Tiga Tahun UU Administrasi Pemerintahan
Fokus

Tiga Tahun UU Administrasi Pemerintahan

Hasil kajian terhadap UU Administrasi Pemerintahan menemukan sejumlah kelemahan.

Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur saat peluncuran anotasi UU AP. Foto: MYS
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Asman Abnur saat peluncuran anotasi UU AP. Foto: MYS

Hampir satu bulan lewat setelah UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (UUAP) memasuki usia tiga tahun. Salah satu ‘kado’ yang diberikan pada peringatan tiga tahun adalah putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Padang yang mengabulkan gugatan warga terhadap Gubernur Sumatera Barat menggunakan dalil fiktif positif.

Fiktif positif adalah prinsip yang diperkenalkan UUAP, menggantikan prinsip fiktif negatif  yang dianut UU No. 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua UU No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara. Berdasarkan UUAP, seorang pejabat publik atau pejabat pemerintahan memiliki batas waktu tertentu untuk menetapkan suatu keputusan atau melakukan suatu tindakan. Batas waktunya disesuaikan dengan perundang-undangan. Sesuai Pasal 53 ayat (3) UUAP, jika dalam batas waktu tertentu si pejabat tidak menetapkan keputusan atau tidak melakukan suatu tindakan atas permohonan yang diajukan sesuai prosedur, maka permohonan itu dianggap dikabulkan secara hukum. Inilah esensi fiktif positif.

Fiktif positif hanya salah satu dari sekian banyak norma UUAP yang mendapat perhatian para akademisi dan praktisi. Pada 23 Oktober lalu, misalnya, Departemen Hukum Administrasi Negara Fakultas Hukum UGM Yogyakarta bekerjasama dengan Kementerian Hukum dan HAM, dan Asosiasi Pengajar HTN/HAN Provinsi Yogyakarta menggelar diskusi ‘UU Administrasi Pemerintahan, Apresiasi Positif, Implikasi Negatif Serta Peluang untuk Menanggulanginya’.

(Baca juga: Penting Dibaca Penyelenggara Negara, Anotasi UU Administrasi Pemerintahan Diluncurkan).

Richo Andi Wibowo, narahubung acara dan dosen Departemen Hukum Administrasi UGM, membenarkan adanya beberapa catatan apresiatif, catatam kritis dari narasumber terhadap UUAP. “Sekalipun UUAP ini sudah berjalan selama tiga tahun, namun masih penuh catatan dan tanda tanya,” ujarnya.

Seperti termuat dalam lama resmi Fakultas Hukum UGM, Ketua Asosiasi Pengajar HTN/HAN Pusat, Moh. Mahfud MD, misalnya menyebut kehadiran UU AP telah memberikan paradigma yang lebih memadai dalam tata kelola pemerintahan. Ada beberapa indikasinya. Pertama, menguatnya peran Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN). Kedua, semakin jelasnya hak untuk melakukan keberatan dan banding terhadap keputusan yang dianggap merugikan. Ketiga, mengatur lebih jelas hak masyarakat dalam mengajukan gugatan.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Surabaya, Philipus M. Hadjon, termasuk akademisi yang kritis terhadap UUAP. Ketika proses pembahasan RUU dan setelah RUU itu disahkan Prof. Hadjon mengkritik beberapa bagian, dan diulang lagi di UGM Yogyakarta. Selain konsep ‘administrasi pemerintahan’ yang masih membingungkan dan konsep ‘tindakan’ yang sifatnya tak tertulis, Prof. Hadjon mengkritik UUAP karena mengatur dan mengubah kewenangan PTUN namun normanya dimuat dalam Ketentuan Peralihan.

Norma yang dimaksud Prof. Hadjon termuat dalam Pasal 87 UUAP. Pasal ini menyebutkan dengan berlakunya UUAP, maka Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) dalam UU No. 5 Tahun 1986 sebagaimana diubah terakhir dengan UU No. 51 Tahun 2009, harus dimaknai sebagai (a) penetapan tertulis yang juga mencakup tindakan faktual; (b) Keputusan Badan dan/atau Pejabat TUN di lingkungan eksekutif, legislative, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya; (c) berdasarkan ketentuan perundang-undangan dan asas umum pemerintahan yang baik; (d) bersifat final dalam arti luas; (e) keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum; dan/atau (f) keputusan yang berlaku bagi warga masyarakat.

Perhatian hakim

Perluasan makna KTUN dalam UUAP memang telah membawa konsekuensi dalam praktek. Salah satunya apa yang ditemukan peneliti LeIP dan Pattiro, bahwa telah terjadi perluasan makna dalam praktek sehingga rekomendasi pun dianggap sebagai objek sengketa tata usaha negara. Rekomendasi dianggap memenuhi keputusan yang berpotensi menimbulkan akibat hukum, padahal suatu rekomendasi tak memenuhi syarat final sebagaimana selama ini pemahaman yang dianut mengenai KTUN. “Perluasan makna telah mempengaruhi putusan pengadilan,” kata peneliti LeIP, Alfeus Jebabun, kepada hukumonline kala hasil penelitian itu dilansir Agustus lalu.

(Baca juga: Hakim Perlu Berhati-Hati Menerapkan Perluasan Makna KTUN).

