Tiga Cara Memperbaiki Salah Rujuk Pasal dalam UU Cipta Kerja
Berita

Tiga Cara Memperbaiki Salah Rujuk Pasal dalam UU Cipta Kerja

Melalui penerbitan Perppu, merevisi UU Cipta Kerja, dan pengajuan permohonan di MK. Bagi PSHK, kesalahan redaksional dan praktik buruk proses pembentukannya bukti terang benderang bagi MK untuk menyatakan UU Cipta Kerja cacat secara formil, sehingga harus dinyatakan tidak mengikat secara hukum untuk seluruhnya.

Agus Sahbani
Bacaan 5 Menit
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES
Sidang paripurna saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU, Senin (5/10). Foto: RES

Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti menilai kesalahan rujukan pasal dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja tak bisa diperbaiki sembarangan. Sebab, UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan tidak memberi ruang lagi untuk perbaikan UU setelah ditandatangani Presiden. Menurutnya, ada tiga cara memperbaiki salah rujuk pasal yakni menerbitkan Perppu, merevisi UU dengan melibatkan DPR, dan pengajuan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK).   

“Caranya memperbaiki dengan mengubah UU Cipta Kerja itu. Bisa melalui penerbitan Perppu, perubahan/revisi UU oleh pembuatnya sendiri (legislative review), perubahan UU melalui pembatalan oleh MK. Hanya saja, sesuai Pasal 22 UUD 1945, penerbitan Perppu yang tercepat karena ada masalah ketidakpastian hukum disini,” ujar Bivitri saat dihubungi, Selasa (3/11/2020) malam. (Baca Juga: Sah! Presiden Teken UU Cipta Kerja)  

Bivitri menjelaskan kesalahan merujuk pasal atau ayat yang terjadi dalam Pasal 6 dan Pasal 175 UU Cipta Kerja berdampak kedua pasal itu tidak bisa dilaksanakan, sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum. "Kesalahan dalam Pasal 6 dan Pasal 175 itu tidak bisa lagi dilakukan perbaikan secara sembarangan, seperti yang terjadi sebelum UU ini ditandatangani (Presiden, red), yang itu pun sudah salah," kata Bivitri.

“Memang ini belum terbukti tidak bisa diterapkan, tetapi artinya ada kepastian hukum tentang kedua pasal itu. Kalau pasal rujukannya tidak ada, bagaimana bisa diterapkan?”

Ia menegaskan pasal yang sudah diketahui salah tidak bisa dilaksanakan. Sebab, dalam hukum, tidak boleh suatu pasal dijalankan sesuai imajinasi penerap pasal saja, harus persis seperti yang tertulis dalam pasal tersebut. "Kalau pemerintah mau membuat ada kepastian hukum agar pasal-pasal itu bisa dilaksanakan dengan cepat Presiden bisa keluarkan Perppu,” saran dia.

Menurut dia, kesalahan merujuk pasal ini cukup fatal yang bisa memperkuat alasan bagi publik mengajukan uji formil UU Cipta Kerja ke Mahkamah Konstitusi (MK) termasuk uji materil. “Prosedurnya sejak awal memang dinilai cacat formil. Meski tidak otomatis, ini akan memperkuat alasan melakukan uji formil ke MK untuk meminta UU ini dibatalkan," kata Bivitri.

Dia memberi contoh pernah ada salah rujuk pasal dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang beberapa tahun kemudian diuji ke MK. Kasus ini mirip dengan Pasal 6 dan Pasal 75 UU Cipta Kerja. Lalu, permohonan ini dikabulkan MK pada 1 Mei 2012. Dalam putusannya, MK membatalkan frasa “sebagaimana dimaksud Pasal 83” dalam Pasal 116 ayat (4) UU Pemda itu dan mengubahnya dengan frasa “sebagaimana dimaksud Pasal 80”.  

“Permohonan ini yang mengajukan orang Bawaslu karena banyak dapat keluhan dari Panwaslu yang tidak bisa menindak pelanggaran Pilkada karena rujukan pasalnya salah ketik. Sebelumnya Bawaslu sudah pernah komplain ke Mensesneg, tapi tidak direspon. Bedanya dengan UU Cipta Kerja, masalahnya baru ketahuan beberapa tahun kemudian.” (Baca Juga: MK Kabulkan Permohonan Pasal Salah Rujuk)

Ditegaskan Bivitri, kesalahan penulisan dalam UU Cipta Kerja ini semakin memperjelas proses pembahasan dan pembentukannya ugal-ugalan. Makna pembuatan undang-undang dikerdilkan hanya untuk mewujudkan tujuan-tujuan tertentu. Jadi, jangan dikerdilkan seakan-akan ini urusan administrasi.

