UU KPK Terbukti Menghambat Kinerja Pemberantasan Korupsi
Kolom

UU KPK Terbukti Menghambat Kinerja Pemberantasan Korupsi

Solusi terbaik untuk mencegah kegagalan penegakan hukum korupsi dalam jangka panjang adalah pembatalan UU KPK.

Bacaan 2 Menit

 

Apa yang dilakukan petugas keamanan itu, barangkali menghambat proses hukum dan tentu saja melindungi Hasto. Di samping itu, menjadi pertanyaan tersendiri pula, mengapa Hasto tidak saja ditetapkan sebagai tersangka jika bukti permulaan telah cukup keterlibatannya dalam kasus ini? Apakah telah berlangsung impunitas dalam kasus ini dilakukan baik oleh aparat keamanan juga Pimpinan KPK? Semoga tidak.

 

Pembatalan UU

Menurut hemat Penulis, solusi terbaik untuk mencegah kegagalan penegakan hukum korupsi dalam jangka panjang ke depan berkaca dari dua praktik OTT ini adalah pembatalan UU No. 19 Tahun 2019. Pembatalan UU bisa dilakukan melalui dua hal. Pertama, Perppu KPK. Perppu yang menjadi wilayah kekuasaan Presiden bisa dilakukan untuk jangka pendek. Oleh karena, Perppu akan melalui mekanisme persetujuan DPR. Kedua, pembatalan melalui mekanisme uji materiil.

 

Saat ini, UU tersebut sedang dilakukan uji materiil di Mahkamah Konstitusi. Ada begitu cukup alasan bagi majelis hakim konstitusi untuk membatalkan UU tersebut. UU ini lahir dari kesewenang-wenangan pembentuk UU yakni Pemerintah dan DPR untuk melindungi diri dari jeratan rasuah. Alih-alih untuk membenahi KPK, malah mengakibatkan kesemrawutan penegakan hukum. Penulis dalam tulisan berjudul “Perppu yang Menyelamatkan” telah menjabarkan kekurangan dari revisi UU KPK. (Baca: Perppu yang Menyelamatkan)

 

Pertama, dari sisi konteks politik, revisi UU KPK semacam proyek kolektif DPR dan Pemerintah dalam rangka melemahkan KPK dan mengerdilkan pemberantasan korupsi kita. Kedua, secara norma prosedur pembentukan undang-undang, sejumlah pelanggaran telah terbukti dilakukan pembentuk undang-undang sendiri yakni: (1) RUU KPK yang dibahas tidak melalui Prolegnas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan; (2) Kurang partisipatif selama proses pembahasan berlangsung. Hal ini bertentangan dengan norma Pasal 96 UU tersebut; dan (3) Pengambilan keputusan tidak kuorum.

 

Ketiga, muatan materi UU KPK tidak berorientasi pada kebutuhan pemberantasan korupsi di Indonesia. Pasca disahkan, UU ini mengafirmasi sendiri problem substansialnya dari semua sisi/aspek penanggulangan korupsi, antara lain: KPK bukan lembaga independen; pegawai KPK berstatus ASN; Dewan Pengawas punya kewenangan besar daripada pimpinan KPK, penyadapan, penggeledahan, penyitaan harus izin Dewan Pengawas; Pimpinan KPK bukan penyidik dan penuntut umum; dan seterusnya.

 

Keempat, akibat revisi ini telah menimbulkan keresahan di dalam masyarakat. Gerakan penolakan telah menelan korban nyawa maupun harta dan benda. Ditinjau dari sisi keabsahan filosofis, yuridis dan sosiologis dari pada pembentukan undang-undang, maka hasilnya UU KPK baru tidak cukup memenuhi ketiga unsur tersebut. Dari sisi filosofis, UU KPK baru tidak pada ruh spirit antikorupsi yang tinggi. Dan, terkesan persoalan korupsi mudah diselesaikan dengan cara-cara biasa.

 

Secara yuridis, dengan berkaca pada problematika prosedur dan substansinya, kita bisa menarik benang merah, UU ini telah didesain untuk tidak mendukung agenda pemberantasan korupsi secara holistik. Terakhir, pada tataran sosial kemasyarakatan (sosiologis), UU ini bukan jerih payah rakyat tetapi elite. Rakyat tidak membutuhkan UU yang koruptif dan berpihak pada perlindungan penguasa. Aksi #ReformasiDikorupsi bukti atas hal tersebut.

Tags:

Berita Terkait