Hakim TUN, Yodi Martono Wahyunadi, dalam ringkasan disertasinya di Universitas Trisaksi, yang dipertahankan Maret 2016 silam, memaparkan kompetensi PTUN setelah berlakunya UUAP bukan hanya KTUN, tetapi juga tindakan administrasi. PTUN juga punya kompetensi memutus permohonan untuk menentukan penilaian ada tidaknya unsur penyalahgunaan wewenang. Konsekuensi perubahan norma TUN tersebut tak lain adalah terhadap UU Peradilan Tata Usaha Negara. UU yang disebut terakhir harus disesuaikan dengan UUAP.

Kalangan hakim TUN sebenarnya juga menaruh perhatian besar terhadap UUAP selama tiga tahun terakhir. Puncaknya, UUAP menjadi bahan pembahasan dalam rangka ulang tahun PTUN ke-26, di Jakarta, Januari 2017 lalu. Ada empat hasil rumusan seminar dalam rangka HUT PTUN tersebut. Pertama, ada perluasan kompetensi PTUN. Kedua, kompetensi absolute PTUN harus diubah, tetapi bukan dengan Ketentuan Peralihan UUAP, melainkan perubahan UU PTUN. Ketiga, pemberlakuan UUAP tidak mengesampingkan UU PTUN. Keempat, salah satu arah politik UUAP –bersama UU Aparatur Sipil Negara dan UU Pemda—adalah membangun model penegakan hukum baru yang lebih memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum yang adil.

Mengenai kompetensi PTUN menilai suatu keputusan Pejabat/Badan TUN, Prof. Hadjon menilai perluasan cakupan penilaian patut dipertanyakan. PTUN secara konseptual didesain mengawasi eksekutif saja. Namun UUAP memperluas hingga ke legislatif, yudikatif, dan penyelenggara negara lainnya.

(Baca juga: Menguji Asas Presumptio Iustae Causa di Lingkungan Tata Usaha Negara).

Berdasarkan penelusuran Hukumonline, UUAP sudah disinggung hakim dalam sejumlah putusan. Misalnya dalam putusan Mahkamah Agung No. 482K/TUN/2016, majelis majelis hakim yang mengadili dan memutus perkara ini menyebutkan bahwa istilah ‘final’ harus dimaknai bahwa KTUN itu sudah menimbulkan akibat hukum bagi pihak yang dikenai keputusan atau pihak ketiga yang tidak dikenai putusan (vide Pasal 87 UUAP). Selain itu, majelis menyatakan bahwa dalam perkara tersebut Laporan Hasil Audit Investigasi yang menyatakan telah terjadi kerugian keuangan negara secara futuristic sesuai jiwa UU A dapat merugikan kepentingan penggugat, sehingga patut dipandang telah menimbulkan akibat hukum bagi penggugat.

Contoh lain, putusan Mahkamah Konstitusi No. 25/PUU-XIV/2016 telah mengaitkan UUAP dengan upaya pemberantasan korupsi. Menurut Mahkamah, kehadiran UUAP dikaitkan dengan kata ‘dapat’ dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (3) UU Tipikor menyebabkan terjadinya pergeseran paradigma penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam tindak pidana korupsi. “Dalam perkembangannya, dengan lahirnya UU Administrasi Pemerintahan maka kerugian negara karena kesalahan administratif bukan merupakan unsur tindak pidana korupsi,” demikian pertimbangan Mahkamah pada halaman 112.

Dosen Fakultas Hukum UGM, Zainal Arifin Mochtar, memberi catatan khusus atas Pasal 19 UUAP. Pasal ini menyebutkan keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan melampaui wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf a dan Pasal 18 ayat (1) serta keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan secara sewenang-wenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 ayat (2) huruf c dan Pasal 18 ayat (3) tidak sah apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap. Disebutkan pula bahwa keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan dengan mencampuradukkan wewenang dapat dibatalkan apabila telah diuji dan ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Menurut Mochtar, rumusan norma pada Pasal 19 UUAP dapat memperpanjang proses administrasi penyelesaian perkara korupsi. Rumusan ini justru membebani PTUN dengan menguji dugaan penyalahgunaan wewenang. Memberi PTUN beban-beban baru tidak sejalan dengan problem eksekusi putusan PTUN. Ia menduga keruwetan perumusan norma UUAP dipengaruhi proses pembahasannya yang kurang melibatkan pakar hukum administrasi negara.

Perjalanan tiga tahun suatu Undang-Undang terbilang masih terlalu dini untuk menilai efektivitasnya. Pusat Kajian Sistem dan Hukum Administrasi Negara Lembaga Administrasi Negara (LAN) diketahui telah membuat solusi stratejik atas permasalahan UUAP, sekaligus merekomendasikan pilihan kebijakan. Tujuannya agar UUAP menjadi acuan penyelenggaraan administrasi pemerintahan.

Dalam perjalanan ke depan mungkin saja bakal muncul kelemahan dan persoalan lain karena UUAP tak bisa berdiri sendiri. Ia terhubung dan terkait dengan banyak Undang-Undang lain. Bahkan dalam proses penyusunannya UU AP diproyeksikan sebagai umbrella act, undang-undang payung.

Tags:

Berita Terkait