Tolak RUU Cipta Kerja, Koalisi Serukan Aksi Nasional
Utama

Tolak RUU Cipta Kerja, Koalisi Serukan Aksi Nasional

RUU Cipta Kerja dinilai bukan hanya merugikan buruh, tapi juga elemen masyarakat lainnya seperti petani, nelayan, dan masyarakat hukum adat. Aksi demonstrasi nasional akan dilakukan 6-8 Oktober 2020 di berbagai daerah.

Oleh:
Ady Thea DA
Bacaan 5 Menit
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol
Ilustrasi pembahasan RUU. Hol

Pemerintah dan DPR telah menyelesaikan pembahasan RUU Cipta Kerja (tingkat I), Sabtu (3/10/2020) malam. Selanjutnya, RUU akan disampaikan dalam rapat paripurna DPR untuk disahkan menjadi UU. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, mengatakan RUU Cipta Kerja berguna untuk mendorong pemulihan ekonomi nasional dan membawa Indonesia memasuki era baru perekonomian global untuk mewujudkan masyarakat yang makmur, sejahtera, dan berkeadilan.

“RUU Cipta Kerja akan mendorong reformasi regulasi dan debirokratisasi, sehingga pelayanan pemerintahan akan lebih efisien, mudah, dan pasti, dengan adanya penerapan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) dan penggunaan sistem elektronik," ujar Airlangga sebagaimana dikutip ekon.go.id, Minggu (4/10/2020). (Baca Juga: Penyelesaian Konflik Tata Ruang Bakal Diatur Lewat RUU Cipta Kerja)

Ketua Umum Partai Golkar itu menegaskan RUU Cipta Kerja untuk menyelesaikan berbagai masalah yang menghambat peningkatan investasi dan pembukaan lapangan kerja. Upaya itu dilakukan diantaranya melalui penyederhanaan sistem birokrasi dan perizinan; kemudahan bagi pelaku usaha terutama UMKM; ekosistem investasi yang kondusif; hingga penciptaan lapangan kerja untuk menjawab kebutuhan angkatan kerja yang terus bertambah.

Terkait perlindungan buruh, Airlangga menjelaskan RUU Cipta Kerja mengatur antara lain menjamin kepastian dalam pemberian pesangon. Terkait pesangon, RUU Cipta Kerja mengamanatkan pelaksanaan program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). “Program ini diklaim tidak mengurangi manfaat program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP), serta tidak menambah beban iuran dari pekerja atau pengusaha,” bebernya.

Airlangga menerangkan manfaat program JKP, antara lain uang tunai, upskilling dan upgrading, akses ke pasar tenaga kerja, sehingga bisa mendapatkan pekerjaan baru atau membuka usaha. Mekanisme pemutusan hubungan kerja (PHK) mengikuti persyaratan yang diatur UU No.13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dia juga menyebut RUU Cipta Kerja tidak menghilangkan hak cuti haid dan cuti melahirkan sebagaimana diatur UU No.13 Tahun 2003.

Ada beberapa hal pokok yang mengemuka dan disepakati dalam RUU Cipta Kerja dalam rapat Panja antara lain, sebagai berikut:

  1. Penataan dan perbaikan sistem perizinan berusaha berdasarkan sistem pemerintahan presidensial sebagaimana dianut dalam UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
  2. Pemerintah Daerah (Pemda) turut serta dalam mewujudkan keberhasilan cipta kerja. Karena itu, kewenangan Pemda tetap dipertahankan sesuai dengan asas otonomi daerah dalam bingkai NKRI. Pelaksanaan kewenangan Pemda sesuai dengan Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat;
  3. Konsep RBA (Risk Based Approach) menjadi dasar dan menjiwai RUU tentang Cipta Kerja serta sistem perizinan berusaha berbasis elektronik;
  4. Kebijakan kemudahan berusaha, untuk semua pelaku usaha, mulai dari UMKM, Koperasi sampai usaha besar. Penguatan kelembagaan UMKM dan Koperasi melalui berbagai kemudahan dan fasilitas berusaha;
  5. Kebijakan pengintegrasian satu peta nasional, yang meliputi wilayah darat dan laut;
  6. Pengaturan mengenai perlindungan dan kepastian hukum bagi tenaga kerja/buruh dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat;
  7. Pengaturan mengenai kebijakan kemudahan berusaha di Kawasan Ekonomi (Khusus), pelaksanaan investasi pemerintah pusat dan proyek strategis nasional, serta pelayanan administrasi pemerintahan untuk memudahkan prosedur birokrasi dalam rangka cipta kerja.

Tapi berbagai serikat buruh tetap menolak hasil pembahasan RUU Cipta Kerja oleh pemerintah dan DPR termasuk DPD. Serikat buruh, organisasi petani, nelayan dan masyarakat sipil yang tergabung dalam berbagai Koalisi seperti Gerakan Buruh Bersama Rakyat (Gebrak), dan Gerakan Tolak Omnibus Law (Getol) berencana menggelar demonstrasi besar di berbagai daerah pada 6-8 Oktober 2020.

Ketua Umum KASBI, Nining Elitos, mengatakan seruan demonstrasi nasional ini dipicu sikap DPR dan pemerintah karena tidak mau mendengarkan aspirasi masyarakat. Terbukti, pembahasan RUU Cipta Kerja yang terus dilakukan di tengah pandemi Covid-19 yang belum tuntas. Hasil sidang pengambilan keputusan tingkat I di DPR, Sabtu (3/10) menghasilkan 7 fraksi menyetujui dan 2 fraksi lainnya yakni Demokrat dan PKS menolak RUU Cipta Kerja. 

Nining menilai RUU Cipta Kerja layak ditolak karena merugikan seluruh elemen masyarakat. “Kami menolak RUU Cipta Kerja, bukan hanya klaster ketenagakerjaan, tapi seluruhnya. Sebab, tak hanya merugikan buruh, tapi juga petani, nelayan, masyarakat hukum adat, pemuda, pelajar, mahasiswa, miskin kota, dan minoritas lainnya,” kata Nining dalam konferensi pers secara daring, Minggu (4/10/2020).

Sekjen Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Dewi Kartika, mencatat kendati pandemi belum berakhir dan penerapan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di sejumlah daerah, tapi penggusuran dan penangkapan terhadap petani terus terjadi. Bahkan petani dilarang menyampaikan aspirasi kepada DPR dalam rangka memperingati Hari Tani Nasional pada 24 September 2020 lalu.

Menurut Dewi, persoalan yang dihadapi petani dan program reforma agraria semakin terancam jika RUU Cipta Kerja disahkan. Misalnya, RUU Cipta Kerja mengamanatkan pembentukan bank tanah. Pengaturan ini sangat bertentangan dengan konsep reforma agraria. Menurutnya, tidak mungkin kebutuhan tanah untuk reforma agraria disandingkan dengan kebutuhan tanah bagi investor dan pemilik modal.

“Saya mengajak seluruh komponen masyarakat untuk mulai melakukan persiapan menuju demonstrasi serentak 6-8 Oktober 2020,” ajaknya.

Direktur LBH Jakarta, Arif Maulana, mengatakan sejak awal Koalisi menolak RUU Cipta Kerja karena cacat formil dan materil. RUU Cipta Kerja berdampak terhadap seluruh aspek kehidupan masyarakat seperti buruh, petani, nelayan, pelajar, mahasiswa, bahkan ibu rumah tangga. Penyusunan RUU Cipta Kerja sejak awal tidak terbuka bagi publik.

Arif berpendapat pemerintah dan DPR telah melakukan pengkhianatan dalam membentuk peraturan perundang-undangan karena pembahasan dilakukan tiba-tiba. Kemudian disahkan dalam waktu cepat seperti revisi UU KPK, dan UU Minerba. Hasil kedua beleid itu pun jauh dari harapan publik.

Arif yakin hal serupa juga akan terjadi dalam proses pengesahan RUU Cipta Kerja. Menurut Arif, kebiasaan buruk dalam membentuk peraturan perundang-undangan ini harus dibenahi. “Padahal disebut sebagai negara hukum dan demokrasi, tapi praktiknya oligarki yang berkuasa,” kritiknya.

Serikat buruh yang tergabung dalam KSPI juga menolak RUU Cipta Kerja yang telah selesai dibahas pemerintah dan DPR itu. Presiden KSPI, Said Iqbal, mengatakan organsasinya akan menggelar aksi nasional dengan istilah mogok nasional tanggal 6-8 Oktober 2020. “Buruh tidak akan pernah berhenti melawan dan menolak RUU Cipta Kerja yang merugikan buruh dan rakyat kecil,” dalam keterangannya, Minggu (4/10/2020).

Presiden KSBSI, Elly Rosita, mengatakan pihaknya akan melihat apa isi RUU Cipta Kerja yang selesai dibahas pemerintah dan DPR itu. Jika isinya nanti tidak mengakomodir kepentingan buruh yang selama ini diperjuangkan, KSBSI akan melakukan aksi nasional tanggal 6-8 Oktober 2020.

Tapi, dia mengingatkan jangan sampai gerakan buruh ditunggangi kepentingan politik praktis karena dia melihat ada ormas, partai politik yang menyatakan dukungan terhadap aksi buruh pada 6-8 Oktober 2020 nanti. “Kami akan menolak kalau RUU yang disahkan tidak mengakomodir hak-hak buruh yang kami perjuangkan,” tegasnya.

Tags:

Berita Terkait