Ukuran, Standar dan Nilai, Ditaksir Ulang
Tajuk

Ukuran, Standar dan Nilai, Ditaksir Ulang

Penting bagi para regulator, baik lokal, nasional, regional maupun internasional, memikirkan kembali nilai, ukuran dan standar yang lebih kontekstual dengan kondisi dalam negeri, luar negeri dan hubungan antar negara.

RED
Bacaan 4 Menit

Standar dan nilai tadi bisa sangat melebar kepada kota-kotanya, masyarakatnya, dan warga negaranya. Kita tahu ada kota-kota yang dianggap sebagai kota paling ideal untuk kehidupan warganya. Kita juga baca ada bangsa-bangsa yang dinilai paling bahagia atau paling tidak bahagia kehidupannya. Ada juga bangsa atau masyarakat yang mendapat gambaran atau stereotype rasis, pelit, jorok, terbelakang, kurang beradab, anti modernisasi, kolot, tolol, dan sebagainya.

Nilai, standar dan ukuran yang sudah dianggap baku menjadi diragukan keampuhannya ketika muncul pertanyaan-pertanyaan. Mengapa negara dan pemerintahan yang dinobatkan sebagai negara paling demokratik dan paling menjunjung HAM justru memperlihatkan sikap penegak hukumnya yang rasis, masyarakatnya anti pendatang, dan pemerintahnya menyebarkan perang dagang, memasok senjata pembunuh kepada banyak negara lain dan melakukan embargo besar-besaran terhadap negara-negara yang rakyatnya menderita kelaparan dan sakit kekurangan pangan dan obat-obatan?

Mengapa negara yang diakui paling bersih dari indeks persepsi korupsi global bersikap tutup mata terhadap sistem perbankannya yang menampung hasil korupsi, perdagangan senjata pembunuh, perdagangan manusia, dan bahkan mungkin obat-obat berbahaya dan narkotika? Mengapa negara yang sistem hukumnya sarat dengan aturan anti korupsi dan hukuman mati untuk koruptor justru dinilai buruk dalam menerapkan aturan tersebut terhadap para koruptornya?

Pertanyaan bisa berlanjut. Mengapa masyarakat yang katanya menjunjung HAM tetapi membedakan perlakuan terhadap pengungsi berdasarkan warna kulitnya? Mengapa masyarakat yang katanya membenci korupsi justru memperlakukan para koruptor dengan sangat baik? Mengapa masyarakat yang dikenal sangat ramah bisa dicatat sebagai masyarakat yang paling brutal dan kejam komentarnya dalam melakukan interaksi media sosial?

Demikianlah, nilai atau standar serta ukuran dari ketertiban, keadilan, kemanusiaan, etika, tingkah laku, kesopanan, tenggang rasa, keberagaman, empati, gotong-royong, kerja sama, governansi, kebersamaan, partisipasi publik, kemajuan dan kemunduran serta banyak lainnya menjadi terdistorsi, melenceng dan diterapkan dengan plin-plan, serta digunakan berdasarkan kepentingan-kepentingan sesaat dan sempit.

Dalam tata kehidupan dan suasana demikian, maka menjadi penting bahwa para regulator, baik lokal, nasional, regional maupun internasional, memikirkan kembali nilai, ukuran dan standar yang lebih kontekstual dengan kondisi dalam negeri, luar negeri dan hubungan antar negara.

 Mereka diharapkan mampu membentuk regulasi dan aturan main yang lebih adil, solid, mudah dimengerti dan tidak mendua, karena itu akan menjadi pegangan siapapun. Penegak hukum perlu memahami intensi baik pembentuk regulasi. Pemutus perkara sebagai wakil Tuhan di dunia selalu harus melihat kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Dan masyarakat, di manapun, tidak boleh pernah berhenti menjadi pengawas yang rajin mengkritisi dengan menggunakan akal sehat dan nurani, tidak dengan saling melontarkan kebencian.

Ats - Telaga Indah, Juli 2022

Tags:

Berita Terkait