Ukuran, Standar dan Nilai, Ditaksir Ulang
Tajuk

Ukuran, Standar dan Nilai, Ditaksir Ulang

Penting bagi para regulator, baik lokal, nasional, regional maupun internasional, memikirkan kembali nilai, ukuran dan standar yang lebih kontekstual dengan kondisi dalam negeri, luar negeri dan hubungan antar negara.

RED
Bacaan 4 Menit
Ukuran, Standar dan Nilai, Ditaksir Ulang
Hukumonline

Dunia dan segala aspek kehidupan di dalamnya banyak diatur dan ditentukan oleh berbagai ukuran, standar atau penilaian. Kualitatif, kuantitatif, perseptif, framework, adil, etis, serta ukuran dan standar nilai lainnya. Ukuran dan standar tersebut menentukan banyak aspek kehidupan negara, bangsa, kelompok masyarakat dan individu di dalamnya. Bahkan suatu negara bisa dihukum, dikucilkan, dan dianggap pariah oleh mayoritas negara sedunia, bisa-bisa selama puluhan tahun, atas nama kedamaian dan ketertiban dunia, karena penguasa negara tadi dinilai tidak taat nilai moral yang dianggap merupakan standar dunia yang ditentukan oleh segelintir negara adikuasa.

Kalau suatu negara dihukum (Iran, Irak, Korea Utara, Kuba, Venezuela, Libya, Suriah, Afghanistan, Jerman, Jepang, China, Rusia dan lain-lain), bukan tidak mungkin, dan bahkan kerap terjadi, bangsa, kelompok masyarakat dan semua warganya ikut menjadi terhukum. Padahal dengan ukuran apapun bangsa, kelompok masyarakat dan warganya tadi tidak ikut serta dalam keputusan penguasa negaranya. Padahal juga, keputusan negaranya hanya dilakukan seorang diktator atau segelintir elit politik, berdasarkan ukuran dan standar yang menurut ukuran mereka sendiri telah diambil berdasarkan prinsip-prinsip demokratik.

Suatu bangsa juga bisa dihukum. Sekelompok masyarakat juga bisa dihukum. Segelintir atau seseorang juga bisa dihukum. Bahkan pemikiran dan pendapat politik, dan ekspresi seni juga bisa dihukum, berdampak sampai anak cucu, atas nama ukuran, standar dan nilai-nilai tadi. Ukuran, nilai dan standar menjadi lebih abstrak lagi, sensitif dan bisa berbahaya ketika nilai yang diberlakukan memasuki ranah nilai keagamaan, nilai kebangsaan, keunggulan ras, etnik, sosial, budaya, dan ideologi politik, yang dipercaya sebagai yang paling murni, paling asli dan paling benar, dan kudu digugu oleh sisa dunia yang bahkan asing atau tidak pernah jadi bagian dari ukuran, standar dan nilai-nilai tadi.

Selalu saja ada pemikir besar sepanjang sejarah umat manusia yang melontarkan ide bahwa seharusnya ada suatu perangkat ukuran, nilai atau standar yang secara universal berlaku di semua negara, masyarakat dan kehidupan umat manusia. Sebagian merupakan pemikiran para penerima hadiah Nobel. Sebagian lainnya negarawan, hakim, jaksa, polisi, akademikus, cendekiawan, ustadz, pastor, bhikkhu atau bahkan seorang tokoh masyarakat tingkat desa melalui berbagai macam forum dan media. Pemikiran mereka masuk ke dalam kitab-kitab tafsir agama, konstitusi, konvensi dan perjanjian internasional, peraturan perundangan, buku-buku tebal (hornbooks), stensilan yang beredar di banyak masjid, gereja, kuil, dan kelenteng, bahkan buku-buku komik yang dibaca oleh segala umur.

Ketika kita memasuki era “the internet of things”, maka forumnya menjadi tidak terbatas, memasuki setiap celah ruang dan waktu, siapa saja, di mana saja, dalam hitungan sepersekian detik menjadi terinformasi, dengan dampak baik maupun buruk. Pengaruhnya sudah bisa dibayangkan luar biasa. Karena inilah yang menjadi standar, ukuran dan nilai yang digunakan untuk mengatur dan bahkan menilai diri sendiri, masyarakat sendiri, negara sendiri, dan bahkan negara lain, orang lain dan masyarakat lain di luar kata “kita”. Nilai dan standar yang sudah dianggap baku dan harga matipun masih melentur dengan berbagai tafsir, yang bergerak naik turun, demi masa dan tuntutan generasi yang berganti.

