UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out Sebagai Alat Bukti
Berita

UU ITE Jadi Payung Hukum Print Out Sebagai Alat Bukti

Walaupun informasi elektronik sebagai alat bukti sudah diakui legalitasnya, keberlakuannya terbatas pada tindak pidana tertentu.

Mys
Bacaan 2 Menit

 

Arief Indra Kusuma Adhi menceritakan pengalaman dan pengamatannya. Jaksa pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana umum ini mengatakan ada dua pilihan yang sering dipakai, dikategorikan sebagai alat bukti surat, atau dikualifisir sebagai alat bukti petunjuk.

 

Dijelaskan Arief, informasi elektronik menjadi alat bukti surat jika informasi elektronik itu diubah dalam bentuk cetak. Lalu, ia menjadi alat bukti petunjuk apabila informasi elektronik itu ada keterkaitan dengan alat bukti lain dan semua kekuatan alat bukti tersebut bebas. Dalam arti tetap dikaitkan dengan alat bukti lain dan menurut keyakinan hakim, selain kemampuan jaksa meyakinkan hakim.

 

Dengan kata lain, kekuatan alat bukti tersebut sangat tergantung pada keyakinan hakim sebagai pemutus perkara. Di lapangan, ada yang mempersoalkan legalitasnya, tetapi ada juga yang menerima. Alat bukti elektronik tetap menjadi sesuatu yang debateble hingga UU ITE lahir, ujar Arief. Yang dimaksud Arief adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

 

Brian A. Prastyo menegaskan UU ITE telah mempertegas print out sebagai alat bukti. Ia menunjuk pada 5 ayat (1), dimana dirumuskan: informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. Selain itu, UU ITE telah mengatur tata cara perolehan informasi elektronik sebagai alat bukti (pasal 43 ayat 3) dan tata cara pengajuan informasi elektronik sebagai alat bukti (pasal 5 ayat 3 jo pasal 16).

 

Menurut Brian, UU ITE memiliki tiga keuntungan yaitu lebih memberikan kepastian hukum, lingkup keberlakuannya lebih luas, dan lebih harmonis dengan lingkungan internasional.

 

Tags: