​​​​​​​Yuk, Kenali Jenis Perkawinan dalam Islam  
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​Yuk, Kenali Jenis Perkawinan dalam Islam  

​​​​​​​Ada banyak istilah perkawinan dalam Islam yang belum dipahami sepenuhnya oleh masyarakat. Lalu bagaimana hukumnya jenis-jenis pernikahan tersebut?   

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi. Foto: RES
Ilustrasi. Foto: RES

Rukun dan syarat sahnya pernikahan dalam Islam dan syarat sah perkawinan menurut hukum negara seperti tercantum dalam UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan memang tidak jauh berbeda. Sebab, hakikatnya substansi UU Perkawinan banyak mengadopsi dari hukum perkawinan Islam dan hukum pernikahan agama lain yang diakui di Indonesia.

 

Secara umum, UU Perkawinan mengatur berbagai persyaratan yang  lebih kompleks seperti batasan usia menikah, tidak ada larangan menikah, masa iddah (tunggu) hingga persoalan administratif pencatatan pernikahan. Hal itu lebih rinci diatur dalam Peraturan Pelaksanaan UU Perkawinan ini diatur lebih lanjut diatur PP No. 9 Tahun 1975 dan Inpres No. 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (KHI).

 

Secara khusus rukun dan syarat pernikahan Islam dan pernikahan agama lain seperti adanya calon mempelai laki-laki, calon mempelai perempuan, saksi, pencatatan pernikahan, tidak terdapat perbedaan. Perbedaannya hanya terletak pada syarat, rukun, dan tata cara pernikahannya menurut agama masing-masing di hadapan pegawai pencatat nikah. Syarat sah perkawinan ditegaskan Pasal 2 UU Perkawinan.

 

Pasal 2 UU Perkawinan, “(1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. (2) Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.” Pasal 10 ayat (3) PP Pelaksanaan UU Perkawinan disebutkanDengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi.”

 

Dalam Islam, pernikahan dianggap sah apabila telah terpenuhi rukun dan syarat pernikahan termasuk pencatatannya. Hal ini diatur Pasal 14 KHI jo Pasal 2 UU Perkawinan. 

 

Rukun

Syarat

Calon Suami

Muslim

Calon Istri

Muslimah/Kitabiah, dan bukan mahram (kelompok yang haram dinikahi) calon suami

Wali

Laki-laki, merdeka (bukan budak), berakal sehat, baligh, memiliki hak perwalian (orang tua laki-laki), dan muslim (calon isteri muslimah)

Saksi

Laki-laki, muslim, baligh, berakal sehat, adil (lurus agamanya), jumlahnya minimal dua orang saksi

Ijab dan Kabul

Ijab (penawaran) dan Kabul (persetujuan) bertemali.

Dua pihak yang berijab-kabul saling memahami pernyataan untuk menjalin pernikahan selamanya yang dinyatakan oleh pihak lain.

 

Selain jenis pernikahan yang sah sesuai UU Perkawinan dan aturan turunannya itu. dikenal jenis pernikahan lain seperti nikah sirri (kawin di bawah tangan), nikah kontrak, kawin gantung. Terdapat pula jenis pernikahan lain yang berasal dari tradisi bangsa Arab jahiliyah yang dilakukan masyarakat Indonesia seperti nikah syighar, nikah muhalil dan nikah ahli kitab. Tentu, berbagai istilah jenis perkawinan ini belum sepenuhnya dipahami masyarakat dari sisi pengertian termasuk halal atau haram pernikahan tersebut.  

 

Dosen Fakultas Syariah Universitas Negeri Islam Sunan Ampel, Surabaya, Jawa Timur, Abdus Salam Nawawi mengatakan beberapa jenis pernikahan sebagian diperbolehkan karena telah memenuhi rukun dan syarat pernikahan. Sementara sebagian jenis pernikahan lain dilarang atau haram dilakukan meski telah memenuhi rukun dan syaratnya.

 

Nawawi menjelaskan dilarangnya sebuah pernikahan dalam Islam karena melenceng dari tujuan pernikahan dalam Islam yakni mewujudkan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah. Menurut Nawawi, tujuan pernikahan tersebut dapat dilihat dari arti pernikahan itu sendiri.

 

“Pernikahan dalam Islam ialah akad antara seorang laki-laki dan seorang perempuan yang secara syar’i menghalalkan keduanya menjalin hubungan lahir batin sebagai suami-istri guna membentuk rumah tangga dan mewujudkan keturunan,” jelasnya.

 

Terdapat dua penyebab terjadinya pernikahan yang dilarang. Pertama, ketidaktahuan masyarakat terhadap ketentuan syariat Islam mengenai syarat dan rukun pernikahan. Kedua, karena kesengajaan untuk memenuhi hawa nafsu. Salah satu jenis pernikahan yang dilarang dalam Islam adalah nikah kontrak atau lazim disebut nikah mut’ah.

 

“Sebenarnya, pernikahan jenis ini (nikah mut’ah) pernah diizinkan Nabi Muhammad Shallallahu Alaihi Wassalam saat pasukan Muslim berperang terpisah jauh dari istrinya. Tujuan pernikahan ini agar pasukan Muslim tidak melakukan penyimpangan,” ujar Nawawi. Baca Juga: Meski Telat, Perjanjian Perkawinan Perlu Didaftarkan

 

Secara definisi, Nawawi menjelaskan nikah mut’ah adalah pernikahan berbatas waktu yang sifatnya sementara dan tidak untuk selamanya. Pernikahan ini diperselisihkan hukumnya antara kalangan ulama Sunni dan Syi’ah. Menurut ulama Sunni, nikah mut’ah dilarang (haram) sejak kaum Muslimin melakukan pembebasan kota Mekkah pada tahun 8 Hijriyah atau 629 masehi. Sedangkan menurut ajaran Syi’ah, nikah mut’ah masih dibolehkan atau tidak dilarang.

 

Selain itu, terdapat istilah pernikahan sirri atau pernikahan di bawah tangan. Istilah pernikahan ini berasal dari bahasa Arab “sir” atau rahasia. Secara definisi pernikahan jenis ini adalah pernikahan yang dirahasiakan kepada masyarakat. Namun, istilah pernikahan ini lambat laun mulai mengalami pergesaran makna di masyarakat.

 

Menurut Nawawi, pemahaman masyarakat saat ini mengenai nikah sirri adalah pernikahan yang sekadar tidak dicatatkan di kantor urusan agama (KUA). Secara syariat, jenis pernikahan ini sah karena telah memenuhi syarat dan rukun nikah. Namun, secara hukum bisa dilarang agama karena ketidakpatuhan terhadap hukum negara karena pernikahannya tidak tercatat di KUA. 

 

“Walaupun dihukumi sah jika rukun dan syaratnya terpenuhi, tetapi dilarang karena tidak mencatatkan pernikahan tersebut. Ini mencerminkan ketidaktaatan pada ulil amri (pemerintah). Dalam Islam, taat kepada ulil amri hukumnya wajib selama tidak dalam kategori maksiat (QS An-Nisa: 59),” kata Nawawi menerangkan.

 

Dalam masyarakat dikenal pula istilah nikah gantung. Jenis pernikahan ini, pasangan suami-istri tidak hidup serumah. Hal tersebut terjadi karena pasangan belum matang atau belum siap membina kehidupan rumah tangga. Menurut Nawawi, jenis pernikahan ini tidak dilarang dalam Islam sepanjang keduanya benar-benar belum hidup satu rumah.

 

“Larangan ini dilakukan demi terwujudnya kemaslahatan rumah tangga mereka nantinya,” jelas Nawawi.

 

Baca:

 

Nawawi melanjutkan dari sisi rukun nikah, pernikahan mut’ah, sirri, dan nikah gantung perbedaan mendasar dengan pernikahan menurut UU Perkawinan hanya terlihat dari segi kondisi dan jangka waktu bagi nikah mut’ah, pencatatan bagi nikah sirri, dan tidak bercampurnya pasangan hidup dalam satu rumah bagi nikah gantung.

 

Dalam Islam, Nawawi juga menjelaskan terdapat istilah pernikahan lain seperti nikah syighar, muhalil dan nikah ahli kitab. Pernikahan syigar dan muhalil dalam Islam hukumnya dilarang. Sedangkan, pernikahan ahli kitab diperbolehkan dengan syarat tertentu.

 

Nikah syighar adalah pernikahan dengan modus saling tukar perempuan yang  berada dalam perwalian masing-masing. Misalkan, wali laki-laki menikahkan putrinya tanpa mas kawin (mahar) dengan syarat pengantin prianya menikahkan adik perempuannya kepada wali tersebut tanpa mas kawin juga.

 

“Pernikahan syighar ini dilarang dalam Islam karena melanggar ketentuan syariat yang mewajibkan suami memberi mahar kepada istrinya seperti yang tercantum dalam Surat Al Maidah ayat 5,” kata Nawawi.

 

Sedangkan nikah muhalil adalah pernikahan laki-laki (mantan suaminya) dengan perempuan yang pernah ditalak tiga dengan maksud perempuan tersebut menjadi halal kembali bagi mantan suaminya itu. Dalam Islam, Nawawi menjelaskan, hukum pernikahan ini dilarang, kecuali apabila mantan istrinya itu menikah lagi dengan laki-laki lain, kemudian bercerai. 

 

Dalam Islam pun dikenal istilah nikah ahli kitab. Pernikahan ini dilakukan seorang muslim dengan wanita ahli kitab dari kalangan Nasrani dan Yahudi. Nawawi menjelaskan, dalam Islam pernikahan ahli kitab dihalalkan hukumnya sepanjang dilakukan oleh laki-laki muslim dengan perempuan ahli kitab demi menjaga kehormatannya. Namun, sebaliknya pernikahan ini haram hukumnya apabila dilakukan perempuan muslimah dengan laki-laki ahli kitab.  

 

“Untuk nikah ahli kitab, agar sesuai syariat, perempuan muslimah jangan mau dinikahkan dengan laik-laki nonmuslim ahli kitab karena ini haram hukumnya,” pesannya. Baca Juga: Masalah Pencatatan Perkawinan Beda Agama

Tags:

Berita Terkait