Ukuran, standar dan nilai bergerak dalam suatu spektrum yang sangat luas. Negara bisa diukur sebagai negara maju, berkembang dan terbelakang. Negara bisa dinilai sebagai negara kaya, negara sejahtera, negara gagal, atau negara miskin. Negara bisa dinilai sebagai negara yang liberal, konservatif, demokratik, otokratik, dan militeristik. Negara juga bisa diukur dari governansi yang tinggi, bersih, dan kotor.

Lanjut lagi, negara bisa dinilai dari tingkat keterbukaannya terhadap investasi asing, bahkan bisa dinilai anti investasi, anti asing, over-regulated, dan bahkan negara yang ngawur dan tidak konsisten dengan kebijakan investasinya. Negara juga bisa dinilai dari tingkat konsistensi menjaga lingkungannya, atau justru merusak lingkungannya, demi tingkat dan laju pertumbuhan ekonominya.

Standar dan nilai tadi bisa sangat melebar kepada kota-kotanya, masyarakatnya, dan warga negaranya. Kita tahu ada kota-kota yang dianggap sebagai kota paling ideal untuk kehidupan warganya. Kita juga baca ada bangsa-bangsa yang dinilai paling bahagia atau paling tidak bahagia kehidupannya. Ada juga bangsa atau masyarakat yang mendapat gambaran atau stereotype rasis, pelit, jorok, terbelakang, kurang beradab, anti modernisasi, kolot, tolol, dan sebagainya.

Nilai, standar dan ukuran yang sudah dianggap baku menjadi diragukan keampuhannya ketika muncul pertanyaan-pertanyaan. Mengapa negara dan pemerintahan yang dinobatkan sebagai negara paling demokratik dan paling menjunjung HAM justru memperlihatkan sikap penegak hukumnya yang rasis, masyarakatnya anti pendatang, dan pemerintahnya menyebarkan perang dagang, memasok senjata pembunuh kepada banyak negara lain dan melakukan embargo besar-besaran terhadap negara-negara yang rakyatnya menderita kelaparan dan sakit kekurangan pangan dan obat-obatan?

Mengapa negara yang diakui paling bersih dari indeks persepsi korupsi global bersikap tutup mata terhadap sistem perbankannya yang menampung hasil korupsi, perdagangan senjata pembunuh, perdagangan manusia, dan bahkan mungkin obat-obat berbahaya dan narkotika? Mengapa negara yang sistem hukumnya sarat dengan aturan anti korupsi dan hukuman mati untuk koruptor justru dinilai buruk dalam menerapkan aturan tersebut terhadap para koruptornya?

Pertanyaan bisa berlanjut. Mengapa masyarakat yang katanya menjunjung HAM tetapi membedakan perlakuan terhadap pengungsi berdasarkan warna kulitnya? Mengapa masyarakat yang katanya membenci korupsi justru memperlakukan para koruptor dengan sangat baik? Mengapa masyarakat yang dikenal sangat ramah bisa dicatat sebagai masyarakat yang paling brutal dan kejam komentarnya dalam melakukan interaksi media sosial?

Demikianlah, nilai atau standar serta ukuran dari ketertiban, keadilan, kemanusiaan, etika, tingkah laku, kesopanan, tenggang rasa, keberagaman, empati, gotong-royong, kerja sama, governansi, kebersamaan, partisipasi publik, kemajuan dan kemunduran serta banyak lainnya menjadi terdistorsi, melenceng dan diterapkan dengan plin-plan, serta digunakan berdasarkan kepentingan-kepentingan sesaat dan sempit.

Dalam tata kehidupan dan suasana demikian, maka menjadi penting bahwa para regulator, baik lokal, nasional, regional maupun internasional, memikirkan kembali nilai, ukuran dan standar yang lebih kontekstual dengan kondisi dalam negeri, luar negeri dan hubungan antar negara.

 Mereka diharapkan mampu membentuk regulasi dan aturan main yang lebih adil, solid, mudah dimengerti dan tidak mendua, karena itu akan menjadi pegangan siapapun. Penegak hukum perlu memahami intensi baik pembentuk regulasi. Pemutus perkara sebagai wakil Tuhan di dunia selalu harus melihat kepentingan-kepentingan yang lebih besar. Dan masyarakat, di manapun, tidak boleh pernah berhenti menjadi pengawas yang rajin mengkritisi dengan menggunakan akal sehat dan nurani, tidak dengan saling melontarkan kebencian.

Ats - Telaga Indah, Juli 2022

Tags:

Berita Terkait