Tolak RUU Advokat, PERADI Roadshow ke Sejumlah Fraksi DPR
Utama

Tolak RUU Advokat, PERADI Roadshow ke Sejumlah Fraksi DPR

Untuk menjelaskan betapa banyak permasalahan dalam RUU Advokat. Meski hendak dibahas, dilakukan oleh anggota dewan periode mendatang.

RFQ
Bacaan 2 Menit
Foto: RES
Foto: RES
“Kami seperti disambar petir”. Kalimat ini keluar dari mulut Ketua DPN Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), Otto Hasibuan, di Gedung DPR, Senin (8/9). Pernyataan Otto mewakili PERADI yang kecewa karena DPR kekeuh membahas Revisi Undang-Undang (RUU) No.18 Tahun 2003 tentang Advokat. Bersama dengan sejumlah elit organisasi di bawah naungan PERADI, Otto menyambangi sejumlah fraksi di DPR. Mulai Fraksi PDIP, PKS dan Hanura.

Pertemuan dengan ketiga fraksi, intinya PERADI meminta agar DPR menghentikan pembahasan RUU Advokat. Meskipun tetap dilakukan revisi, mesti dibahas dalam waktu panjang dan dalam suasana tenang seperti kala pembahasan UU No.18 Tahun 2003. Sejumlah keluhan disampaikan Otto. Mulai isi dari RUU yang tidak mencerminkan prinsip universal dunia advokat, hingga keberadaan Dewan Advokat Nasional (DAN) dalam RUU.

Otto berpandangan, lembaga tunggal advokat di bawah kepempimpinannya tak anti perubahan. Sepanjang perubahan demi penguatan profesi advokat, PERADI akan mendukungnya. Berbeda halnya dengan isi RUU Advokat yang sedang dibahas DPR, justru menurunkan martabat advokat.

“RUU ini bukan menambah perbaikan, tapi menurunkan martabat profesi advokat dan berdampak pada pencari keadilan,” katanya.

Keberadaan DAN tak lepas dari sorotan Otto. Dia menilai DAN sebagai lembaga bentukan pemerintah bakal mengekang profesi advokat. Bukan tidak mungkin, advokat dalam menjalankan tugas dan fungsinya memberikan pelayanan pembelaan masyarakat tak dapat bergerak bebas. Otto khawatir pemerintah akan campur tangan dengan keorganisasian advokat.

“Padahal ini tidak pernah terjadi di negara manapun. Tidak ada ada organisasi advokat berada di bawah kaki pemerintah,” ujarnya.

Dikatakan Otto, hakim dan jaksa adalah representatif negara. Jika advokat berada di bawah pemerintah, maka tak ada keseimbangan dalam penegakkan hukum. Advokat idealnya mesti tetap independen. Tidak saja dalam organisasi, tapi dalam melaksanakan tugas pelayanan pembelaan hukum terhadap masyarakat. Independensi, menurut Otto, menjadi hal prinsipil.

“Dan, kami tidak setuju dan menentang sekali,” ujarnya.

Sistem single bar menjadi persoalan inti. Menurut Otto, kebebasan berserikat memang dijamin konstitusi. Namun UU No.18 Tahun 2003 setidaknya telah memberikan ruang kepada sekelompok orang membentuk organisasi advokat. Buktinya, meski PERADI menjadi wadah tunggal, banyak organisasi advokat lain bermunculan.

Ia menekankan, perlunya wadah tunggal agar dalam memberikan standar lisensi ujian advokat serta pemberian sanksi dilakukan oleh satu organisasi induk advokat bagi para advokat yang melanggar etika.

Wasekjen Asosiasi Advokat Indonesia (AAI), Freddy Simatupang, menambahkan RUU Advokat dinilai tidak berdampak pada perbaikan profesi advokat. Menurutnya, advokat merupakan pihak swasta yang dalam menjalankan tugasnya diatur oleh UU. Nah, kalaupun nantinya advokat dalam menjalankan tugasnya dicampuri oleh pemerintah, akan berdampak pada  independensi advokat.
“Itu menunjukan advokat dikatrol dan tidak mandiri,” ujarnya.