"Seolah mengkerdilkan makna pembuatan UU, padahal UU itu seperti kontrak sosial warga melalui wakil-wakilnya. Itu pun sudah disimpangi dengan tidak partisipatif dan tidak transparannya proses penyusunan dan pembahasan. Ini akibatnya kalau tujuan buruk menghalalkan segala cara.

Dia mengingatkan harus dipahami, penomoran suatu UU bukan hanya soal administrasi, tetapi punya makna pengumuman ke publik melalui penempatan suatu UU ke Lembaran Negara dan Penjelasannya masuk Tambahan Lembaran Negara. “Penting sekali, dikenal ‘teori fiksi hukum’, bila sudah diumumkan, tidak ada orang yang boleh mengaku dirinya tidak mengetahui UU itu ada, sehingga bisa menghindar dari kewajiban menerapkan UU itu. Ini pemenuhan asas publisitas, supaya UU berdaya laku.”

Harus dipertimbangkan serius

Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia menilai praktik buruk proses legislasi UU Cipta Kerja tidak berhenti saat persetujuan RUU Cipta Kerja menjadi UU dalam rapat paripurna DPR. Pada Senin 2 November 2020 tengah malam, salinan UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang memuat 1.187 halaman resmi diunggah dalam laman setneg.go.id.

Walaupun sudah diundangkan, UU Cipta Kerja masih mengandung kesalahan perumusan yang berdampak pada substansi pasal. Pada halaman 6 misalnya, rumusan Pasal 6 UU Cipta Kerja mencantumkan rujukan Pasal 5 ayat (1) huruf a. Padahal Pasal 5 UU Cipta Kerja tidak memiliki ayat. Selain itu, Pasal 175 ayat (5) tertulis merujuk pada ayat (3). Padahal seharusnya merujuk pada ayat (4).

“Kesalahan perumusan tersebut bukan sekadar kesalahan ketik, tetapi perlu dimaknai sebagai buah dari proses pembentukan regulasi yang dipaksakan dan mengorbankan prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas (tidak dapat diperptanggungjawabkan),” ujar Peneliti PSHK Indonesia Rizky Argama dalam keterangannya, Selasa (3/11/2020).

“Pembentuk UU, dalam hal ini Presiden dan DPR harus bertanggung jawab atas kekacauan yang terjadi dalam proses legislasi, tidak hanya dari segi teknis penulisan, tetapi juga dari substansi yang masih bermasalah.”

Apabila dilihat lebih dalam, kata dia, kesalahan perumusan itu bentuk pelanggaran atas asas “kejelasan rumusan” yang diatur Pasal 5 huruf f UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Hal itu semakin menunjukkan UU Cipta Kerja semakin mengandung cacat formil, dan harus dipertimbangkan serius oleh MK ketika menindaklanjuti permohonan uji formil nantinya.

“Kesalahan redaksional dan praktik buruk dalam proses pembentukannya merupakan bukti yang terang benderang bagi MK untuk menyatakan bahwa UU Cipta Kerja cacat secara formil, sehingga harus dinyatakan tidak mengikat secara hukum untuk seluruhnya,” pintanya.

Secara konstitusional, Presiden sebetulnya dapat menerbitkan Perppu untuk memperbaiki kesalahan redaksional dalam UU Cipta Kerja. Namun, langkah itu tetap tidak memberi jalan keluar atas kerusakan yang telah terjadi akibat proses legislasi yang buruk dalam setiap tahap pembentukan UU Cipta Kerja.

Karena itu, PSHK Indonesia mendesak agar Pemerintah tidak melanjutkan proses pembentukan peraturan pelaksanaan dari UU Cipta Kerja dan fokus terlebih dahulu membaiki proses pembentukan peraturan perundang-undangan agar praktik bermasalah UU Cipta Kerja tidak kembali terulang. “MK melakukan koreksi total atas kesalahan prosedur pembentukan UU Cipta Kerja dengan menyatakan UU itu tidak mengikat secara hukum, dalam hal terdapat permohonan uji formil!”

 

Dapatkan artikel bernas yang disajikan secara mendalam dan komprehensif mengenai putusan pengadilan penting, problematika isu dan tren hukum ekslusif yang berdampak pada perkembangan hukum dan bisnis, tanpa gangguan iklan hanya di Premium Stories. Klik di sini.

Tags:

Berita Terkait