Urgensi Revisi UU Kepailitan di Tengah Melonjaknya Perkara PKPU
Edisi Khusus: Tren Perkara Kepailitan dan PKPU 2023

Urgensi Revisi UU Kepailitan di Tengah Melonjaknya Perkara PKPU

Tren perkara PKPU saat ini tidak lepas dari imbas Covid-19 di tahun 2021, di mana perkara PKPU yang masuk ke pengadilan niaga ketika itu bisa dibilang tertinggi dalam sejarah Indonesia.

M. Agus Yozami/Ferinda K Fachri
Bacaan 4 Menit

“Untuk prioritaskan RUU Hukum Acara Perdata kita, karena itu sebagai bagian penting dalam sistem penegakan hukum perdata. Itulah mungkin kenapa orang lebih memilih PKPU, mungkin dia merasa lebih pasti, lebih cepat, lebih terukur. Sementara perdata kita dalam anggapan orang mungkin lebih panjang. Padahal belum tentu,” ujar Bobby yang juga praktisi PKPU dan Kepailitan kepada Hukumonline.

Pasalnya berbeda dengan hukum acara perdata, UU Kepailitan dan PKPU secara tegas dan jelas memberikan jangka waktu PKPU. “Mungkin kalau ada terobosan bisa jadi orang akan memilih sistem keperdataan lagi,” imbuhnya.

Sehubung dengan UU Kepailitan dan PKPU sendiri yang sampai sekarang belum kunjung direvisi, Bobby mengaku mengetahui perkembangan diskusi pembahasannya telah intens dilakukan. Mulai dari pembahasan ragam pasal hingga daftar inventarisasi masalah dilakukan dengan melibatkan sejumlah organisasi kurator dan pengurus.

“Kita tunggu lah revisinya sampai sejauh mana, karena memang ada beberapa hal yang krusial. Seperti minimum utang untuk dapat diajukan sebagai dasar pemohonan. Itu sudah ada saya lihat di drafnya. Arahnya sih positif ya, tapi mungkin karena ini sudah menjelang Pemilu, jadi mungkin di periode berikutnya kita bisa dapat gambaran jelasnya. Tapi drafnya kita sudah pernah baca dan lihat,” ucap Bobby menerangkan.

Ranto Simanjuntak ketika dikukuhkan sebagai Doktor Ilmu Hukum Universitas Pelita Harapan (UPH) beberapa waktu lalu berpendapat, penguatan regulasi kepailitan dan PKPU dapat dicapai dengan sejumlah cara antara lain revisi atau pembaruan komprehensif atas UU Kepailitan dan PKPU agar benar-benar menjadi instrumen hukum yang efektif menyelesaikan utang-piutang secara adil dan seimbang. 

“Kemudian memberikan perlindungan hukum kepada kurator agar dapat melakukan tugas profesinya dengan rasa aman dan bertanggung jawab, baik secara perdata maupun pidana (bila melakukan kesalahan atau kelalaian yang merugikan harta pailit),” katanya.

Tags:

Berita Terkait