Tiga Jalan Hukum yang Bisa Ubah Praktik Praperadilan
Berita

Tiga Jalan Hukum yang Bisa Ubah Praktik Praperadilan

Melalui Perma, putusan pengadilan, dan putusan MK.

Aida Mardatillah
Bacaan 2 Menit
Sejumlah narasumber dalam Diskusi Hukumonline bertajuk Praperadilan: Upaya Hukum Pemenuhan Hak Tersangka di Gedung AD Premier Jakarta, Kamis (22/8). Foto: Justika.com
Sejumlah narasumber dalam Diskusi Hukumonline bertajuk Praperadilan: Upaya Hukum Pemenuhan Hak Tersangka di Gedung AD Premier Jakarta, Kamis (22/8). Foto: Justika.com

Sejak lahirnya lembaga praperadilan dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) 38 tahun silam, dinilai kurang memenuhi kebutuhan dalam praktik. Sebab, selain ada kerancuan dalam hukum acaranya, dalam perkembangan praktik beracara praperadilan mengalami perubahan pengaturan. Namun, perubahannya bukan melalui Revisi KUHAP yang hingga saat ini masih disusun pembentuk UU.             

 

Hakim Yustisial pada Biro Hukum dan Humas Mahkamah Agung (MA), D.Y. Witanto menilai memperbaiki hukum acara praperadilan bisa ditempuh melalui tiga cara. Pertama, melalui pengaturan dalam Peraturan MA Mahkamah Agung (Perma). Kedua, melalui putusan hakim pengadilan di bawah MA (yurisprudensi). Ketiga, penafsiran Mahkamah Konstitusi (MK) melalui pengujian KUHAP terkait aturan praperadilan.

 

Witanto mengatakan selama ini ada dua pengaturan praperadilan dalam peraturan internal MA yakni Perma No. 4 Tahun 2016 tentang Larangan Peninjauan Kembali Terhadap Putusan Praperadilan dan SEMA No. 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka yang Melarikan Diri atau Sedang dalam Status Daftar Pencarian Orang. Namun, belum ada Perma yang spesifik mengatur hukum acara dalam sidang praperadilan secara lebih komprehensif.  

 

Menurutnya, aturan mekanisme praperadilan dalam Bab X Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP menggunakan tata cara penanganan perkara perdata. Seperti, pemanggilan dan pemberitahuan dilakukan jurusita, kompetensi mengadili praperadilan tidak diatur tegas, tahapan proses mirip sidang perkara perdata. Bahkan eksekusi dilaksanakan oleh ketua pengadilan (bukan oleh jaksa), siapa yang mengawasi eksekusi putusan.

 

Padahal, tidak ada ketentuan dalam KUHAP yang menyebutkan perkara praperadilan harus dilaksanakan dengan mekanisme perkara perdata karena Pasal 101 dan 274 KUHAP tidak berlaku untuk perkara praperadilan. “Perlu dorongan seluruh elemen masyarakat dan penegak hukum lain agar MA mengeluarkan Perma (Hukum Acara) Praperadilan,” ujar Witanto dalam Diskusi Hukumonline bertajuk Praperadilan: Upaya Hukum Pemenuhan Hak Tersangka di Gedung AD Premier Jakarta, Kamis (22/8/2019). Baca Juga: Mengurai Kekeliruan Praktik Penanganan Praperadilan

 

Dalam kesempatan yang sama, Hakim Agung Kamar Pidana MA Sofyan Sitompul mengatakan selama ini MA dalam menerbitkan Perma harus memiliki sebuah peristiwa yang mendesak. Atau suatu peristiwa yang aturannya belum diatur secara lebih rinci dalam proses peradilan. “MA bisa saja mengeluarkan Perma Praperadilan untuk ke depannya,” kata Sofyan.

 

Witanto melanjutkan karena aturan Perma terbatas hanya berlaku dan mengikat pengadilan, maka aturan hukum acara praperadilan yang berhubungan penuntutan, penyidikan, dan penyelidikan dapat disiasati dengan putusan praperadilan yang bisa menemukan dan menciptakan norma praktik praperadilan. “Putusan hakim di bawah MA ini nantinya bisa menjadi yurisprudensi,” kata Witanto.  

 

Tak hanya itu, kata Witanto, perbaikan hukum acara praperadilan dapat ditempuh dengan jalan meminta penafsiran MK melalui proses pengujian KUHAP. Dia mencontohkan putusan MK No. 21/PUU-XII/2014 terkait pengujian Pasal 77 KUHAP yang memperluas objek praperadilan. Objek praperadilan tak hanya terbatas pada pengujian sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan/penuntutan, tetapi juga termasuk sah atau tidaknya penetapan tersangka, penyitaan, penggeledehan.        

 

“Melalui putusan itu, MK memperluas penafsiran aturan yang ada dalam KUHAP,” kata dia.

 

Sofyan menilai sudah saatnya perbaikan praperadilan memang perlu dilakukan sebagai lembaga kontrol horisontal terhadap kewenangan penyidik dan penuntut umum dalam melakukan upaya paksa berupa tindakan penangkapan, penahanan, penyitaan, wewenang lain yang diberikan KUHAP. “Ini sementara bisa dilakukan dengan menerbitkan Perma atau melalui penafsiran MK,” katanya.

 

Witanto menambahkan selama ini banyak kekeliruan dalam penerapan hukum acara praperadilan di Indonesia. Menurutnya, perkara praperadilan tak semestinya dilakukan seperti perkara perdata karena praperadilan diatur dalam KUHAP sehingga kedudukannya berada dalam ruang lingkup perkara pidana.

 

“Pemberlakuan hukum acara perdata sebagaimana diatur Pasal 101 dan Pasal 274 KUHAP khusus berlaku hanya untuk perkara penggabungan gugatan ganti kerugian menurut Pasal 98 KUHAP, sehingga perkara praperadilan tidak tunduk pada ketentuan tersebut,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait