Urgensi Pembentukan Tim Pemburu Koruptor, Ini Kata Netijen Hukumonline
Polling:

Urgensi Pembentukan Tim Pemburu Koruptor, Ini Kata Netijen Hukumonline

​​​​​​​Hasilnya, netijen merasa perlu dibentuk kembali Tim Pemburu Koruptor lantaran tim yang lalu tak berjalan efektif dan perlu ada beberapa penguatan agar penangkapan buronan bisa efektif.

Aji Prasetyo
Bacaan 2 Menit
Urgensi Pembentukan Tim Pemburu Koruptor, Ini Kata Netijen Hukumonline
Hukumonline

Penangkapan buronan Maria Pauline Lumowa, pembobol BNI serta masuknya Djoko Tjandra, buron kasus hak tagih (cessie) Bank Bali ke wilayah Indonesia menjadi ‘penyemangat’ Pemerintah untuk kembali menghidupkan Tim Pemburu Koruptor (TPK). Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD mengatakan, TPK tersebut nantinya bertugas untuk mengejar para pelaku tindak pidana korupsi yang masih buron.

Sebagaimana diketahui, TPK pernah dibentuk Pemerintah pada 2002 lalu. Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), pasca delapan tahun dibentuk, faktanya tim ini hanya berhasil menangkap empat buronan dari 16 target penangkapan. Selain itu, evaluasi terhadap tim ini juga tidak pernah dipublikasikan oleh Pemerintah.

Untuk mengetahui urgensi pembentukan TPK, Hukumonline membuka polling melalui Instagram Story Hukumonline yang bisa diakses selama 24 jam oleh para netijen, Jumat (24/7) kemarin. Polling tersebut dibagi atas tiga bagian atau pertanyaan yang bisa dijawab dengan pilihan maupun jawaban terbuka. (Baca: Menyoal Pembentukan Tim Pemburu Koruptor, Efektifkah?)

Untuk bagian pertama, pertanyaan mengenai perlu tidaknya pembentukan TPK yang tengah diwacanakan oleh Pemerintah. Dalam polling ini terbagi atas tiga jawaban dengan total jawaban sebanyak 1689 orang. Dari total jawaban tersebut, sebanyak 1193 orang menjawab setuju, 371 orang menjawab tidak setuju pembentukan TPK dan sebanyak 125 orang tidak tahu.

Hukumonline.com

Sedangkan pada pertanyaan kedua, mengenai seberapa efektif keberadaan TPK yang pernah dibentuk Pemerintah. Total jawaban untuk pertanyaan ini sebanyak 1570 netijen. Rinciannya, sebanyak 363 netijen menjawab efektif, lalu sebanyak 963 netijen menjawab tidak efektif dan 244 netijen menjawab tidak tahu.

Hukumonline.com

Menariknya, dalam bagian pertanyaan polling ketiga, jawaban netijen bersifat terbuka. Artinya, dari pertanyaan apa yang harus dilakukan agar efektif menangkap buronan baik ada tidaknya TPK, netijen menjawab hal yang beragam. Jika diklasifikasikan, terdapat 13 kelompok jawaban pada pertanyaan ini.

Total netijen yang menjawab pada bagian ketiga ini berjumlah 197 orang. Dengan jawaban terbanyak adalah perbakan Sumber Daya Manusia (SDM) dan sistem di lembaga penegak hukum dengan jumlah 40 netijen yang menjawab. Di urutan kedua, jawaban memperkuat koordinasi antar lembaga penegak hukum yang dijawab oleh 31 netijen.

Pada urutan ketiga adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi dengan jumlah 28 netijen yang menjawab. Sedangkan di urutan keempat, sebanyak 25 netijen menjawab tidak tahu. Lalu, terdapat 19 netijen menjawab perlu ada kewenangan khusus bagi TPK.

Urutan keenam, adalah memperbaiki Kebijakan Hukum dengan jumlah 13 netijen. Urutan ketujuh adalah perbaiki dan pertegas sistem penyelidikan dengan jumlah 13 netijen yang menjawab. Urutan kedelapan, pemberian sanksi tegas kepada para koruptor seperti hukuman mati dan lain-lain dengan total 9 netijen menjawab hal ini.

Kemudian, jawaban menyita aset koruptor sebanyak 8 netijen. Urutan kesepuluh adalah memperkuat intelijen dengan total 7 netijen menjawab ini. Lalu, memperbaiki kebijakan dan kondisi ekonomi sebanyak 2 netijen yang menjawab. Dan terakhir, memperkuat Kejaksaan dan Kepolisian masing-masing 1 netijen yang menjawab pada kelompok ini.

Hukumonline.com

Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Prof. Topo Santoso menilai, rencana pembentukan kembali TPK oleh Pemerintah perlu diiringi dengan evaluasi mendalam terhadap kinerja dan efektivitas TPK sebelumnya. Hal ini penting mengingat, pembentukan TPK ke depan dapat belajar dari kekurangan maupun kelebihan TPK yang pernah dibentuk sebelumnya.

“Sepanjang ada dasar hukum yang kuat, ada evaluasi dari TPK sebelumnya, tidak tumpang tindih dengan lembaga atau tim lainnya, ada analisis cost and benefitnya, ada kontrol dan pertanggungjawabannya ya boleh-boleh aja dibentuk,” kata Topo kepada Hukumonline, Rabu (28/7). (Baca: Rekam Jejak Tim Pemburu Koruptor yang Akan Dihidupkan Menkopolhukam)

Setelah dibentuk, lanjut Topo, TPK juga perlu dievaluasi secara berkala sehingga perbaikan dapat dilakukan secepatnya. Menurutnya ada beberapa hal yang perlu masuk dalam evaluasi berkala ini, yakni antara target dengan capaian TPK, apakah pembentukan TPK menimbulkan persoalan baru dalam sistem peradilan pidana, apakah pembentukan TPK ini efisien secara cost and benefitnya dan apakah due process of law-nya terpenuhi atau tidak.

Tags:

Berita Terkait