Yuk, Mengenal Aturan Main Fintech Syariah
Berita

Yuk, Mengenal Aturan Main Fintech Syariah

Akankah perkembangan fintech syariah nasional mampu melebihi konvensional?

Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrator: HGW
Ilustrator: HGW

Industri financial technology (fintech) sedang bergeliat mengimbangi jasa keuangan perbankan. Indonesia yang mayoritas penduduk muslim mendorong kemunculan fintech syariah yang menggunakan prinsip-prinsip hukum Islam dalam kegiatan bisnisnya. Tentunya, terdapat perbedaan signifikan antara fintech konvensional dengan syariah.

 

Payung hukum fintech syariah juga berlandaskan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) 77 Tahun 2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Aturan ini memang mengatur secara umum setiap jenis fintech P2P seperti fintech syariah dan konvensional. Kemudian, fintech syariah juga mengacu Fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI) Nomor 117/2018 tentang Layanan Pembiayaan Berbasis Teknologi Informasi Berdasarkan Prinsip Syariah.

 

Saat ini, terdapat 12 perusahaan fintech syariah yang sudah mendapatkan izin dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Para pemain tersebut yaitu Kapital Boost, Dana Syariah Indonesia (Dana Syariah), Danakoo, Alami Sharia, Syarfi Teknologi Finansial (Syarfi), Duha Madani Syariah, Qazwa, Maslahat Indonesia Mandiri (BSalam), Berkah Fintech Syariah, Papitupi Syariah, Ethis Fintek Indonesia (Ethis) dan Ammana Fintek Syariah (Ammanna).

 

Perbedaan paling mencolok antara keduanya terlihat antara lain dalam penerapan bunga atau riba. Umumnya, fintech syariah tidak mengenakan bunga pada peminjam sehingga transaksi antara investor, perusahaan fintech syariah dan peminjam bersifat kerja sama. Nantinya, terdapat sistem bagi hasil bagi setiap pihak pada kerja sama dengan tenor yang disepakati.

 

Setidaknya terdapat enam jenis akad yang diperbolehkan dalam fintech syariah. Pertama, al-bai' (jual-beli) yaitu akad antara penjual dan pembeli yang mengakibatkan berpindahnya kepemilikan obyek yang dipertukarkan (barang dan harga). Kedua, ijarah yaitu akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu dengan pembayaran ujrah atau upah.

 

Ketiga, mudharabah yaitu akad kerja sama suatu usaha antara pemilik modal (shahibu al-maaf yang menyediakan seluruh modal dengan pengelola ('amil/mudharib) dan keuntungan usaha dibagi di antara mereka sesuai nisbah yang disepakati dalam akad, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.

 

Keempat, musyarakah yaitu akad kerja sama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu di mana setiap pihak memberikan kontribusi dana modal usaha (ra's al-maf dengan ketentuan bahwa keuntungan dibagi sesuai nisbah yang disepakati atau secara proporsional, sedangkan kerugian ditanggung oleh para pihak secara proporsional.

 

(Baca: Tantangan Industri Fintech, dari Risiko TPPU Hingga Kualitas SDM)

 

Kelima, wakalah bi al ujrah yaitu akad pelimpahan kuasa untuk melakukan perbuatan hukum tertentu yang disertai dengan imbalan berupa ujrah (upah).  Keenam, qardh yaitu akad pinjaman dari pemberi pinjaman dengan ketentuan bahwa penerima pinjaman wajib mengembalikan uang yang diterimanya sesuai dengan waktu dan cara yang disepakati.

 

Perbedaan lain antara fintech syariah dengan konvensional terletak pada mekanisme penagihan. Perusahaan fintech syariah lebih mengedepankan pendampingan pada peminjam.

 

Sistem penagihan kami mungkin juga mewakili industri fintech syariah terdapat SOP (standar operasional perusahaan). Kami reminder peminjam ketika 14 hari sebelum jatuh tempo mengenai bagi hasil plus pokok. Lalu, 3 hari dan 1 hari sebelum kami juga remainder terus. Kalau, peminjam tidak kunjung ada itikad baik akan kami datangi mereka tentunya dengan bahasa santun,” jelas Direktur Bisnis Bsalam, Sofyan Islamie, saat konferensi pers Asosiasi Pendanaan Syariah Indonesia (APSI) di Jakarta, Selasa (14/1).

 

Ketua AFSI, Ronald Yusuf Wijaya menyatakan transaksi fintech syariah mengedapankan prinsip transparansi dan adil (fair). Dia menjelaskan perusahaan syariah tidak menerapkan denda kepada nasabah apabila mengembalikan pinjaman lebih cepat atau terlambat ketika terdapat kondisi kahar (force majeure).

 

“Fintech syariah itu bukan pembiayaan tapi partnership jika bulan 10 sudah ada uangnya padahal perjanjiannya satu tahun maka pinjamannya harus bayar dulu. Kalau butuh pinjam lagi.  Begitu juga kalau ada force majeure sehingga terlambat pembayarannya maka tidak ada denda,” jelas Ronald.

 

Wakil Ketua Asosiasi Fintech Syariah Indonesia (AFSI) dan Chief Executive Officer ALAMI, Dima Djani menjelaskan salah satu tantangan industri fintech syariah mengenai edukasi kepada masyarakat. Menurutnya, masih sebagian besar masyarakat belum dapat membedakan antara fintech syariah dengan konvensional.

 

“Tantangan saat ini selain teknologi yaitu mengedukasi masyarakat misalnya masih ada yang bertanya tentang bunga saat ingin meminjam melalui fintech syariah,” jelas Dima.  

 

Tags:

Berita Terkait