Kinerja Hakim Pengadilan Pajak Dinilai Masih Buruk
Utama

Kinerja Hakim Pengadilan Pajak Dinilai Masih Buruk

Kinerja hakim Pengadilan Pajak hingga kini masih dipermasalahkan. Banyaknya hakim yang berasal dari mantan pejabat pajak dan bea cukai, dianggap sering mengeluarkan putusan yang bias.

Yoz
Bacaan 2 Menit
Kinerja Hakim Pengadilan Pajak Dinilai Masih Buruk
Hukumonline

 

Ketentuan-ketentuan seperti ini menimbulkan sikap kalbu para hakim Pengadilan pajak bahwa mereka adalah pegawai Departemen Keuangan, dan karena itu seyogianya membela kepentingan Departemen Keuangan atau Pemerintah. Mungkin bagi para hakim yang buikan berasal dari dari mantan pejabat pajak dan bea Cukai dapat lebih bersikap independen, tetapi tidak mudah untuk bersikap demikian bagi para hakim yang berasal dari lingkingan Pemerintah, ujar Remy.

 

Pasal 77 ayat (3) UU Pengadilan Pajak memungkinkan Pihak-pihak yang bersengketa dapat mengajukan peninjauan kembali atas putusan Pengadilan Pajak Kepada Mahkamah Agung. Di sini jelas, putusan Pengadilan Pajak yang dianggap bias dapat dilawan di Mahkamah Agung.

 

Untuk meghindarkan keberpihakan hakim Pengadilan Pajak dalam mengambil keputusan, seyogianya tidak dilakukan hanya oleh hakim tunggal, sebagaimana dimungkinkan dalam UU Pengadilan Pajak, tetapi oleh majelis yang terdiri atas tiga orang hakim. Namun, Remy mengakui dalam komposisi majelis, mutlak diperlukan adanya hakim yang berasal dari mantan pejabat Ditjen Pajak dan pejabat Bea Cukai agar majelis dapat memahami sudut pandang Ditjen Pajak yang menetapkan besarnya pajak WP yang menggugat itu.

 

Bedasarkan pengamatan Remy, diketahui bahwa hakim Pengadilan Pajak dalam memeriksa perkara tidak selalu menguji kebenaran alat bukti dan kebenaran kompetensi pejabat yang meluarkan putusan pajak WP yang berpekara. Padahal hal itu perlu dilakukan karena putusan pajak adakalanya diterbitkan oleh pejabat yang tidak berwenang atau surat keputusan diterbitkan dengan cara-cara yang keliru prosedurnya.

 

Dia menyarankan supaya ke depan hakim Pengadilan Pajak dapat menjaga independensi agar putusan-putusannya memihak kebenaran. Selain itu, dia mendesak agar Pengadilan Pajak lebih banyak melakukan rekrutmen hakim bukan dari para mantan pejabat Ditjen Pajak dan pejabat Bea Cukai. Dengan demikian, Pengadilan Pajak akan memiliki hakim yang non-mantan pejabat Ditjen Pajak dan pejabat Bea Cukai dengan posisi seimbang dengan hakim yang berasal dari pejabat Pajak dan Bea Cukai.

 

Ketua Muda Mahkamah Agung Urusan Lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara Paulus Effendi Lotulung mengakui masih banyak yang mempermasalahkan kemandirian Pengadilan Pajak. Apalagi gaji, sarana dan prasarana hakim pajak masih ditentukan oleh Menteri Keuangan. Bahkan salah satu pihak yang mengangkat hakim Agung adalah Menteri Keuangan beserta jajarannya, katanya. Hal semacam ini memang layak dipermasalahkan. Jadi biarlah ini menjadi wacana yang harus diajukan agar nantinya Pengadilan Pajak hanya menuju pada satu atap dengan segala resiko apa pun yang dihadapi, seperti halnya di Pengadilan Militer, tambahnya.

Sejatinya, untuk dapat diangkat menjadi hakim pada Pengadilan Pajak bisa berasal dari lingkungan mana pun, sepanjang memenuhi syarat-syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) UU Pengadilan Pajak No. 14 Tahun 2002. Yang jelas, diantara syarat-syarat yang ditetapkan, tidak disebut bahwa hakim Pengadilan Pajak harus bergelar sarjana hukum.

 

Biasanya para hakim Pengadilan Pajak berasal dari mantan pejabat Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak dan pejabat di Ditjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan. Secara teoritis, memang tidak ada keberatan mengenai hal itu. Akan tetapi, pengamat perbankan Prof Sutan Remy Syahdeini justru beranggapan para hakim Pengadilan Pajak sering bersikap bias atau memihak kepada kepentingan Pemerintah (Ditjen Pajak) yang menjadi pihak yang putusannya diajukan banding atau digugat.

 

Remy mengatakan ada beberapa hal yang membuat hakim di Pengadilan pajak bersikap bias, antara lain; para hakim yang berasal dari mantan pejabat pajak atau Bea Cukai secara a priori menganggap bahwa perhitungan pajak yang dilakukan oleh rekan-rekannya dahulu di lingkungan Ditjen Pajak sudah benar sehingga para hakim cenderung mengalahkan banding atau gugatan Wajib Pajak (WP). Dengan kata lain, kualitas putusan Pengadilan Pajak menjadi bias atau memihak Pemerintah.

 

Selain itu, para hakim yang berasal dari mantan pejabat Ditjen Pajak dan Bea Cukai apabila memberikan putusan yang memenangkan WP merasa sama saja dengan 'menepuk air di dulang, terpercik muka sendiri'. Artinya, sama saja dengan menyalahkan 'almamternya' dan rekan-rekannya sendiri. Menurut Remy, sulit bagi mereka untuk menghindar dari rasa ewuh pakewuh. Kemudian, faktor yang dapat menimbulkan sikap para hakim Pengadilan Pajak untuk bias atau memihak Pemerintah adalah karena Pasal 22 ayat (2) UU Pengadilan Pajak yang menentukan bahwa Tunjangan dan ketentuan lainnya bagi Ketua, Wakil Ketua, Hakim, Sekretaris, Wakil Sekretaris, dan Sekretaris Pengganti diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan.

Tags: