Wajib Patuh, Korporasi Kelapa Sawit Dilarang Kuasai Usaha Kemitraan
Utama

Wajib Patuh, Korporasi Kelapa Sawit Dilarang Kuasai Usaha Kemitraan

Kewajiban perusahaan kelapa sawit menyerahkan 20 persen lahannya kepada masyarakat untuk dikelola secara mandiri ternyata tidak sesuai dengan peraturan. KPPU mencurigai ada usaha kemitraan ‘bodong’ yang dimanfaatkan perusahaan untuk menambah keuntungan.

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit

 

Menurut Guntur, bentuk kepemilikan dan penguasaan tersebut dapat terlihat dari profit atau laba usaha kemitraan yang mengalir ke perusahaan perkebunan. Padahal, laba tersebut seharusnya dikuasai usaha kemitraan. “Jangan sampai kemitraan ini ‘bodong’. Ternyata dikuasai dan dimiliki perusahaan perkebunan itu sendiri,” tambah Guntur.

 

Munculnya kecurigaan KPPU ini berdasarkan tidak jelasnya data anggota plasma atau kemitraan. Pemerintah sebagai pemberi izin juga tidak memiliki data mengenai hal ini. Padahal, kewajiban pelepasan lahan 20 persen merupakan salah satu persyaratan yang wajib dipenuhi perusahaan perkebunan sebelum memperoleh IUP.

 

(Baca Juga: Pemerintah Berpotensi Bawa Kebijakan Sawit Uni Eropa ke WTO)

 

Guntur menilai pengawasan pemerintah terhadap perkebunan kelapa sawit sangat lemah sehingga potensi pelanggaran sehubungan pemberian lahan ini tinggi. Menurutnya, pemerintah sebagai pemberi izin penggunaan lahan harus memiliki data kemitraan perkebunan sawit ini. “Kalau tidak punya datanya itu aneh. Pemerintah berani memberikan izin tanpa data siapa anggota plasmanya. Dari data ini bisa terlihat (plasma) riil atau bodong,” tambah Guntur.

 

Sehubungan sanksi, perusahaan perkebunan kelapa sawit yang terbukti melanggar ketentuan ini dapat dicabut izin usahanya. Selain itu, dalam UU Perkebunan juga menetapkan sanksi bagi pejabat pemberi izin dan pelaku usaha yang melanggar ketentuan dalam perizinan usaha perkebunan yang tidak sesuai dengan aturan.

 

Menanggapi hal ini, Kepala Seksi Pembinaan Usaha Perkebunan Berkelanjutan Kementerian Pertanian, Prasetyo Djati menyampaikan kasus tidak maksimalnya pelepasan lahan ini hanya terjadi pada sebagian kecil wilayah perkebunan. Kemudian, dia menjelaskan pemerintah daerah merupakan pihak paling bertanggung jawab terhadap implementasi peralihan lahan ini.

 

“Ini hanya terjadi kasus per kasus saja karena pengawasan yang kurang. Permasalahan pengawasan ini ada di pemberi izin kalau kabupaten ada di bupati, provinsi pengawasnnya gubernur sedangkan lintas provinis ada di pemerintah pusat,” jelas Prasetyo kepada hukumonline.

 

Sementara itu, Ahli Konstitusi Agraria Indonesian Human Rights Comittee for Social Justice (IHCS), Gunawan menilai pelanggaran hukum kemitraan ini terjadi pada sebagian besar perkebunan sawit di Indonesia. Menurutnya, regulasi saat ini belum memberi perlindungan terhadap petani.

 

“Menurut saya UU Perlindungan dan Pemberdayaan Petani belum jelas memberi perlindungan pada petani kebun. Sehingga, dalam praktiknya subjek (petani kebun) tidak diakui akibat lemahnya pengakuan tersebut,” pungkas Gunawan.

 

Tags:

Berita Terkait