Menurut Freddy, idealnya RUU Advokat memperkuat organisasi tunggal seperti halnya organisasi notaris yang mencantumkan nama INI (Ikatan Notaris Indonesia) dalam UU nya. Bukan sebaliknya, menerapkan sistem multi bar. Ia berharap UU No.18 Tahun 2003 tetap diberlakukan tanpa diganggu oleh pihak manapun.

“PERADI wadah tunggal, kita harus kuatkan Peradi. Kami organisasi advokat menolak RUU ini, karena tidak sesuai dengan semangat kita,” ujarnya.

Upayakan distop
Anggota Fraksi PKS, Nasir Djamil memahami keluh kesah dari sejumlah organisasi di bawah naungan PERADI. Nasir tak menampik RUU Advokat memiliki tensi politik sedemikian tinggi. Nasir menegaskan tak memiliki kepentingan dengan RUU tersebut.

Sedari awal munculnya RUU Advokat, Nasir yang kini tercatat sebagai anggota Pansus menunjukkan sikap penolakannya, terlebih lagi melakukan pembahasan. Nasir beralasan, pendeknya waktu anggota dewan periode 2009-2014 tidak memungkinkan melakukan pembahasan, hingga menghasilkan RUU yang maksimal.

Maka dari itu, Nasir berupaya membicarakan dengan pimpinan fraksinya agar menentukan sikap menghentikan pembahasan. “Saya akan minta pembahasan distop dan dilakukan periode ke depan. Mudah-mudahan pimpinan DPR, Panja, Pansus punya kesadaran diri, karena waktunya beberapa hari lagi waktu tidak cukup,” ujar anggota Komisi III itu di ruang Fraksi PKS.

Ketua Fraksi Hanura, Sarifuddin Sudding berpandangan idealnya RUU Advokat disinkronisasikan dengan RKUHAP dan RKUHP. Menjadi persoalan, RKUHAP dan RKUHP yang menjadi inisiatif pemerintah itu tidak ditarik dari pembahasan. Padahal, Sudding sudah berulang kali meminta pemerintah agar menarik RKUHAP dan RKUHP dari Prolegnas. Setidaknya, jika tetap ingin dilakukan pembahasan, RKUHAP dan RKUHP terlebih dahulu yang diselesaikan. Pasalnya, RKUHAP dan RKUHP bersentuhan dengan RUU Advokat.

Sudding yang tercatat sebagai Ketua Panja RUU Advokat itu menampik terlibat dalam pembuatan RUU sedari di Badan Legislasi. Memang, kala ia duduk di Baleg, terdapat dorongan kuat agar UU Advokat dilakukan revisi. Padahal, kata Sudding, UU No.18 Tahun 2003 dinilai masih relevan.

“Dan tidak ada urgensi mendesak. Kemudian masuk Prolegnas, dan saya sudah tidak di Baleg, kemudian dibentuk Pansus dan jadi dinamika yang tinggi, tapi ini amanat konstitusi,” ujar angggota Komisi III itu.

Anggota Fraksi PDIP, Sayyed Muhammad menambahkan RUU Advokat merupakan hak inisiatif DPR. Fraksinya membuka ruang bagi seluruh elemen masyarakat agar memberikan masukkan, termasuk PERADI yang telah ditampung. Sayeed tak menampik sejumlah persoalan menjadi soroan PERADI, termasuk DAN, sistem single dan multi bar.

Menyikapi sejumlah keluhan PERADI dan organsiasi advokat lainnya, PDIP prinsipnya berupaya memperkuat organisasi advokat. Pasalnya, advokat merupakan pilar penegak hukum. “Jangan sampai UU ini justru men-down grade organisasi advokat,” ujarnya.

Menurut Wakil Ketua Pansus RUU Advokat ini, organisasi advokat sejatinya melahirkan advokat yang berkualitas dan bermutu. Itu sebabnya, perlu penguatan organisasi advokat agar dalam melakukan rekruitmen melalui standar bermutu. Sebab, baik tidaknya kualitas advokat amatlah bergantung dari seleksi dan ujian yang dilakukan oleh organisasi advokat. Dengan begitu, akan berdampak pula bagi mereka masyarakat pencari keadilan.

“Pada intinya, RUU ini untuk memperkuat jangan memperlemah,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait