaan yang dilakukan sendiri oleh dokter yang dihadirkan pengacara.

Oleh karena itu, John lebih memilih untuk mengacu pada kesimpulan tim IDI yang menyatakan Bambang layak untuk diadili. Mengingat Bambang masih dalam kondisi layak untuk menjalani persidangan, majelis berpendapat, persidangan Bambang dengan nomor perkara No.104/Pid.Sus/TPK/2015/Jkt.Pst harus lah dilanjutkan.

"Menimbang bahwa karena sebagaimana terlihat dari uraian di atas, terdakwa mengidap berbagai penyakit, maka untuk mengantisipasi keadaan-keadaan buruk dan demi kelancaran persidangan, menurut hemat majelis adalah tepat dan layak apabila selama proses persidangan terdakwa didampingi oleh dokter pribadinya," terangnya.

Dengan demikian, John berharap penuntut umum bisa segera melaksanakan penetapan majelis. Selain itu, ia berharap pengacara Bambang juga akan membantu kelancaran persidangan. Majelis akan memprioritaskan pemeriksaan perkara Bambang dengan mengagendakan sidang pada Senin pagi pekan depan (9/11).

Penuntut umum Ali Fikri mengatakan pihaknya akan menjalankan penetapan majelis dengan berupaya menghadirkan Bambang secara fisik ke persidangan. "Hakim kan berpendapat terdkawa itu fit, bisa (disidang). Nanti kami upayakan untuk menghadirkan fisik terdakwa biar hakim melihat fisiknya seperti apa," ucapnya.

Di lain pihak, pengacara Bambang, Iwan Ridwan kecewa dengan penetapan majelis. Ia merasa hasil pemeriksaan tim IDI memberatkan Bambang. Padahal, yang memeriksa Bambang sehari-hari bukan tim IDI yang dihadirkan oleh penuntut umum, melainkan dokter-dokter pribadi Bambang yang dihadirkan pengacara di persidangan.

"Yang jelas, mereka (tim IDI) memeriksa berdasarkan kepentingan hukum, sedangkan dokter pribadi ini memeriksa berdasarkan kepentingan kesehatan. Kepentingan hukum dan kepentingan kesehatan terjadi perbedaan. Buat kami, ini berat, pelanggaran hak asasi manusia. Kami khawatir ada ekses-eksesnya. Orang sakit, tapi kok disidang," tuturnya.

Sebagaimana diketahui, KPK menetapkan Bambang sebagai tersangka sejak 12 September 2014. Perkara Bambang merupakan pengembangan dari perkara suap sebelumnya yang melibatkan Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Nusa Tenggara Barat, Subri dan anak buah Bambang di PT Pantai Aan, Lusita Ani Razak.

Dalam perkara ini, Subri telah divonis 10 tahun penjara dan denda Rp250 juta subsidair lima bulan kurungan. Subri dianggap terbukti menerima suap sejumlah Rp100 juta dari Lusita dan Bambang terkait pengurusan penuntutan perkara Sugiharta alias Along atas perkara pemalsuan dokumen sertifikat tanah yang diduga dilakukan Along.  

Bambang sendiri merupakan Direktur Utama PT Pantai Aan yang melaporkan Along atas dugaan penyerobotan tanah kawasan milik PT Pantai Aan. Setelah menerima uang tersebut, Subri juga menghubungi Kasatreskrim Polres Lombok Tengah, Deni Septiawan untuk mempercepat penyidikan dan penahanan Along.

Penghentian perkara akibat terdakwa sakit permanen pernah dialami mantan Presiden Soeharto. Ketika itu, pada tahun 2000, Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menetapkan sidang perkara Soeharto tidak dapat dilanjutkan. Berdasarkan pemeriksaan dokter, Soeharto menderita permasalahan syaraf, mental, dan sulit berkomunikasi.

Alhasil, berkas perkara dikembalikan ke penuntut umum dan Kejaksaan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP). Walau SKPP sempat dibatalkan berdasarkan putusan praperadilan PN Jakarta Selatan, putusan itu dibatalkan di tingkat banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menyatakan SKPP tersebut sah.

Selain Soeharto, ada satu perkara KPK yang juga ditetapkan untuk tidak dilanjutkan persidangannya, yaitu perkara terdakwa kasus korupsi proyek pembangunan dermaga Sabang, Teuku Syaiful Achmad. Pengadilan Tipikor Jakarta menetapkan perkara Syaiful tidak dapat dilanjutkan karena Teuku menderita sakit permanen.

Meski proses penuntutan tidak dapat diterima, majelis hakim berpendapat, bukan berarti Syaiful dibebaskan dari tindak pidana korupsi yang dilakukannya karena majelis belum memutus substansi pokok perkara. Oleh karena itu, KPK berkoordinasi dengan jaksa pengacara negara untuk menggugat kerugian negara secara perdata.

Tags: