Tindak Pidana Incest Masih Menonjol
Berita

Tindak Pidana Incest Masih Menonjol

Ratusan kasus kejahatan seksual terungkap sepanjang tahun lalu. Sebagian besar korbannya adalah orang dekat dan anak-anak di bawah umur. Revisi KUHP dinilai belum berpihak kepada korban.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Sayang, korban kekerasan incest seringkali terstigmatisasi di masyarakat, ditambah lemahnya perangkat hukum dan pelayanan. Cara pandang aparat hukum pun tidak menggembirakan. Sehubungan dengan itu, September lalu LBH APIK sudah memprakarsai lokakarya khusus aparat penegak hukum. Salah satu rekomendasi yang dihasilkan adalah untuk mendorong kemudahan sistem pembuktian dalam kasus perkosaan, dimana keterangan saksi korban dapat dijadikan bukti utama.

 

Masalah pembuktian memang salah satu kendala dalam kasus incest, dan kekerasan seksual pada umumnya. Tengok saja awal muasal kasus yang akhirnya menjadi yurisprudensi MA dalam perkara No. 1158K/Pid/1985. Ini adalah sebuah kasus incest di Kotabumi, Lampung. Dalam persidangan jaksa mendakwa pelaku dengan pasal-pasal berlapis, yaitu 285, 287 dan 291 ayat (1) KUHP.

 

Nyatanya, hakim tingkat pertama membebaskan terdakwa dengan argumen jaksa hanya bisa membuktikan satu alat bukti. Sementara bukti visum et repertum dikesampingkan hakim. Keterangan saksi juga dikesampingkan lantaran saling bertentangan. Untunglah, majelis hakim agung pada tingkat kasasi mengubah putusan. Hakim agung menganggap visum sebagai bukti yang memperkuat terjadinya perkosaan terhadap anak kandung terdakwa yang masih berumur 15 tahun. Oleh karena itu, terdakwa dihukum tiga tahun penjara.

 

Revisi KUHP

Melihat banyaknya kasus incest yang terjadi, muncul gagasan untuk merevisi aturan-aturan mengenai kesusilaan dalam KUHP. Sikap aparat hukum, terutama hakim, pun penting. Namun upaya untuk merevisi KUHP, yang selama ini jadi acuan penyelesaian hukum kasus-kasus kekerasan seksual, dinilai LBH APIK belum mengakomodir kepentingan korban.

 

Memang, revisi KUHP sudah memperluas cakupan kekerasan kesusilaan. Tindak pidana incest juga sudah dimasukkan dan diperluas. Tetapi kalangan aktivis perempuan menilai belum cukup. Untuk itulah Komnas Perempuan mengusulkan RUU Anti Perkosaan dan RUU Kekerasan Dalam Rumah Tangga.

 

 

Pasal 429 RUU KUHP

 

(1)       Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul dengan anak kandungnya dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun

(2)       Setiap orang yang melakukan perbuatan cabul atau persetubuhan dengan anak tirinya, anak angkatnya, atau anak di bawah pengawasannya yang dipercayakan padanya untuk diasuh, dididik atau dijaga, atau dengan pembantu rumah tangganya atau dengan bawahannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun

 

 

 

Selain pasal 429 di atas, revisi RUU KUHP juga mencantumkan tindak pidana persetubuhan dengan anggota keluarga sedarah dalam garis lurus atau ke samping sampai derajat ketiga. Ancaman pidananya antara 3 hingga 12 tahun. Jika yang menjadi korban adalah anak-anak di bawah 18 tahun, hukuman maksimalnya ditambah menjadi tiga tahun lagi.

Tags: