Tragedi Akibat Kekuasaan yang Koruptif
Kolom

Tragedi Akibat Kekuasaan yang Koruptif

​​​​​​​KPK lahir karena amanat reformasi. Bila sekarang situasinya sebobrok ini, artinya negara telah mengingkari cita-cita reformasi.

Bacaan 4 Menit
Korneles Materay. Foto: Istimewa
Korneles Materay. Foto: Istimewa

Polemik KPK merupakan tragedi. Terlalu naif bagi kita memandang persoalan yang membelit KPK hanya suatu dinamika biasa. Buah pahit hari ini tidak terlepas dari rangkaian grand design pelemahan KPK dan pemberantasan korupsi yang berlangsung kurang lebih tiga dekade lamanya.

Dalam kacamata politik kekuasaan, tragedi ini menunjukan bahwa haluan politik kekuasaan negara berada di titik nadir. Ini sebuah fenomena tatkala politik kepentingan menguat. Tak dimungkiri pemegang kekuasaan negara adalah orang-orang yang berpolitik. Ada yang berpolitik untuk melayani dan menyelesaikan pelbagai persoalan rakyatnya. Ada pula yang berpolitik untuk memastikan penguasaan sumber daya dan pangsa pasarnya tidak dimatikan.

Mengusik Kekuasaan

Korupsi pada hakikatnya penyalahgunaan kekuasaan. Maka, adagium yang dikemukan Lord Acton tepat, powers tend to corrupt absolute powers corrupt absolutely. Pemberantasan korupsi berarti mencegah, menindak, atau membasmi penyalahgunaan kekuasaan. KPK memang mengusik kepentingan penguasa akibatnya sebentar lagi ia menemui ajal seperti pendahulu-pendahulunya. Dalam konteks di Indonesia, ada preseden yang penting untuk mempelajari politik kekuasaan terhadap pemberantasan korupsi.

Bila ditelisik secara historik, sejak era Orde Lama, Orde Baru, hingga Orde Reformasi yang sementara berjalan, setidaknya ada 10 badan antikorupsi yang dibentuk dan diakui pemerintah menjalankan fungsi pencegahan dan pemberantasan korupsi. Zaman Presiden Soekarno, terbentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan), Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran), Operasi Budhi, dan Komando Tertinggi Retooling Aparat Revolusi (KOTRAR). Zaman Presiden Soeharto dikenal Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Komite Empat, Komite Anti Korupsi (KAK), dan Tim Operasi Ketertiban (Opstib). Zaman Presiden Habibie ada Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN). Zaman Presiden Gus Dur dibentuk Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK).

Sejarah mencatat kematian lembaga-lembaga pemberantasan korupsi tersebut karena lemahnya komitmen politik pemerintah/negara. Hal ini dapat berupa dukungan yang terbatas, keengganan untuk menindaklanjuti rekomendasi tim, intervensi langsung ke dalam kerja-kerja tim karena pada faktanya pengusutan korupsi justru dilakukan terhadap orang-orang yang berada dekat dengan kekuasaan, atau penyalahgunaan terhadap badan tersebut untuk kepentingan politik-pragmatis. Bahkan mirisnya pembubaran lembaga didasarkan mengganggu prestise presiden seperti terjadi pada Operasi Budhi. Alasan-alasan membubarkan itu memang sangat politis, karena itu tergantung arah politik negara/pemerintah.

Misalnya, Bapekan dibubarkan kala tengah mengusut kasus korupsi tetapi dianggap tidak diperlukan lagi. Paran dibubarkan karena pembangkangan aparatur negara, sekaligus ini menunjukkan bahwa di tubuh pemerintahan kepatuhan terhadap antikorupsi rendah. Kotrar akibat digunakan sebagai alat politik anggota di dalamnya dan seiring jatuhnya Presiden Soekarno lembaga ini pun turut lenyap.

Dalam kasus lembaga-lembaga era Orde Baru (TPK, Komite Anti Korupsi, Komite Empat, Opstib), pembubaran lembaga karena intervensi kekuasaan yang kuat dan ketidakmauan untuk memberantas korupsi. Walaupun beberapa lembaga menunjukkan kinerja baik, tetap saja tidak berhasil membawa perubahan.

Selain itu, kedudukan lembaga secara hukum lemah atau rentan untuk dicekoki. Semua lembaga tersebut adalah lembaga eksekutif yang dibentuk atau diakui karena keprihatinan Presiden di zamannya akan maraknya korupsi. Lembaga-lembaga itu tidak independen seperti KPK. Namun, sejarah mungkin saja akan berulang.

Pengingkaran Cita-Cita Reformasi

Kelahiran KPK sejak awal memang merupakan transformasi dari semangat kolektif rakyat Indonesia bahwa korupsi harus diberantas secara luar biasa. KPK ada karena korupsi begitu merugikan masyarakat, bangsa, dan negara. Tak terhingga hak-hak asasi manusia yang dilanggar akibat korupsi.

Bila korupsi tak diberantas, maka pelanggaran hak asasi manusia akan terus-menerus dilakukan terlebih oleh anak-anak bangsa sendiri yang berkuasa atas mengendalikan sumber daya, kebijakan hingga keputusan-keputusan politik. Maka, berangkat dari situasi kebatinan masyarakat kala itu, rasio decidendi pembentukan KPK melalui Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 disebutkan bahwa penegakan hukum untuk memberantas korupsi dengan cara-cara yang konvensional mengalami banyak hambatan.

Menurut Komariah Emong Sapardjaja diundangkannya UU KPK tidaklah terlepas dari politik hukum bangsa dan negara ini untuk melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi dengan lebih baik. Urgensi keberadaan KPK menjadi lebih penting jika dilihat dari sisi sosiologis pemberantasan korupsi. Bangsa ini memerlukan suatu metode yang luar biasa sehingga pelaksanaannya optimal, intensif, efektif, profesional, serta berkesinambungan.

Tatkala hari ini KPK mengalami perubahan yang drastis akibat revisi UU KPK, namun tidak memperoleh legitimasi dari masyarakat, itu permasalahan yang luar biasa. Sebagaimana disebutkan di atas, KPK lahir karena amanat reformasi. Bila sekarang situasinya sebobrok ini, artinya negara telah mengingkari cita-cita reformasi.

Tragedi yang Perlu Diselesaikan

KPK bukti tragedi pemberantasan korupsi. Alih-alih memperkuatnya justru letih lesu jiwa dan raganya. Alih-alih menyelamatkannya malah sedang mengerang nyawa. Tubuh lembaga yang perkasa dan penuh harapan itu kini seolah tak berdaya dan berharga lagi. Kisah memilukan ini akibat komplikasi serangan kelompok kontra pemberantasan korupsi.

Jika mengikuti perkembagan gerakan serangan balik koruptor (corruptor’s fight back), pelbagai serangan koruptor berupa revisi UU KPK, penyanderaan anggaran KPK, sabotase KPK (insiden 5 oktober), penggunaan hak angket, teror/intidimasi/kekerasan terhadap Pimpinan KPK dan para pegawai KPK yang berakhir tanpa kejelasan status proses hukumnya, siapa pelaku, motifnya apa dan seterusnya. Kemudian, framing isu sensitif seperti radikal, Taliban, dan lain-lain yang tidak berdasar. Terakhir, menarget dan menyingkirkan para pegawai KPK melalui Tes Wawasan Kebangsaan.

Namun, semua serangan mendapatkan resistensi dari publik. Masih segar dalam ingatan kita demonstrasi #ReformasiDikorupsi yang melibatkan puluhan ribu mahasiswa, aktivis, hingga akademisi pada tahun 2019 lalu. Dalam kacamata sosiologi pemberantasan korupsi, penolakan itu artinya politik kekuasaan tidak sejalan dengan semangat publik dan cita-cita publik terhadap negara. Hal itu bukti publik masih lebih banyak percaya dan berpihak kepada KPK bahwa perjuangan KPK tidak lain memperjuangan masa depan kolektif yang sedang digerogoti oknum-oknum tak bertangung jawab di kekuasaan.

Pada akhirnya, kematian KPK akibat politik kekuasaan yang tragis apapun perlu pertanggungjawab negara yang dilakukan dengan berani dan transparan. Siapa yang seharusnya mengambil langkah penyelamatan KPK dan agenda-agenda pemberantasan korupsi? Saat ini, hanya Presiden Republik Indonesia yang dapat diharapkan. Kekacauan di KPK harus diselesaikan. Apapun yang bisa dilakukan untuk mendukung KPK dan pemberantasan korupsi sangat diharapkan itu diwujudkan.

*)Korneles Materay, Peneliti Perkumpulan Bung Hatta Anti Corruption Award.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait